Kamu kenapa, Zi?” Ia menatapku dengan pandangan berbeda.“Gak apa, Om.”“Jangan bohong. Kamu kenapa?”“Aku lapar, Om. Tadi pagi gak sarapan nasi, Zi belum kenyang. Ini sudah saatnya makan siang tapi gak ada yang Zi makan. Tadi mau dapat cendol gratisan, eh gak jadi Zi minum gara-gara keduluan Om datang dan marah.”“Kamu nyalahin aku, Zi?”“Enggak, Om. Kan tadi Om yang tanya Zi kenapa? Ini Zi jawab, tetap saja kena marahan juga.”“Kalau tadi pagi kamu lapar, kenapa gak makan siang di kampus. Kantin di sana kan banyak? Cerdas dikit dong, Zi!”“Uang dari mana, Om? Zi kan budak yang terbeli, jadi gak dapat upah. Zi mana bisa jajan.”Lelaki di sebelahku bangun dan kembali meraih sepatunya, ia menarik lenganku untuk mengikuti.“Mau ke mana, Om?” “Jangan banyak bicara.”“Tapi, Om!”Ia tak bergeming, masih fokus menyusuri anak tangga.“Om, pelanan dikit jalannya.”Mataku membulat sempurna ketika lelaki itu melepaskan pegangan tangannya. Ia kini mendekat dan mengangkat ku begitu saja. Wajahn
Baca selengkapnya