Semua Bab Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia): Bab 31 - Bab 40

111 Bab

31. Suara Hati Ibu Mertua

“Kamu ingat Aditya? Yang waktu bertemu di taman Siringan.”Haira menengadah. Sesaat kemudian ia mengangguk. Salwa menyandarkan punggungnya ke dinding.“Dia sahabat aku dari kecil. Rumahnya berseberangan dengan rumahku. Jadi kami sering menghabiskan waktu bersama. Bermain, belajar, ke mana-mana sampai kami sudah seperti saudara kembar. Ketika SMP kami sering jalan-jalan meski hanya seputar kota. Taman-taman atau tempat rekreasi kota. Sudah SMA baru diizinkan menyambangi tempat rekreasi yang sedikit menantang seperti mendaki gunung atau mendatangi air terjun.”Haira menyipitkan matanya. Berusaha mencerna cerita Salwa dan mencocokkan dengan penglihatan sesaatnya tentang laki-laki yang diceritakan Salwa. “Tapi mau ke mana pun kami pergi, mau ke kota, gunung, atau pantai, oleh-oleh yang kami buru adalah aksesoris.” Salwa terkekeh. Pandangannya ke depan, tetapi ingatan melayang jauh ke belakang. Betapa ia sangat merindukan hal itu.“Jadi aksesoris atau gelang ini sejenis simbol persahabata
Baca selengkapnya

32. Suara Hati Ibu Mertua (2)

“Mau, tapi Salsa mau menemani Umi saja. Kasihan Ummi, sering ditinggal Abi. Kalau Abi ga ada di rumah, Umi sendirian dong,” oceh Salsa.Salwa meraih kepalanya lalu menghadiahi sebuah ciuman. “Umi senang dengarnya, tetapi Umi lebih senang lagi kalau Salsa jadi anak yang bermanfaat buat agama dan negara. Umi hadiahkan Salsa untuk Allah.” Spontan Salman dan Salsabila menoleh ke arah Salwa. “Umi tidak sayang sama Salsa?” “Kenapa Salsa bertanya begitu? Di dunia ini, Salsa orang yang paling Umi cintai. Karena cinta itulah, Umi harap Salsa bahagia, selalu dalam naungan Allah dan menjadi pejuang agama Allah. Tapi untuk mendapatkan semua ini, Salsa harus belajar agama sejak dini.” “Bukannya Umi sudah ngajarin di rumah? Salsa sering dapat pujian ibu guru dan di antara teman-teman hafalan Salsa yang paling banyak,” sahut Salsa dengan wajah sedikit manyun. Salman terkekeh. Sebelah tangannya meraih pundak Salsabila. “Iya, anak Abi paling pintar, Umi juga paling sayang sama Salsa. Umi cuma mem
Baca selengkapnya

33. Pilu

“Sungguh manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (Qs. Al-Maarij: 22)🌸🌸🌸🌸“Astaghfirullah, Ibu. Kenapa ibu tega bicara begitu? Bagaimana pun Salwa ibu dari anakku. Coba Ibu pikirkan bagaimana Salsa besar tanpa didampingi ibunya.”“Kamu bisa lihat Mona. Anaknya baik-baik saja orang tuanya pisah. Yang penting ibunya bisa merawat anak dengan baik, dan ayah tetap memberinya nafkah.”Salman menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tau mengapa ibu jadi mengentengkan masalah ini. Sadar, Bu. Jangan sampai uang menggelapkan hati nurani.”Munajah naik pitam. Ia menarik kakinya. “Kamu mulai berani menceramahi Ibu?! Ingat, Man. Surgamu di telapak kaki ibu.”“Tapi bukan begini caranya. Aku tidak mengerti, sampai sekarang mengapa Ibu tidak menyukai Salwa, padahal kurang baik apa dia pada Ibu? Dia yang melahirkan Salsa, cucu Ibu.”“Dari awal Ibu tidak menyukainya dan sampai kapan pun.” “Astag
Baca selengkapnya

