All Chapters of STATUS GALAU SUAMIKU: Chapter 61 - Chapter 70

84 Chapters

Part 61–Diabaikan

Mendengar nama itu, Mas Aldi yang sudah kembali berdiri pun sontak ikut berbalik menatapnya. Semakin dia mendekat, semakin jantung ini berdetak cepat. Bagaimanapun juga, aku tidak mau ada kesalahpahaman di antara kami."Dokter, aku ....""Apa kabar?" Dokter Widi menyela ucapanku. Dengan senyuman ramah dia mengulurkan tangan pada Mas Aldi yang menatapnya sedari tadi."Baik, terima kasih. Kamu sendiri?""Alhamdulillah baik juga. Sangat baik malah," jawabnya sembari melempar senyum padaku yang masih mematung dan sesekali menelan ludah. "Tumben ke sininya malam-malam.""Mas Aldi ....""Aku ...."Ucapanku dan Mas Aldi serempak terhenti dan saling melempar pandang, saat menyadari kami menjawab dalam waktu yang bersamaan."Keren. Jawabnya bisa kompakan begitu, ya. Sehati." Dokter Widi tertawa."Yaa, begitulah," sahutnya santai dengan tawa kecil seraya menggaruk kepala. "Kalau udah kangen, sih, enggak mandang malam atau siang, pasti aku datang.""Memangnya enggak kerja?""Ambil cuti.""Ooh."
Read more

Part 62–Pantang Mundur

Spontan aku berhenti melangkah dan menelan ludah, lalu menggeleng pelan. "Perlu aku bantu bicara sama dia?" "Jangan!" larangku cepat. "Anu, maksudku ... biar nanti aku aja yang bilang sendiri sama Mas Aldi." Dokter Widi tersenyum, lalu kembali melanjutkan langkah dengan aku yang mengekorinya. "Dokter enggak bawa motor?" Mataku celingukan menyadari tak ada sepeda motornya di sini. "Enggak. Lagi pengen jalan kaki." Pantas s
Read more

Part 63–Jaga Perasaan

Kuhela napas panjang, lalu meletakkan kembali kertas tersebut ke dalam kotaknya. Jujur saja, setiap kata yang diucapkan Dokter Widi selalu berhasil menyentu hati, tapi kenapa aku masih ragu?Aku takut akan menyakitinya jika kami menikah, tapi hati ini masih menyimpan rasa untuk pria lain. Aku pernah mengalami itu dan tahu bagaimana sakitnya. Aku tidak ingin pria sebaik Dokter Widi mengalami hal yang sama.Bunga ....Bergegas aku keluar kamar saat teringat dengan bunga pemberian Mas Aldi yang diletakkan di bufet televisi. Akan tetapi, bunga itu tak terlihat lagi berada di sana. Aku celingukan ke sekeliling rumah, tapi tetap tak menemukannya."Cari apa, Nur?"Aku menoleh. Bapak baru saja kembali dari halaman belakang."Enggak cari apa-apa, Pak.""Cari bunga dari Aldi?" tanyanya tepat sasaran.Aku terdiam seraya menelan ludah."Ingat, Nur. Sebentar lagi kamu itu menikah dengan Dokter Widi. Jaga perasaan calon suamimu walaupun kamu belum mencintainya. Dokter Widi mungkin terlihat santai d
Read more

Part 64–Pilihan Sulit

[Maaf. Barusan habis dari kamar mandi.]Aku tersenyum seraya menghela napas lega setelah membaca balasan darinya tersebut. Tadinya aku sempat berpikir dia marah dan tersinggung.[Boleh, Dok?] tanyaku lagi.[Boleh. Hati-hati.][Makasih.] Aku mengirimkan pesan lagi yang hanya dibalasnya dengan emot tersenyum.Setelahnya, aku bergegas keluar kamar untuk menghampiri Mas Aldi yang sudah menunggu sembari menggendong Alan."Sudah izin sama Dokter Widi, Nur? Takutnya ada salah paham," tanya Ibu berbisik ketika Mas Aldi sudah berjalan lebih dulu menuju mobil."Sudah, Bu. Dibolehin, kok.""Syukurlah. Ya sudah sana. Ingat pesan ibu, ya. Jangan pulang sore-sore.""Iya, Bu." Aku mengangguk, lalu menoleh pada Bapak yang baru keluar dari kamar. "Pak, aku pergi dulu."Bapak menga
Read more

Senyum Luka

Aku terdiam memandangi kalung dengan liontin bulan bintang yang disodorkan Mas Aldi. Kalung yang pernah dihadiahkannya setelah kelahiran Alan dulu."Dek?""Aku enggak bisa terima itu, Mas. Aku ....""Komohon ...," potongnya dengan raut wajah memelas. "Ini memang sudah seharusnya jadi milikmu. Meskipun saat itu kamu memilih pergi, harusnya kamu enggak perlu kembalikan ini.""Tapi, Mas. Aku ....""Please ...," mohonnya lagi dengan tatapan sendu.Kuhela napas panjang dan akhirnya satu tangan ini bergerak perlahan menyentuh kalung yang dipegangnya. Senyum Mas Aldi kembali merekah ketika kalung tersebut sudah berpindah ke tanganku."Kamu masih ingat 'kan, dengan niat baikku untuk kembali meminangmu?" tanyanya seraya merogoh kantung celana.Aku membisu."Ambillah ini, Dek." Mas Aldi menyodorkan sebuah kotak cincin merah dan lagi-lagi aku terpaksa menerimanya."Pakailah cincn itu kalau jawabanmu adalah iya," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Dan aku sangat berharap akan mendapatkan jawaban ya
Read more

Part 66–Penasaran

Kami tiba di rumah bertepatan dengan azan ashar yang berkumandang. Aku bergegas ke rumah, sedangkan Mas Aldi pamit ke musala yang terdekat."Assalamu'alaikum," salamku."Wa'alaikumsalam," jawab Ibu yang tengah memotong-motong sayuran sambil menonton televisi. "Aldinya mana, Nur?""Mas Aldi ke musala, Bu. Bapak mana?" tanyaku, lalu mencium tangan Ibu dan ikut duduk bersamanya."Ada di kamar. Lagi tiduran. Katanya pusing.""Pusing? Udah dibawa ke klinik, Bu?""Udah. Tadi Dokter Widi yang antar pulang ke sini pas habis diperiksa. Katanya darah tinggi Bapak kumat. Asam lambungnya juga naik. Tapi udah dikasih obat, kok.""Aku lihat Bapak dulu, ya, Bu."Ibu mengangguk."Sini sama nenek dulu." Ibu mengambil alih Alan dari gendonganku.Bergegas aku pergi menuju kamar Bapak, membuka pintu dengan perlahan dan mendapatinya tengah tidur dalam posisi miring membelakangi. Kuayunkan kaki mendekatinya, lalu duduk di tepi ranjang.
Read more

Part 67–Pamit

Mas Aldi hanya menjawab pertanyaanku itu dengan seulas senyum. Setelah itu, dia tak lagi mengajakku bicara. Mas Aldi menyibukkan dirinya bermain bersama Alan sampai tiba waktunya makan malam."Bu, Pak, aku mau pamit pulang," ujarnya. Membuatku yang baru saja hendak mencuci piring ini, jadi urung dan bergegas menghampiri mereka di ruang tamu."Pulang? Tapi katanya kamu sudah ambil cuti tiga hari, Aldi," kata Ibu."Iya, Bu. Maaf. Tapi aku harus pulang sekarang.""Apa enggak bisa ditunda sampai besok pagi saja? Ini sudah malam. Ibu takut ada apa-apa.""Insyaallah enggak apa-apa, Bu. Aku bawa mobilnya enggak ngebut, kok.""Ya sudah kalau memang maunya begitu. Hati-hati, ya. Kabari kalau sudah sampai," pesan Ibu.Mas Aldi mengangguk dan tersenyum, lalu beralih menatapku yang sedari tadi hanya diam. "Boleh aku lihat Alan dulu, Dek?"Aku mengangguk, lalu mengekorinya yang berjalan ke kamar di mana Alan sudah tertidur pulas."Pa
Read more

Part 68–Gugup

"Masaknya banyak banget, Nur? Ada acara apa?" Ibu menghampiriku ke dapur sembari menggendong Alan."Enggak ada acara apa-apa, kok, Bu.""Masa?""Buat makan siang Dokter Widi sekalian.""Ooh." Ibu mengulum senyum.Aku menunduk menahan senyum malu dengan pipi yang terasa menghangat. Mulai hari ini, aku harus mulai memperbaiki sikapku terhadap pria itu. Pun meminta maaf jika pertemuanku dengan Mas Aldi sering tanpa sengaja menyakitinya."Aldi sudah ngabarin belum, Nur? Sampai jam berapa dia semalam?"Aku menggeleng. "Tadi pagi udah coba kutelepon, Bu. Tapi enggak aktif. Pesan wa juga cuma ceklis satu. Mungkin Mas Aldi masih tidur karena capek nyetir semalaman.""Benar juga. Tapi kamu sudah coba tanya ke orangtuanya belum? Ibu khawatir saja.""Udah, Bu. Tapi enggak diangkat-angkat juga. Mungkin sibuk. Nanti kucoba telepon lagi agak sorean. Pasti udah bangun.""Ya sudah. Kamu mau antar makan siang itu ke klinik, kan?"Aku mengangguk."Tidurin dulu Alannya, ya. Dia udah ngantuk kayaknya. Re
Read more

Part 69–Ungkapan Perasaan

"I–iya. Kayaknya lagi bicara serius. Mending Teteh sama aku dulu aja di sini," saran Intan."Ah, pentingan mana tamu sama calon istri? Udah sana, Nur. Jangan dengerin Intan!" Teh Iis lagi-lagi mendorongku setelah menarik Intan ke samping agar tak menghalangi."Tapi, Teh ... anu ....""Ssstt. Orang mau ketemu calon suaminya kok malah kamu halangin," cicit Teh Iis.Aku tersenyum mendengar perdebatan kecil keduanya, dan terus melangkah mendekati pintu halaman belakang yang terbuka lebar. Kugenggam erat rantang bekal di tangan seiring detak jantung yang kembali berulah. Padahal, detaknya tadi sempat tenang kembali ketika bicara dengan Teh Iis.Semakin kaki ini mendekat, semakin terdengar jelas suara Dokter Widi yang tengah berdebat dengan seorang wanita. Bertepatan dengan aku yang tiba di sana, wanita itu terlihat sedang menarik-narik lengan Dokter Widi. Mereka ser
Read more

Part 70–Jangan Salah Paham

"Nur."Aku terkesiap kaget dan spontan mengucap istighfar ketika pundak ini ditepuk pelan."Ngelamunin apa?" Dia tertawa kecil melihat raut wajah kagetku."Dokter jangan ngagetin begitu. Nanti kalau jantungku copot gimana?" protesku pelan dengan wajah cemberut."Nanti kupasangin lagi," jawabnya santai yang membuatku menatapnya dengan kening berkerut."Bercanda, Nur." Dia kembali tertawa kecil. "Ayo sini duduk! Nanti keburu jam istirahatku habis," ajaknya, kemudian berjalan lebih dulu menuju bangku kayu yang ada di teras belakang gedung ini."Wanita tadi ....""Akan kujelaskan semuanya." Dokter Widi tersenyum. "Tapi kamunya ke sini dulu. Duduk." Dokter Widi menepuk area bangku yang kosong. "Masa mau berdiri terus di situ?"Kuhela napas pelan, lalu berjalan mendekat dan ikut duduk bersamanya dengan rantang
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status