Memiliki paras yang cantik dan fisik nyaris sempurna tidak lantas membuatku bahagia. Namaku Wulandari, anak pertama dari empat bersaudara. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Keluarga yang kerap kali dihina dan tak jarang mendapat perlakuan rendah orang-orang sekitar, hanya karena tidak memiliki harta berlimpah dan banyak hutang. Bapak yang kupanggil Abah bekerja serabutan. Itu pun kalau sedang mau. Lebih sering berpangku tangan, mengandalkan Ambu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Pak Lurah.“Abah mau bertani. Tidak mau bekerja!” tukas Abah saat Ambu mulai menyuruhnya mencari nafkah.“Abah, kalau bertani mah harus punya sawah. Memangnya kita punya sawah?” sahut Ambu kesal. Istri mana yang tidak kesal, melihat suami setiap pagi kerjanya duduk di balai sembari minum kopi dan merokok. “Sudahlah, masih pagi sudah ribut. Malu atuh sama tetangga Ambuuu ....”“Yang kudu malu itu Abaaaah ... jadi suami tidak ada tanggung jawabnya!”Adu mulut itu hampir
Pukul enam pagi, aku menghampiri Ambu yang sedang mencuci pakaian di sumur belakang rumah, ingin mengutarakan niat pergi ke Gunung Kawi.“Ambu ....”Perempuan bertubuh kurus itu menoleh. “Ada apa, Neng?” Ibu menjawab sambil tetap menggilas pakaian di atas papan bergerigi.Aku berjongkok di depan bak besar, mengucek-ucek pakaian yang telah direndam.“Jangan nyuci! Nanti tangan kamu kasar. Sudah sana, biar Ambu saja yang mencuci.”“Tangan halus juga percuma Ambu, Neng tetap saja jomblo.” Aku menjawab terkekeh. Tetapi, tidak Ambu, tatapan matanya seolah menyiratkan kesedihan.“Tidak apa-apa, Neng. Mungkin belum ketemu lelaki yang tepat saja. Ambu yakin, Neng cantik akan memiliki suami yang tampan dan mapan.” Harapan yang selalu Ambu katakan membuatku merunduk sedih. Bagaimana bisa mendapatkan lelaki yang seperti Ambu harapkan jika kehidupanku di rumah saja?Kami terdiam, bergelut dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar kucuran air dari kran dan suara Ayam berkokok m
Tak terasa sudah dua bulan aku bekerja di tempat ini, bekerja sebagai pemandu karaoke. Beruntung, gaji yang kuterima adalah harian. Bahkan uang tips dari pelanggan murni menjadi hakku. Tak ayal, tiap harinya aku bisa mengantongi sejuta bahkan dua juta rupiah.Ambu dan Abah tiap minggu aku kirimkan uang. Sebelumnya kusuruh Jaka, adik pertama membuka rekening. Hutang Kang Darso pun sudah lunas. Meskipun menjadi dua kali lipat. Bagiku tak masalah. Terpenting, Kang Darso tidak menceritakan pekerjaanku yang sesungguhnya pada orang-orang Desa. Orang-orang yang mengetahui pekerjaan ini hanya Kang Darso, Ambu, dan Abah. Aku pun sudah berpesan pada mereka, jika ada orang kampung yang bertanya aku kerja apa di kota? Katakan saja, bekerja di kantor. Di perusahaan besar supaya masyarakat sana tidak memandang keluargaku dengan hina lagi. Semoga saja kebohongan itu menjadi doa. ***Bang Suryadi, pemilik Karaoke pernah berkata, sejak kedatanganku ke tempat ini, tempatnya semakin ramai. Ban
Aku menarik diri. Terhenyak, mendengar bisikan Pak Sutiyoso. Apa laki-laki tua bangka ini lupa ada persyaratan kalau aku tidak boleh dibooking?! Aku berusaha menguasai diri. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum mesum. Menjijikan!“Aku maklum kalau Om lupa dengan syarat yang aku ajukan sebelumnya,” kataku datar. Pak Sutiyoso menautkan kedua alisnya. Laki-laki tua bangka ini memang sudah sangat baik padaku. Dia selalu memberi tips lebih banyak dari pelanggan yang lain.“Ooh ... Om ingat. Maksud Om itu bukan ke hotel, Lan.” Pak Sutiyoso lantas menyeruput minumaan beralkohol dihadapannya. Bibir hitamnya mengerenyit. Mungkin merasakan asam atau entahlah. Aku belum pernah mencicipi minuman beralkohol selama di sini. Ambu berpesan, aku tidak boleh lengah jika ingin menjaga keperawanan. Takutnya kalau aku lengah, minuman itu dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang, dicampur adukkan dengan pil yang tidak aku mengerti. Membayangkannya saja aku sudah bergidik ngeri.
Bagaimana ini, bekerja saja belum, tetapi, sudah dipecat? Kedua bola mata Nyonya Sutiyoso seolah menusuk tajam bak Harimau yang ingin menerkam mangsa.Pantas saja, Om Sutiyoso begitu takut padanya. Terlihat sekali dari sikap wanita itu kalau ia sangat angkuh dan sok berkuasa.Aku berusaha mengendalikan diri tanpa menanggapi pemecatan sepihak yang dilontarkan oleh istri Om Sutiyoso.“Mengerti tidak?!!” tanya Nyonya Sutiyoso membentukku.“Mengerti,” sahutku seraya membuang wajah ke arah Om Sutiyoso, lalu dengan sengaja menyunggingkan senyum nakal.“Dasar, J*lang! Tidak tahu tata krama!!” Tubuhku didorong Nyonya Sutiyoso hingga terhuyung ke belakang.Jalang? Dia bilang aku jalang? Kurang ajar sekali mulutnya si Ratna!Aku mendongak, membalas tatapan mata bengisnya.“Eh, Nyonya! Tolong ya dijaga mulutnya! Saya bukan jalang! Saya Cuma sekretaris suami Anda! Gayanya saja sok berpendidikan, tetapi bicara Anda busuk!!” ucapku geram, membalas tatapan tajamnya.Entah kekuatan dari
Aku berdiri di depan gedung bertingkat. Mengecek kembali alamat kantor Pak Dewa yang dikirim oleh Pak Sutiyoso. Kemarin sore lupa bertanya Pak Dewa alamat kantornya, hingga malam hari aku terpaksa mengirim pesan pada Pak Sutiyoso karena Cuma nomor dia yang kupunya.Aku menghampiri satpam yang duduk di depan pos. “Maaf, Pak. Ini kantor Pak Dewantara kan?” “Iya betul.”Lega rasanya mendengar jawaban Pak Satpam.“Mbak mau cari siapa?” tanya Sugiono nama satpam tersebut.“Saya Wulandari, Pak. Mau kerja di sini. Kemarin Pak Dewa sendiri yang nawarin," kataku mengenalkan diri. Pak Satpam itu menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun aku sangat risih, tapi aku tetap memaksakan untuk tersenyum.“Oh udah buat janji?”“Udah, Pak.” Lantas satpam itu memerhatikan penampilanku lagi. Dia seperti baru melihat wanita saja. Apa karena aku terlalu cantik atau terlalu menarik? Hahhaha ...“Ya sudah, mari saya antar.”Aku tak menyangka, satpam dengan kumis tebal itu memili
“Sama-sama, Sayang ....”Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita. “Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember
“Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?” tanyaku sembari menelisik perut buncitnya. Ya ampun gimana kalau wanita ini benar istri lain tua bangka itu? Terus kasarin aku, jambak-jambak atau menampar pipi ini? Gak mungkin aku tega melawannya.“Kenalkan, saya Vera. Sekretaris Pak Dewa.” Ucapnya menjawab segala pertanyaan dalam pikiranku. Ah ... lega rasanya ternyata sekretarisnya Pak Dewa. Aku menyambut uluran tangan wanita yang mengenalkan dirinya Vera.“Ooh ... Mbak Vera? Iya Pak Dewa sempat menyebut nama Mbak waktu saya di kantor. Mari Mbak, silakan masuk.” Aku mempersilahkan wanita yang mengenakan tas berwarna putih gading itu dengan ramah. Untunglah dugaanku salah. Aku kira istri lain Pak Sutiyoso. “Duduk, Mbak. Saya ambilkan air dulu.” Wanita itu menurut. Menyimpan tas di atas meja.Dari dapur kuperhatikan wanita yang usinya sekitar tiga puluh tahunan dengan seksama. Penampilannya sederhana tapi sangat elegan. Kelihatan berkelas dan berpendidikan. Dan sepertinya dia o
Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi
Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me
Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa
“Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A
“Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili
Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.
Kemarahan Wulan tidak berlangsung lama. Dia sudah tidak mempermasalahkan lagi soal salah satu bagian tubuhku yang imut.“Makasih ya Maaaass ... Mas Ambang emang suami yang the best!!” Pujinya. Seraya menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berserakan di atas kasur.Bagaimana tidak? Sejak malam pertama itu Wulan tak mau diajak bicara. Dia juga tak mau beres-beres rumah. Mahardika yang memberikan saran cara membuat Wulan tersenyum kembali, yaitu memberikan uang sebanyak-banyaknya. Mau tak mau, tabungan yang sudah aku kumpulkan selama tiga tahun harus aku tarik. Ternyata saran Dika sangat ampuh. Melihat tumpukan uang, kelopak mata istriku seketika bersinar, bibir mungilnya seketika tersenyum, dan tubuh seksinya seketika menghambur dalam pelukanku.Tidak hanya itu, Mahardika juga mengantarku membeli obat strong yang berkhasiat untuk pertumbuhan dan kekuatan sang burung.Mahardika benar-benar sahabat yang baik. Walaupun kerap kali membuatku jengkel tapi selalu memberikan solusi dari perm
Seperti tersambar petir di siang bolong, saat tiga kawanan makhluk di hadapanku ini menyebut nama “Mayang.”Nama yang dahulu sempat aku banggakan, nama yang dahulu sempat menyandang ketua perbancian, nama yang pertama kali membuatku mengerti tentang perihnya kehidupan. Kini, nama itu kudengar kembali, tidak! Sekarang tidak sudi lagi aku dipanggil Mayang. Aku adalah lelaki tulen. Tidak ada cacat sedikit pun dalam tubuh. Kecuali panu sialan. Aku baru sadar, mungkin panu itu salah hinggap tubuh. Harusnya hingga di tubuh orang lain, justru hinggap di tubuh atletisku. Ini pasti gara-gara tempo hari aku memancing bersama Wulan.Aku dorong tubuh Minceu, dia terjungkang seperti adegan di film-film.“Siapa kalian? Pergi dari sini!!” usirku sambil berkacak pinggang. Pasti, gayaku saat ini seperti raja bijaksana menghukum rakyat yang lancang“Mayang jahara!! Yey tidak mungkin lupos sama eyke!”Si Minceu berbicara dengan napas turun naik, kedua temannya membantu dia supaya berdiri kembali.“Ini
Vania benar-benar keterlaluan! Menyampaikan pesan Minceu di depan Wulan. Aku yakin, dia melakukan itu karena masih memendam cinta padaku. Masih enggan berpisah dengan Bambang Hermawan. Masih tak sudi melihatku berjalan mesra dengan Wulan. Sungguh malang nasibmu, Vania. Pasti kamu sangat menyesal aku ceraikan. Tapi apa boleh buat? Penyesalan memang selalu datang terlambat.Untung saja, walaupun Wulan sudah mengetahui profesiku dulu, dia masih mau terima aku apa adanya.“Gak apa-apa, Mas ... itu kan masa lalu. Yang terpenting masa depan kita harus lebih baik. Lalan mau terima Mas Ambang apa adanya kok ....” ujarnya seperti mata air yang berada di tengah gurun pasir. Sejuuuk, sangat menenangkan. Sudah tidak ada keraguan seujung kuku pun untuk menikahi Wulan. Dia pasti menjadi istri yang jauuuuhh lebih baik dari pada Vania si mulut kaleng rombeng!Rasanya sudah tidak sabar dimandiin, dimasakin, dinganuin, dikeramasin oleh Wulan. Indahnya dunia ....“Mas Ambaaaang, besok kita harus bera