"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur." (Qs.An-Nahl: 78)***“Iya, aku gila. Aku tahu, hatimu terlanjur hancur. Aku pun tidak ingin lagi membual. Setidaknya lakukanlah ini demi Salsa. Buah hati kita. Dia masih sangat memerlukan kasih sayang kita.” Salwa terdiam. Menatap ayah dari putrinya dengan seribu pertanyaan. “Ya, kita rujuk ya,” bujuk Salman. “Aku lelah,” ucap Salwa dingin. “Dulu, aku berusaha abai dengan sikap ibumu karena aku sangat mencintaimu. Sekarang perasaan itu telah hancur, tidak ada lagi yang dapat membuatku bertahan.”Salman turun dari kursinya. Bersimpuh dengan di depan Salwa. Ia merangkum dua tangan Salwa dalam genggamannya. “Beri aku kesempatan sekali lagi. Pandanglah Salsa, kita mulai dari awal lagi. Ya.”“Mengapa itu tidak camkan pada dirimu sendiri dari dulu? Aku sudah berusaha bertahan sekian demi Salsa, kenapa kau baru berpiki
. *** Entah siang atau malam, Salwa mengisi waktunya dengan murajaah. Tepatnya tilawah, karena ia tidak bisa membaca dengan menutup mushaf. Jika terasa lelah, ia akan membuka tulisan Cahya. Sebagai tubuh, hati juga membutuhkan nutrisi supaya tetap sehat. Terlebih lagi untuk hati yang sakit. Ia lebih membutuhkan nutrisi sehat dan menjauhi yang tidak sehat meski menyenangkan. Anggota tubuh mendapatkan nutrisi lewat makanan, sedang hati mendapatkan nutrisi dari informasi yang diserap melalui indra pendengaran, penglihatan, dan perasa. Karena itu, gunakan semua indra untuk menyerap informasi bermanfaat. Makanan yang mengandung nutrisi tinggi adalah zikir, ilmu, kisah motivasi – terutama kisah sahabat, silaturahmi kepada orang miskin, dan sedekah. Zikir bagaikan air membersihkan dan memberi kesegaran pada tubuh. Ilmu akan menambah wawasan sehingga pikiran lebih terbuka. Kisah akan menyalakan dan mendorong semangat kebaikan. Silaturahmi kepada orang miskin akan mengajarkan kita arti s
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (Qs. Al-Isra: 7) *** “Menurutku, dilihat dari bangunan dan lokasinya, gedung ini sebaiknya kamu fokuskan pada penyediaan pakaian kelas menengah ke atas," usul Bayu sambil menuruni anak tangga. Aditya berjalan di belakangnya."Kenapa, Om?""Om?!"Langkah Bayu terhenti. Aditya tertawa. "Gini nih orang menolak tua," tunjuk Aditya. Ia memegang perutnya yang terasa kram. Bayu mendengus dengan ejekan Aditya. "Begini. Dilihat dari gedungnya, orang menengah ke bawah akan sungkan mampir ke sini. Kalau bukan pelanggan tetap, mereka akan mengira tempat ini hanya menjual pakaian mahal." Obrolan mereka terhenti. Seorang perempuan cantik dan modis memasuki ruangan. "Ma?" Haikal bergegas turun.Jamilah menyeret Haikal menjauh dari mereka. "Mama perlu duit," bisiknya. Bayu dan Aditya saling bersitatap. "Bukannya baru kemarin, Ma?" "Mam
"(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan." (Qs. Ali Imran: 34)🌸🌸🌸“Anita dan Bayu ke mana? Rumah sebelah kelihatan gelap.”“Katanya tadi mau menjenguk Acil Imah di rumah sakit,” jawab Salwa tanpa menoleh. “Oh iya, katanya sakit beliau makin parah, ya.”Salwa mengangguk. “Pelan-pelan, Sayang. Kita harus sabar. Menggores sedikit demi sedikit, biar warnanya terlihat bagus. Sini, Tante coba kasih contoh lagi.” Aditya mengamati gerakan Salwa. Dulu Salwa tidak menyukai menggambar, sekarang terlihat sudah mahir. Dulu Salwa menyukai hal yang berbau bisnis, sekarang lebih mendedikasikan kepada pendidikan atau layanan masyarakat. Dulu Salwa langsung bersikap hangat jika mendekat, sekarang malah mengabaikan. Ia benar-benar harus mulai nol jika ingin merengkuh kembali, gadis kecil yang sempat hilang dari kehidupannya. “Wa, sudah malam. Kamu
“Umi juga.” Salwa merasakan seluruh asa lelahnya mengalir. Betapa keberadaan malaikat kecilnya, sangat berarti agar membuatnya lebih kuat. “Umi nangis, ya?” Salsabila melepaskan pelukannya. Salwa mencoba mengurai senyum. “Umi sangat bahagia. Umi rindu sekali, anak Umi yang cerewet ini.” Salwa mencubit pipi chubby putrinya. “Sepertinya Ustadzah Cahya sangat baik merawatmu.”Salsabila mengangguk. “Om Setya, Tante Lidya, juga Om Adiwarna sangat baik sama Salsa.”“Alhamdulillah.”“Abi mana?” Diam-diam Salwa menahan napasnya. Meski sudah memperkirakan, tetap saja memunculkan reaksi tidak nyaman. “Abi sedang kerja, nanti juga ke sini. Yuk, ganti pakaian! Atau mandi dulu, biar lebih segar.” Belum sempat sempat Salsa beranjak. Terdengar ketukan diiringi sebuah salam.“Nah, itu Abi datang,” seru Salwa. Salsabila langsung meloncat dari ranjangnya dan berlari membuka pintu. “Pintu nggak dikunci, kenapa pakai ketuk?” cecar Salsabila. “Assalamu ‘alaikum.” Salman langsung berjongkong dan mer
“Salsa, bagaimana rasanya tinggal di rumah Ustadzah Cahya? Dia galak, nggak?” tanya Anita pada Salsabila yang duduk berseberangan dengannya.Cahya mendengus. Salsabila menggeleng. Ia sibuk menggigit semangka yang dipotong segitiga tipis. Ia duduk diapit oleh Aditya dan Salwa. Badannya menyandar ke badan Aditya. “Salsa, yang lurus dong duduknya. Kasihan Om Adit. Kalau kena pakaian Om Adit, nanti kotor,” tegur Salwa. Baru saja ingin meluruskan duduknya, sebelah tangan Aditya langsung merengkuhnya. “Tidak apa. Om senang, kok. Tak lama lagi Salsa akan balik lagi ke Jakarta.” Anita menatap mereka penuh arti. “Salsa banyak makanan bakar di sini, kenapa memilih semangka?” tanya Bayu. Sesaat ia menengadah, menatap wajah Aditya, lalu mengedikkan bahunya. Sontak beberapa orang di sana tertawa. “Jadi ceritanya, Salsa juga tidak tahu kenapa suka itu?” sela Setya yang duduk di samping Cahya. Cahya duduk di samping Anita. Salsabila mengangguk. “Kita nggak tahu ya, kalau Salsa ternyata sang
"Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (Qs. Al Isra: 27)***Salsa memasang wajah cemberut. "Coba kalau ada Abi di sini. Mungkin dia bisa nambah bantuan."Seketika semuanya terdiam. Aditya Kembali menoleh ke arah Salwa. Mata itu kembali redup. *** "Salsa, mau berangkat kok mukanya cemberut begitu?" tanya Aditya dengan berjongkok, ketika mereka berkumpul di halaman rumah singgah. Cahya sudah berdiri di samping Anita. Sedang Setya memasukkan barang-barang ke bagasi mobil. Salman ikut membantu. "Minta diantar, Om. Abinya menjaga nenek, jadi nggak bisa mengantar," jelas Salwa. "Kamu?" tanya Aditya. "Perjalanan sejauh itu, perempuan harus ditemani mahram, Dit," jawab Salwa. "Bagaimana kalau aku yang temani?"Gerakan Salman terhenti. Menjaga nenek yang sakit hanyalah alasan. Kenyataannya, ia tidak mungkin lagi jalan bersama Salwa. Siapa yang dapat menyangka, kalau Aditya akan melakukan itu. "Benar, Om?" Seketika ma
"Wa, kamu tidak apa kan?" *** Liburan telah usai. Aktifitas belajar mengajar kembali dimulai. Saat dalam memasuki halaman gedung, seorang batita laki-laki berjalan sambil roti. Salwa terkesiap. Mendadak anak itu terjatuh. Ia berlari mendekati anak yang tengah menangis itu. Ia langsung merengkuh anak itu setelah membersihkan kedua telapak tangan juga lututnya. Tak lama datang seorang santriwati. "Maaf, Ustadzah." Santriwati itu mengulurkan tangannya, ingin mengambil alih, tetapi batita itu menolak. "Basith, Ustadzah mau ngajar." Santriwati itu berusaha menarik badan Basith, tapi batita itu makin menangis. "Biarkan dia tenang dulu," usul Salwa. Sebelah tangannya mengusap pelan punggung Basith."Kamu keponakan Ustadz Hasan?"Santriwati itu mengangguk. "Jadi selama Ustadz ngajar, kamu yang jaga?" Salwa kembali bertanya. "Iya, Ustadzah." "Sudah lama ya ibunya meninggal?" "Sekitar 6 bulan," sahut Santriwati."Kasihan sekali." Salwa meluruskan badan Basith. Tangis anak itu sudah r
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa