Haikal mengangguk. Wajahnya tertunduk dalam. Ingin sekali ia berkata, “doakan aku juga, Tante.” Salwa telah pergi, Haikal masih saja tertunduk lesu. Ia berusaha mencerna apa yang dirasakannya selama ini. Ia bahagia ketika melihat Haira telah menemukan tujuan untuk masa depan. Kini Haira terpuruk, hatinya pun tak kalah buruk. Haira beruntung dapat mengungkapkan perasaannya, sedang dia? Dia ingat betul, ayahnya pernah memberi nasihat. “Jadi laki-laki tidak boleh cengeng.”Mengingat pesan itu, justru menetes sebutir dan jatuh di minumannya yang hanya berkurang sedikit. *** Salwa terkesiap. Ketika menyadari kalau dia telah berada di depan kafe Sebuah Rasa. Ia menengadahkan kepala, terukir nama Sebuah Rasa dengan gagahnya. Tanpa sadar ia tersenyum. Ia teringat, Aditya dulu ingin terus bersamanya, tak terkecuali saat kuliah. Sayangnya, Aditya satu-satu anak laki-laki di keluarganya. Satu-satunya harapan bagi keluarganya. Orang tuanya, ingin Aditya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi
Sayangilah orang yang Allah anugerahkan kepadamu. Karena tak selamanya mereka akan bersamamu. Cepat atau lambat, Allah pasti mengambil kembali. ***Masalah Haira membuat Jamilah ingin bertukar pikiran, tepatnya curhat kepada Salman. Sayangnya, belakangan Salman pulang makin kemalaman dan datang dalam kondisi sangat kelelahan. Makan di luar, mandi, lalu tidur. "Haira masih marah padaku, aku harus bagaimana?" Jamilah mencoba mengungkapkan pikirannya di saat mereka baringan menuju tidur."Ya, harus gimana? Biarkan dia menyendiri dulu. Lama-lama juga dia capek," jawab Salman dengan memejamkan mata. Tangan ditopang ke atas dahi. "Tapi sampai kapan? Aku--" Jamilah tak lagi melanjutkan ucapannya. Ia benar-benar geram. Bisa-bisanya saat ia berbicara serius, Salman malah terlelap. Gerahamnya menggemeretak. ***Waktu sarapan, Haira keluar dari kamarnya. Mengenakan gamis hitam yang sedikit menyentuh lantai. Tanpa suara ia duduk di samping Haikal. "Cantik amat, mau ke mana?" Jamilah coba m
“Tak apa. Mereka juga tidak bisa berbaur dengan orang banyak, karena imun mereka lemah, rentan terinfeksi,” sahut Anita. “Begitu?"Kedua bocah itu turun setelah bersalaman dengan Salwa dan Salsa. Anita duduk di bangku bekas mereka. Spontan mereka berpaling. Sebuah mobil sunroof memasuki area halaman. Mata Salsa melebar ketika melihat pengemudi mobil itu. Mobil terus meluncur hingga berhenti tepat di muka rumah besar, bersisian dengan rumah singgah.“OM ADIT!” teriak Salsabila begitu pintu pengemudi terbuka.Salwa berdecak. "Tak baik teriak-teriak.” Salman ikut menaruh perhatian.“Hei, Salsa,” sahut Aditya, lalu menutup pintu mobil. Dari pintu sebelah, keluar Bayu bersama putrinya.“Awas, hati-hati!” Salwa meringin melihat putrinya yang tiba-tiba turun dan berlari menyongsong Aditya.“Kok Om ada di sini?” tanya Salsa ketika ia dekat dengan Aditya.Aditya berpaling, menoleh pada Bayu dan Izza yang berjalan ke arah mereka.“Eh, ada Kak Salwa,” seru Bayu, sambil menurunkan Izza. “Kak S
Bayu berkali-kali menyenggol kaki istrinya, tetapi tak kunjung diacuhkan. Ujung retinanya mencuri wajah Salman yang tidak nyaman. "Iya ya, saya mengerti. Dipikir-pikir seperti tak masuk akal, ayahnya Izza kawin lagi di saat anaknya menderita penyakit serius," timpal Salwa. "Itulah cinta, Mbak. Cinta benar-benar bisa membuat orang buta. Kita sering temui ketimpangan dalam cinta. Si miskin dengan kaya, cantik dengan buruk rupa, baik dengan buruk. Tapi menurutku, tidak ada yang lebih buta dan gila, seperti seseorang yang berkeluarga bersikukuh mencintai orang lain. Apa mereka tidak memikirkan dampak kepada anak-anak?!"Dengan kikuk Salman mengambil minumannya. Ia melayangkan pandangannya ke jalanan. Cuaca mendadak terasa panas. Bahkan udara yang hirup pun terasa menusuk. Beruntungnya obrolan Anita dan Salwa terputus oleh sebuah mobil yang memasuki halaman rumah. “Setya?”Mobil sport terparkir secara sempurna. Tak lama keluar sepasang suami istri mendekati mereka. “Ustadzah.” Cahya me
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu itu mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hadid: 22)🌸🌸🌸Munajah menyentuh dagu Jamilah. “Betapa baiknya kamu. Sudah jelas dia jahat padamu, tapi kamu masih berpikir baik tentang dia.” *** Dari dalam Aditya mengenali deru mobil kakaknya, Lydia. Mendadak ia kehilangan semangat nonton video streaming yang dimainkan di televisi. Ia mematikan televisinya, lalu beranjak menuju kamar. “Tunggu!” perintah Lydia ketika dia membuka pintu. Aditya berpaling. “Kakak mau laporan tentang Amel kan?! Aku capek sekali dan jangan lagi menjodoh-jodohkan, aku capek.” “Lalu sampai kapan kamu begini?! Ingat usia. Jangan sampai saat kau tua nanti, anakmu masih kecil. Bapak ibu juga sudah tua.” Aditya mengembuskan napas lelahnya. Ia kembali duduk ke sofa di depan televisi. “Pernikahan tidak bisa dipaksa. Bagaimana aku bisa bersikap m
“Buka matamu, Salman. Sadar. Orang ini bukan perempuan baik-baik. Gara-gara dia kamu telah berani membentak melawan Ibu.”“Itu karena Ibu sendiri.”“Dia telah merebut ruko dari hasil kerja keras ayahmu, sekarang kamu mengurangi jatah ibu, besok-besok entah apa yang dia renggut. Dia memecah hubungan ibu dan anak. Ibu telah dengar itu. Kamu jangan membelanya lagi!” Salman melongo. Ia tidak mengerti dengan kalimat terakhir ibunya. “Kesabaranku sudah habis, Salman. Ceraikan dia sekarang juga!” Suami istri itu tersentak. “BU!”“Ibu tidak main-main Salman. Surgamu di telapak kaki ibu.”“Tapi bukan begini caranya!” bantah Salman. “Jangan panggil aku Ibu, jika kamu tidak menceraikan perempuan ini!”Salman menggelengkan kepala. Salwa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat berkali lipat. Andai tidak mengingat anaknya yang berjuang di sana, saat itu juga ia meminta kematian.Tanpa suara Salman menarik tangan Salwa. Namun, Salwa mengokohkan diri, sehingga tarikan Salman tidak berarti. Sal
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur." (Qs.An-Nahl: 78)***“Iya, aku gila. Aku tahu, hatimu terlanjur hancur. Aku pun tidak ingin lagi membual. Setidaknya lakukanlah ini demi Salsa. Buah hati kita. Dia masih sangat memerlukan kasih sayang kita.” Salwa terdiam. Menatap ayah dari putrinya dengan seribu pertanyaan. “Ya, kita rujuk ya,” bujuk Salman. “Aku lelah,” ucap Salwa dingin. “Dulu, aku berusaha abai dengan sikap ibumu karena aku sangat mencintaimu. Sekarang perasaan itu telah hancur, tidak ada lagi yang dapat membuatku bertahan.”Salman turun dari kursinya. Bersimpuh dengan di depan Salwa. Ia merangkum dua tangan Salwa dalam genggamannya. “Beri aku kesempatan sekali lagi. Pandanglah Salsa, kita mulai dari awal lagi. Ya.”“Mengapa itu tidak camkan pada dirimu sendiri dari dulu? Aku sudah berusaha bertahan sekian demi Salsa, kenapa kau baru berpiki
. *** Entah siang atau malam, Salwa mengisi waktunya dengan murajaah. Tepatnya tilawah, karena ia tidak bisa membaca dengan menutup mushaf. Jika terasa lelah, ia akan membuka tulisan Cahya. Sebagai tubuh, hati juga membutuhkan nutrisi supaya tetap sehat. Terlebih lagi untuk hati yang sakit. Ia lebih membutuhkan nutrisi sehat dan menjauhi yang tidak sehat meski menyenangkan. Anggota tubuh mendapatkan nutrisi lewat makanan, sedang hati mendapatkan nutrisi dari informasi yang diserap melalui indra pendengaran, penglihatan, dan perasa. Karena itu, gunakan semua indra untuk menyerap informasi bermanfaat. Makanan yang mengandung nutrisi tinggi adalah zikir, ilmu, kisah motivasi – terutama kisah sahabat, silaturahmi kepada orang miskin, dan sedekah. Zikir bagaikan air membersihkan dan memberi kesegaran pada tubuh. Ilmu akan menambah wawasan sehingga pikiran lebih terbuka. Kisah akan menyalakan dan mendorong semangat kebaikan. Silaturahmi kepada orang miskin akan mengajarkan kita arti s
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa