“Salsa, bagaimana rasanya tinggal di rumah Ustadzah Cahya? Dia galak, nggak?” tanya Anita pada Salsabila yang duduk berseberangan dengannya.Cahya mendengus. Salsabila menggeleng. Ia sibuk menggigit semangka yang dipotong segitiga tipis. Ia duduk diapit oleh Aditya dan Salwa. Badannya menyandar ke badan Aditya. “Salsa, yang lurus dong duduknya. Kasihan Om Adit. Kalau kena pakaian Om Adit, nanti kotor,” tegur Salwa. Baru saja ingin meluruskan duduknya, sebelah tangan Aditya langsung merengkuhnya. “Tidak apa. Om senang, kok. Tak lama lagi Salsa akan balik lagi ke Jakarta.” Anita menatap mereka penuh arti. “Salsa banyak makanan bakar di sini, kenapa memilih semangka?” tanya Bayu. Sesaat ia menengadah, menatap wajah Aditya, lalu mengedikkan bahunya. Sontak beberapa orang di sana tertawa. “Jadi ceritanya, Salsa juga tidak tahu kenapa suka itu?” sela Setya yang duduk di samping Cahya. Cahya duduk di samping Anita. Salsabila mengangguk. “Kita nggak tahu ya, kalau Salsa ternyata sang
"Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu saudaranya setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (Qs. Al Isra: 27)***Salsa memasang wajah cemberut. "Coba kalau ada Abi di sini. Mungkin dia bisa nambah bantuan."Seketika semuanya terdiam. Aditya Kembali menoleh ke arah Salwa. Mata itu kembali redup. *** "Salsa, mau berangkat kok mukanya cemberut begitu?" tanya Aditya dengan berjongkok, ketika mereka berkumpul di halaman rumah singgah. Cahya sudah berdiri di samping Anita. Sedang Setya memasukkan barang-barang ke bagasi mobil. Salman ikut membantu. "Minta diantar, Om. Abinya menjaga nenek, jadi nggak bisa mengantar," jelas Salwa. "Kamu?" tanya Aditya. "Perjalanan sejauh itu, perempuan harus ditemani mahram, Dit," jawab Salwa. "Bagaimana kalau aku yang temani?"Gerakan Salman terhenti. Menjaga nenek yang sakit hanyalah alasan. Kenyataannya, ia tidak mungkin lagi jalan bersama Salwa. Siapa yang dapat menyangka, kalau Aditya akan melakukan itu. "Benar, Om?" Seketika ma
"Wa, kamu tidak apa kan?" *** Liburan telah usai. Aktifitas belajar mengajar kembali dimulai. Saat dalam memasuki halaman gedung, seorang batita laki-laki berjalan sambil roti. Salwa terkesiap. Mendadak anak itu terjatuh. Ia berlari mendekati anak yang tengah menangis itu. Ia langsung merengkuh anak itu setelah membersihkan kedua telapak tangan juga lututnya. Tak lama datang seorang santriwati. "Maaf, Ustadzah." Santriwati itu mengulurkan tangannya, ingin mengambil alih, tetapi batita itu menolak. "Basith, Ustadzah mau ngajar." Santriwati itu berusaha menarik badan Basith, tapi batita itu makin menangis. "Biarkan dia tenang dulu," usul Salwa. Sebelah tangannya mengusap pelan punggung Basith."Kamu keponakan Ustadz Hasan?"Santriwati itu mengangguk. "Jadi selama Ustadz ngajar, kamu yang jaga?" Salwa kembali bertanya. "Iya, Ustadzah." "Sudah lama ya ibunya meninggal?" "Sekitar 6 bulan," sahut Santriwati."Kasihan sekali." Salwa meluruskan badan Basith. Tangis anak itu sudah r
"Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (Qs. Al-Isra: 79)*** "Entahlah. Dia tidak mengibasku, artinya dia mengenaliku saat itu. Tapi di sisi lain, aku melihat dia seperti … ketakutan." Anita kembali menghentikan gerakannya. "Trauma?"***"Kal, Mama minta duit dong!" Jamilah mendekati putranya yang sibuk memerhatikan gambar-gambar jualannya di salah satu marketplace online. Qori benar-benar membuat tokonya termasuk di deretan atas. "Ngga punya. Yang kemarin saja belum Mama kembalikan," sahut Haikal tanpa mengalihkan perhatiannya. Sebelah tangannya masuk ke kemasan snack."Masa sama Mama perhitungan gitu," protes Jamilah.Haikal meletakkan potongan keripik kentang yang tadinya mau disuap "Ma, bukannya Om Salman selalu memberi Mama uang?""Dari dia cuma untuk kebutuhan sehari-hari. Mama kan juga pengen nongkrong bareng teman, arisan, shopping.""Ma, seharusnya sadar diri d
“Kok, makannya tergesak-gesak? Mau ke mana?” tanya Jamilah melihat putranya yang menyuap makanan dengan cepat.“Ada janjian,” jawabnya sambil berdiri dan meneguk air minumnya.“Haikal, duduk dulu!” sela Salman lembut.Haikal menurut, tetapi ia langsung berlari begitu selesai menghabiskan minumannya.“Janjian?” kening Jamilah mengerut tajam.***Dari balik pintu kaca Jamilah sudah bisa melihat perempuan yang tak jauh dengan putranya. Perempuan itu sedang mencermati selembar gamis, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik.Seketika emosinya menderap. Dengan langkah cepat ia masuk, mendekat, lalu melayangkan sebuah tamparan.Plak.“MA!” teriak Haikal. Aditya yang tadinya sibuk mencermati dekorasi menoleh.“Jadi kamu yang selama ini morotin anak saya. Kalau ada dendam langsung saja, jangan manfaatin anak saya.”Salwa terlihat masih shock. Sebelah tangannya memegang pipinya yang terasa panas. Jamilah sepertinya belum puas melampiaskan emosinya. Ia berusaha menarik kerudung Salwa, tetapi
"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar." (Qs. At-Taghabun: 15)***“Hei, jangan salah! Dia juga laki-laki, meski masih bau kencur."Bahu Salwa bergerak-gerak. Menahan sensasi kupu-kupu menggeliat di perutnya.Diam-diam Aditya menyimpan tawa Salwa dalam memorinya. ***Seakan telah direncanakan, bersama sepupunya, Basith menunggunya di halaman gedung pondok Salwa mengajar. “Assalamu ‘alaikum, Basith.” Salwa berjongkok, lalu merentangkan tangan.Wa ‘alaikum salam warahmatullah.” Sesaat Salwa terkejut. Jawaban kali ini bukan lagi khas suara sepupu Basith, tapi suara bariton yang memang pernah dikenalnya. Seketika ia menjadi kikuk. Tanpa menyadari tangannya sudah memegang tangan mungil Basith.“Pintar, anak saleh.” Ia menghadiahi ciuman di pipi kiri dan kanan Basith. Seketika anak itu tertawa. tawa itu mengingatkannya pada almarhum Ustadzah Maryam, ibunya Basith. Tanpa dapat dikendalikan, ia memeluk erat tubuh mungil Basith.
“Dia kenapa?” tanya Anita yang baru saja keluar dengan pakaian santai. Salwa hanya menjawab dengan mengedikkan bahu. “Cemburu sama Basith, ya,” pancing Anita menggeser beberapa mainan untuk tempat duduknya. Salwa tak menjawab. “Sal, aku tau kamu berusaha menghindari membicarakan ini. Maaf, jika aku terlalu mencampuri urusan pribadimu.”Salwa mengangkat wajahnya.“Kamu nyadar nggak di balik nama Sebuah Rasa pada kafenya?"Salwa menggeleng."Sebuah Rasa yang membuatnya tak bisa lagi melihat wanita lain. Dia benar-benar totalitas dengan kafe itu. Ia pernah cerita padaku, kafenya hampir saja kolaps, tetapi ia tetap mempertahankan. Baginya kafe itu bukan sekadar kafe, melainkan sudah menjadi bagian dirinya."Anita melepaskan satu anak bongkar pasang lalu mengganti dengan yang lain. Sekarang bongkar pasang itu sudah terlihat berbentuk armada. "Sampai akhirnya aku kerja di sana, dan menemukan menu favorit. Perlahan kafenya mulai bangkit. Ia banyak cerita tentangmu. Tentang alasan ia me
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik." (Qs. Al-ankabut: 69)🌸🌸"Mari kita bangun rumah tangga dengan niat lillah." Suara lirih itu seketika membuat Salwa mengangkat wajahnya. Ia merasakan jelas debaran dadanya. "Kita sama-sama punya masa lalu, tentu tidak mudah melupakan begitu saja, bahkan mungkin akan membayangi rumah tangga ke depannya. Namun, ana percaya rumah tangga yang dibangun niat lillah, terus berbenah sesuai petunjuk Allah, Allah akan memberikan sakinah, mawadah warahmah.""Seperti yang antum bilang, kita sama-sama punya masa lalu. Bedanya antum ditinggal wafat, tentu luka tidak sama dengan ditinggal pergi. Sampai saat ini masih berbekas di hati ana, itulah kenapa ana tidak dapat menerima lamaran antum. Ana khawatir tidak dapat menjalankan tugas sebagai istri dengan baik. Meski niat lillah, tentu kita juga harus memiliki pondasi yang kuat
“Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa
Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?
Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik
Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi
“Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.
Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain
"Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di
Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”
Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa