Beranda / Pernikahan / Wanita Penggoda / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab Wanita Penggoda: Bab 11 - Bab 20

68 Bab

Diejek

Aku terkejut mendengar ungkapan Pak Sutiyoso. Berasa dilempar kotoran wajahku ini. Di hadapan banyak orang dia mengajakku menikah secara terang-terangan.Bandot tua tak tahu diri! Mana mau aku yang masih muda dan cantik bersedia menikah dengannya? Dia itu pantasnya jadi Bapakku!“Gimana, Lan? Mau jadi istri Om, 'kan” Aduuh ... Aku bingung harus memberi jawaban apa. Satu sisi tidak mau punya suami yang sudah tua bangka. Sisi lain, aku masih butuh uangnya. Kalau aku tolak, kira-kira Pak Sutiyoso akan menjauh tidak, ya?“Hmm ... maaf, Om. Wulan gak mau dinikahi laki-laki yang masih punya istri. Gak mau jadi istri kedua. Gak mau dicap pelakor," selorohku beralasan. Setidaknya untuk sekarang itulah jawaban yang paling tepat. Karena kutahu, bandot tua ini tidak akan menceraikan Ratna Ayu. Aset kekayaannya sudah atas nama wanita licik itu. Pak Sutiyoso pasti tak mau hidup melarat. Walaupun ia pernah bilang, masih ada harta kekayaannya yang tidak diketahui oleh Ratna Ayu.“Tapi, Lan ... Om
Baca selengkapnya

Belum Bisa

Kenapa hidupku selalu dihina orang?? Kenapa, ya Tuhan?? Tidak di Desa, tidak di sini, selalu saja dihina!Alasanku mendekati tua bangka itu cuma ingin uang, bukan ingin jadi simpanan om-om apalagi istrinya!Kulewati kerumunan orang dengan setengah berlari. Tak mempedulikan tatapan tanda tanya mereka.Untunglah, begitu kaki menjejakkan aspal di pinggir jalan, sebuah taksi tanpa penumpang melintas. Tanganku melambai memberhentikan taksi tersebut.“Jalan, Pak," titahku pada supir taksi, begitu duduk di jok penumpang.Air mata semakin mengalir deras. Kenangan pahit yang menimpaku seolah menari-nari di pelupuk mata.Ditambah omongan orang-orang yang mengiraku sebagai simpanan Om-om, semakin pedih hati ini. Meskipun itu suatu kebenaran, kalau aku seorang wanita penggoda simpanan om-om, tetapi rasanya hatiku sangat sakit mendengar orang lain men-cap-ku demikian.Tak kuhiraukan ponsel yang berdering beberapa kali. Pasti dari Pak Sutiyoso. Apa benar aku adalah simpanan bandot tua itu? Tidak!
Baca selengkapnya

ABG Expired

“Kenapa belum bisa, Neng?” tanya Ambu. Terdengar nada kesedihan dibalik suaranya.“Ambu ... suatu saat Neng pasti ninggalin dia. Kalau sekarang belum saatnya. Kita harus kaya raya dulu, Ambu.”Memang itulah alasan utamaku, ingin menjadi kaya raya dengan mengeruk sebanyak-banyaknya uang yang dimiliki si tua bangka. Terkesan jahat? Memang! tetapi, aku tidak ada cara lain. Paling tidak sampai aku mengetahui berapa gaji bekerja di perusahaan itu. Jika besar, barulah aku meninggalkan bandot tua itu.Terdengar helaan napas di ujung telepon. Aku membayangkan raut kesedihan di wajah Ambu.“Ya sudah, Ambu tahu, sekarang mah Neng sudah dewasa. Suah bisa memutuskan pendapat sendiri. Ambu percayakan saja sama, Neng.” Suara Ambu mulai melemah. Ya, aku tahu, ibu mana yang tidak khawatir melepaskan anak gadisnya merantau jauh ke ibu kota seorang diri. Apalagi Ambu tahu kalau aku sering sekali dekat dengan Pak Sutiyoso. Laki-laki tua yang mungkin usianya tak berbeda jauh dengan Abah. Ambu bersikap
Baca selengkapnya

Tidak Tahu Malu

Meskipun diantar Pak sutiyoso, kali ini aku memilih belanja seorang diri. Lelaki tua bangka itu kusuruh istrahat saja di mobil. Aku benar-benar tak mau lagi dibilang wanita simpanan! Tak lupa ia memberikan satu kartu kreditnya padaku.Berjalan seorang diri di tenpat umum, membuatku lebih leluasa bergerak. Menjadi diriku sendiri. Tidak perlu berakting manja-manjaan pada Pak Sutiyoso.Pertama yang kulakukan adalah membeli pakaian. Mulai membeli pakaian untuk Ambu, Abah, hingga pakaian untuk adik-adikku.Beraneka macam jajanan dan buah-buahan pun tak luput dari jamahan.Hampir tiga jam mondar mandir di pusat perbelanjaan. Sudah terhitung tiga kali dalam seminggu aku menyambangi tempat ini. Tapi baru sekarang merasa benar-benar happy.Selesai berbelanja, Pak Sutiyoso berinisiatif mengantarku ke salon ternama. “Biar kamu tambah cantik, Lan. Orang-orang desa pasti tambah kagum melihat kesuksesan Wulan di kota.” Begitu yang dilontarkan Pak Sutiyoso.Idenya kali ini sungguh berlian. Kedata
Baca selengkapnya

Mantan Jadi Tukang Ojek

Ceu Odah dan Ceu Wati terkejut mendengar bentakanku. Mereka saling pandang satu sama lain. Aku menyunggingkan senyum sinis. Bahagia rasanya dapat membalas perlakuan mereka beruda. Ambu melirik ke arahku, menahan tawa.“Jangan marah atuh, Neng ... kita mah cuma becanda," ujar Ceu Wati menyenggol lengan Ceu Odah. Mungkin mereka tersinggung tetapi aku tidak peduli. Terpenting bagiku, mereka tidak boleh menghina dan merendahkan kami lagi.Kulirik Ambu, bibirnya menyunggingkan senyum. Senyum yang telah lama tak kulihat.“Ya udah atuh, Ceu. Kita pulang saja. Kasihan Wulan capek, mau istrihat.”"Tunggu!"Aku menghentikkan langkah mereka.“Aya naon, Neng? (Ada apa, Neng?)” tanya Ceu Wati, tersenyum.“Aku ingat, Ambu pernah bilang. Katanya punya hutang sama Ceo Odah dan Ceu Wati.” Tiba-tiba teringat perkataan Ambu waktu dulu.“Iih ... gak apa-apa. Gak usah dibayar. Cuma sedikit. Lagian itu kan udah lama. Ceu Odah udah ikhlasin.” Aku sangat yakin seratus persen, Ceu Odah hanya berpura-pura. M
Baca selengkapnya

Pilihan

“Aa!!!” Sebuah teriakan yang membuat aku, Ambu, dan Cecep menoleh ke sumber suara. Rupanya si Minah berdiri sambil menggendong bayi tak jauh dari kami.“Bukannya ngojek, malah ngobrol di jalan!!” hardik Minah saat berada di hadapanku.“Ini mau ngojek, Min," sahut Cecep datar. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Min??” Mata Minah mendelik. “Biasanya juga panggil, Neng!!” sambung Minah yang mengenakan daster lusuh sambil memukul lengan Cecep.“Ambu, pergi yuk! Neng teh gak mau lihat para pengkhianat lagi berantem," ucapku ketus melirik pada Cecep dan Minah.Dua pasang mata itu menatapku bersamaan.“Maksud kamu teh siapa yang pengkhianat?” tanya Minah, menatapku dengan sorot mata tajam. Aku balas menatapnya dengan tatapan serupa. Dia pikir aku takut? No way!"Aku dan Ambu tak menggubris pertanyaan istri Cecep itu. Melanjutkan langkah menuju warung Teh Mirna.Warung Teh Mirna sedang banyak pembeli. Ini saatnya aku pamerkan segala yang kupunya dan membalas perlakuan tidak baik m
Baca selengkapnya

Pemecatan

Bang Suryadi mengejarku, berusaha mensejajarkan langkah.“Lan, Lan, tunggu! Kita bicara baik-baik!” panggil Bang Suryadi. Kuhentikan langkah saat laki-laki berkumis itu berada di sisi.Sebenarnya aku juga gak mau meninggalkan tempat ini. Walau bagaimana pun Bang Suryadi sudah sangat baik. Tetapi, aku paling tidak terima kalau dihina apalagi difitnah. Aku menghentikkan langkah. Memberi kesempatan lelaki pemilik tempat karaoke berbicara.“Wulan ... Jangan berhenti kerja. Wulan sudah banyak membantu Abang selama ini. Lebih baik Abang pecat mereka berdua asalkan Wulan masih bekerja di sini. Meskipun sebenarnya Abang gak tega lihat Wulan. Pagi kerja di kantor, malam di sini. Tetapi, kehadiran Wulan benar-benar sangat membantu. Abang mohon, Lan ... jangan berhentu dulu.” Jelas Bang Suryadi sambil memohon. Aku masih menimbang perkataan laki-laki yang belum dikarunia anak itu.Kasihan Bang Suryadi, sudah sepuluh tahun menikah tapi tak jua dikarunia anak. Kadang aku salut padanya, meskipun be
Baca selengkapnya

Firasat Buruk Ambu

Tak terasa, hampir dua tahun lamanya aku tinggal di ibukota, jauh dari Desa, dan kedua orang tua.Kerja kerasku selama bekerja di sini sangatlah membuahkan hasil. Dapat merenovasi rumah yang di desa menjadi lebih besar dan megah, memiliki satu hektar sawah dan tabungan puluhan juta.Aku juga telah memiliki sebuah mobil. Kendaraan ini hadiah dari Pak Sutiyoso saat aku berulang tahun bulan November tahun lalu.Semenjak bekerja di kantor, hubunganku dengan Pak Sutiyoso mulai renggang. Selain karena kesibukan bekerja, istri Pak Sutiyoso selalu mengontrol keuangan yang dipegang oleh laki-laki tua itu. Kadang kala, Ratna Ayu turun tangan dalam mengelola perusahaannya. Alhasil, si Bandot tua tidak bisa lagi leluasa menggunakan uang. “No money, no Wulan!” Aku menjawab dengan tegas kala Pak Sutiyoso ingin mengajak kencan.Transferan yang dulu ia kirim dua minggu sekali, sekarang hanya kalau aku minta saja. Tidak ada lagi rutinitas surprise transferan yang dikirim Pak Sutiyoso.Sudah tak jadi
Baca selengkapnya

Mahkota Terenggut

Perlahan kubuka kedua mata. Kepala masih terasa pusing. Pandangan pun masih sedikit mengabur. Beberapa kali mengerjapkan mata. Lalu, jelaslah sesosok laki-laki bertubuh tambun hanya mengenakan celana pendek sedang berdiri menghadap kaca jendela sambil menelpon. Dia, Pak Sutiyoso.“Aku benar-benar tak menyangka, kalau si Wulan itu masih perawan!”Mataku membulat saat mendengar ucapan si Pak Tua. Kusibak selimut yang menutupi tubuh. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa tak ada sehelai benang pun yang melekat pada tubuhku?Aku menelan ludah berkali-kali. Mencoba mengingat kejadian yang menimpaku. Tetapi, nihil! Aku tidak mengingat apapun.Mencoba untuk bangkit, namun sekujur badan terasa remuk, ngilu dan perih pada area sensitif. Tidak! Tidak mungkin Pak Sutiyoso tega memperkosaku! Ini pasti mimpi! Aku pasti sedang bermimpi. Kucubit lengan dengan keras, aw sakit! “Kalau tidak kuberi obat tidur, aku tak akan bisa menyipi kemolekan tubuhnya. Semalam aku benar-benar puas! Aku sengaja minu
Baca selengkapnya

Khawatir Membalas Kebaikan?

Seminggu sudah masa cutiku. Hari ini mulai masuk kantor kembali. Namun, kejadian malam itu masih terus saja menghantui. Aku tetap tidak terima perlakuan si tua bangka yang telah merenggut paksa kesucianku. Hingga detik ini, Ambu dan Abah tidak mengetahui kejadian memalukan tersebut. Biarlah semuanya menjadi rahasia. Aku tak mau membuat mereka bersedih, khawatir dan kecewa.Selama satu minggu, aku gunakan untuk berpikir membalaskan dendam pada Sutiyoso!Akhirnya aku dapatkan cara untuk membuatnya menderita seumur hidup. Nomor ponsel pun aku ganti. Hanya segelintir orang yang mengetahui. Keluargaku, Bang Suryadi dan Pak Dewa. “Saya mohon, Pak. Jangan beritahukan nomor ini ke dia! Saya mohon ....” pintaku pada Pak Dewa saat memberi tahu nomor baru di ruangannya. Pak Dewa menarik napas panjang. Lelaki yang selalu bersikap sopan padaku, menumpu kedua tangan di atas meja.“Kamu tenang saja. Saya juga sebenarnya sangat marah atas kelakuan dia terhadap kamu. Tidak mungkin akan saya berita
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status