34. Pilu (2)

Salwa melepaskan pegangan Haira. “Aku mohon, jangan temui aku lagi.”“Ustadzah.” Haira menggelengkan kepalanya. Bibirnya kelu. Hatinya remuk, melihat tatapan dingin wanita yang dikaguminya. Ia hanya bisa pasrah menatap punggung Salwa yang menjauh. “USTADZAH,” teriak Haira. Kembali ia ingin segera mengejar Salwa, tetapi badannya dipegang Jamilah. Haira langsung menampik tangan ibunya. Mata merahnya semakin nanar. “HAIRA!” bentak Jamilah. “Demi dia kamu berani menatap Mama seperti itu?!”“INI SEMUA KARENA MAMA,” teriak Haira. “AKU BENCI MAMA!” “Haira, tenangkan dirimu. Tak baik dilihat orang.” Haikal mengingatkan.Haira mengedarkan pandangannya. Dua santri terpaku, menatap mereka. Dua santriwati itu menjauh, begitu menyadari Haira balik menatap.“Masuklah! Nanti sehari dua hari kamu bisa meminta maaf kepadanya. Ini bukan kesalahanmu. Aku yakin, jika emosi dia reda, dia tidak akan menyalahkanmu.”Haira menggeleng. Wajahnya tertunduk lesu. Air mata masih saja mengalir. “Bagaimana aku
Baca selengkapnya

35. Kehilangan Pegangan

“Setiap kali (kilat itu) menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti.” (Qs. Al-Baqarah: 20)🌸🌸🌸Salman menoleh. Menatap wajah anaknya yang menyimpan seribu tanya. Hatinya merasa tercubit. Ternyata masih ada sekat antara dia dengan Salsa. Ia tidak tahu seberapa tebal sekat itu? Yang ia tidak habis mengerti, mengapa Salsa tidak menyukai rumah ibunya?Ia teringat obrolan mereka dalam mobil sewaktu menuju rumah ibunya. “Jika Salsa benar-benar ke pondok, Umi nggak takut nanti kesepian?” tanya Salsabila waktu itu.“Mmm ...” Salwa memasang wajah berpikir. “Mungkin Umi akan mondok lagi, jika Abi tidak ada.”“Bagaimana kalau Umi ke pondok Salsa saja?” usul Salsabila.“Ngapain?” tanya Salwa.“Ngajarlah! Masa Umi sekolah juga,” sahut Salsabila dengan nada candanya.“Boleh juga,” goda Salwa.“Lo, kok kompak mau ninggalin Abi? Kalau Umi ke pondok, bagaimana dengan Abi?” tanya Salman dengan memasang wajah cemas.“Biarin,” sahut Salsa
Baca selengkapnya

36. Kehilangan Pegangan (2)

“Om, bagaimana keadaan Tante?” tanya Haikal sambil berjalan. “Dia lagi di rumah sakit. Keadaan Haira bagaimana?” tanya Salman di seberang sana. “Dia lagi syok, tapi Om jangan khawatir. Di sini ada aku. Om jaga Tante saja. Maaf Om, atas kekacauan ini.”Saat berbalik, ibunya telah berada di depannya dengan tatapan nanar. Secepat kilat tamparan melesat di pipinya. Spontan tangannya menyentuh pipinya yang terasa pedas. “Apa hak kamu mencampuri urusan Mama?”“Apa hakku? Mama ibu kandungku. Aku tolol jika terus membiarkan Mama begini. Mama tidak lihat, Haira telah berubah banyak berkat Tante, tapi apa yang Mama lakukan? Bukannya berterima kasih, malah memfitnahnya." Haikal mendekati ibunya, "sekali lagi Mama berani mengganggu Tante, aku tidak akan tinggal diam.” Seketika terdengar benda jatuh dan hancur di lantai. Mata Jamilah membesar melihat ponsel merek buah telah hancur. Sementara Haikal berlalu tanpa menoleh ke benda tak berdosa itu.“HAIKAL!!!” teriak Jamilah sambil berbalik. Sek
Baca selengkapnya

37. Makna Perasaan

“Setiap kali (kilat itu) menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti.” 🌸🌸🌸Siang hari Salwa hanya sendirian di ruang inap. Situasi inilah yang sangat dikhawatirkannya. Sendiri tanpa adanya aktifitas pikiran akan mudah mendapatkan hasutan. Setan menakut-nakuti manusia dengan kefakiran. Fakir harta dan kasih sayang. Padahal hal itu belum tentu terjadi. Ia membuka ponselnya, membuka file tulisan Cahya. Tabiat asli manusia itu kikir. Mendekap erat apa yang dimilikinya. Sebenarnya ini salah satu karunia Allah kepada manusia, agar mereka menjaga serta merawat apa yang telah didapatkan dan dimiliki. Hati terusik dan melakukan tindakan apabila sesuatu miliknya yang berharga dirampas. Bahkan ada yang marah, meski hanya disentuh.Lingkungan dan pengalaman membuat kadar kekikiran berbeda. Ada yang sifat kikirnya terkikis, sebaliknya malah tumbuh dan mengakar kuat.Begitu juga halnya dengan kekasih. Kekasih sesuatu yang sangat isti
Baca selengkapnya

38. Makna Perasaan (2)

Haikal mengangguk. Wajahnya tertunduk dalam. Ingin sekali ia berkata, “doakan aku juga, Tante.” Salwa telah pergi, Haikal masih saja tertunduk lesu. Ia berusaha mencerna apa yang dirasakannya selama ini. Ia bahagia ketika melihat Haira telah menemukan tujuan untuk masa depan. Kini Haira terpuruk, hatinya pun tak kalah buruk. Haira beruntung dapat mengungkapkan perasaannya, sedang dia? Dia ingat betul, ayahnya pernah memberi nasihat. “Jadi laki-laki tidak boleh cengeng.”Mengingat pesan itu, justru menetes sebutir dan jatuh di minumannya yang hanya berkurang sedikit. *** Salwa terkesiap. Ketika menyadari kalau dia telah berada di depan kafe Sebuah Rasa. Ia menengadahkan kepala, terukir nama Sebuah Rasa dengan gagahnya. Tanpa sadar ia tersenyum. Ia teringat, Aditya dulu ingin terus bersamanya, tak terkecuali saat kuliah. Sayangnya, Aditya satu-satu anak laki-laki di keluarganya. Satu-satunya harapan bagi keluarganya. Orang tuanya, ingin Aditya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi
Baca selengkapnya

39. Selagi Masih Bersamamu

Sayangilah orang yang Allah anugerahkan kepadamu. Karena tak selamanya mereka akan bersamamu. Cepat atau lambat, Allah pasti mengambil kembali. ***Masalah Haira membuat Jamilah ingin bertukar pikiran, tepatnya curhat kepada Salman. Sayangnya, belakangan Salman pulang makin kemalaman dan datang dalam kondisi sangat kelelahan. Makan di luar, mandi, lalu tidur. "Haira masih marah padaku, aku harus bagaimana?" Jamilah mencoba mengungkapkan pikirannya di saat mereka baringan menuju tidur."Ya, harus gimana? Biarkan dia menyendiri dulu. Lama-lama juga dia capek," jawab Salman dengan memejamkan mata. Tangan ditopang ke atas dahi. "Tapi sampai kapan? Aku--" Jamilah tak lagi melanjutkan ucapannya. Ia benar-benar geram. Bisa-bisanya saat ia berbicara serius, Salman malah terlelap. Gerahamnya menggemeretak. ***Waktu sarapan, Haira keluar dari kamarnya. Mengenakan gamis hitam yang sedikit menyentuh lantai. Tanpa suara ia duduk di samping Haikal. "Cantik amat, mau ke mana?" Jamilah coba m
Baca selengkapnya

40. Selagi Masih Bersamamu (2)

“Tak apa. Mereka juga tidak bisa berbaur dengan orang banyak, karena imun mereka lemah, rentan terinfeksi,” sahut Anita. “Begitu?"Kedua bocah itu turun setelah bersalaman dengan Salwa dan Salsa. Anita duduk di bangku bekas mereka. Spontan mereka berpaling. Sebuah mobil sunroof memasuki area halaman. Mata Salsa melebar ketika melihat pengemudi mobil itu. Mobil terus meluncur hingga berhenti tepat di muka rumah besar, bersisian dengan rumah singgah.“OM ADIT!” teriak Salsabila begitu pintu pengemudi terbuka.Salwa berdecak. "Tak baik teriak-teriak.” Salman ikut menaruh perhatian.“Hei, Salsa,” sahut Aditya, lalu menutup pintu mobil. Dari pintu sebelah, keluar Bayu bersama putrinya.“Awas, hati-hati!” Salwa meringin melihat putrinya yang tiba-tiba turun dan berlari menyongsong Aditya.“Kok Om ada di sini?” tanya Salsa ketika ia dekat dengan Aditya.Aditya berpaling, menoleh pada Bayu dan Izza yang berjalan ke arah mereka.“Eh, ada Kak Salwa,” seru Bayu, sambil menurunkan Izza. “Kak S
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status