“Om, jalannya pelanan dikit,” protesku, ketika lelaki di depanku melangkah begitu cepat. Apalagi jarak langkah nya begitu lebar, berbeda sekali denganku.“Kamu yang terlalu lelet.”Aku tertatih mengimbangi jalannya Om Zuan.“Selamat pagi, Pak Zuan.”Seorang lelaki cukup umur menyapa, berseragam rapi dengan jas warna Dongker.“Selamat pagi juga, Pak.”“Ada yang bisa saya bantu?”“Tidak, Pak. Saya hanya ingin mampir saja.”Om Zuan kembali melangkah dan aku terus mengekori di belakangnya.“Kelasmu di mana, Zi?”Aku menggeleng.“Zi?” “Aku beneran gak tahu, Om. Waktu Rendra mengantarku ia buru-buru. Aku belum sempat lihat tempat ini, habisnya Om sih, wajibin bikin makan siang jam dua belas tepat. Aku gak punya banyak waktu.”“Zi, bisa gak sih kalau jawab sesingkat-singkatnya saja. Aku gak tanya rumus luaa, yang harus dijelaskan panjang kali lebarnya.”“Maaf, Om!”“Di mana kelasmu?”“Gak tahu, Om!”“Mata kuliahmu apa hari ini?”“Jam delapan ada kelas bahasa, jam sepuluh ada kelas akutansi.
Ssstt...Motor terhenti begitu saja, hingga aku seakan terpental dan duduk mendekati Aga. Tubuh kita tampak menyatu di jok yang tak rata ini.“Ma-maaf,” ucapku sambil kembali mundur ke jok semula yang ku duduki. “Apa maksudmu tidak tahu alamatmu?”“Aku beneran gak tahu, Ga! Aku tinggal di rumah Om Zuan. Apa kamu tahu rumah Om Zuan?”“Zuan tetanggaku yang berprofesi jadi tukang ojek?”Aku menggeleng.“Om Zuan mu telfon, di mana alamatnya.”“Aku gak punya ponsel, Ga!” “Jaman sekarang gak punya ponsel, Zi? “Aku menggeleng.“Sudahlah, kita balik kampus saja kalau begitu.”Aga tampak menarik gas motornya kembali hingga motor ini kembali melaju cepat.“Ga, kenapa berhenti di sini?” tanyaku sambil menatap jalanan.“Aku haus, Zi! Kita beli es cendol dulu ya.” Ia turun dari motornya, sedangkan tatapanku mengarah kepada Abang penjual es, mirip sekali dengan Om Zuan . Aku mengucek mataku dan kembali memperhatikannya, wajahnya kini berubah menjadi lelaki dekil dengan pakaian lusuh.“Sini, Zi!”
Kamu kenapa, Zi?” Ia menatapku dengan pandangan berbeda.“Gak apa, Om.”“Jangan bohong. Kamu kenapa?”“Aku lapar, Om. Tadi pagi gak sarapan nasi, Zi belum kenyang. Ini sudah saatnya makan siang tapi gak ada yang Zi makan. Tadi mau dapat cendol gratisan, eh gak jadi Zi minum gara-gara keduluan Om datang dan marah.”“Kamu nyalahin aku, Zi?”“Enggak, Om. Kan tadi Om yang tanya Zi kenapa? Ini Zi jawab, tetap saja kena marahan juga.”“Kalau tadi pagi kamu lapar, kenapa gak makan siang di kampus. Kantin di sana kan banyak? Cerdas dikit dong, Zi!”“Uang dari mana, Om? Zi kan budak yang terbeli, jadi gak dapat upah. Zi mana bisa jajan.”Lelaki di sebelahku bangun dan kembali meraih sepatunya, ia menarik lenganku untuk mengikuti.“Mau ke mana, Om?” “Jangan banyak bicara.”“Tapi, Om!”Ia tak bergeming, masih fokus menyusuri anak tangga.“Om, pelanan dikit jalannya.”Mataku membulat sempurna ketika lelaki itu melepaskan pegangan tangannya. Ia kini mendekat dan mengangkat ku begitu saja. Wajahn
Uhuk ...Om Zuan terbatuk ketika meneguk minuman dingin berkuah santan itu.“Kamu kenapa, Om? Makanya kalau mau makan atau minum baca doa dulu, supaya setan tidak melintas dan bikin tersedak seperti sekarang.”“Setannya itu kamu, Zi. Yang bikin aku tersedak.”“Hus, gak boleh lo Om menyamakan manusia dengan setan, derajatnya berbeda di depan Allah meskipun sama-sama makhluknya. Setan tak pernah mau menurut perintah Allah, berbeda sekali dengan Zi, Om?”“Sudah ceramahnya? Bu ustadzah laper dan haus kan? Sana habiskan dulu.”Aku menatap berbagai macam makanan di depanku. Ayam goreng sambal lalapan, oseng teri, cah kangkung, orek telur. Benar-benar membuat nafsu makanku bertambah.“Ayo, Om kita makan dulu.”“Habiskan saja, Zi. Menu makan siang ku hanya sup ayam jahe.”Aku menatap lelaki di depanku, yang kini mencoba meraih cendol dari gelasnya. Ia sama sekali tak tertarik dengan makanan yang menggoyang lidah di depannya. Bahkan kini kurasakan lidahku ingin menari untuk segera menyantapnya
Cup !!!Lelaki itu membentuk jari jemarinya berbentuk bibir dan di kecupkan di dahiku.“Zi, sudah kubilang kan jangan pakai perasaan kepadaku!”“Siapa yang pakai perasaan, Om? Zi ini masih menunggu Om Zuan melepas sabuk pengamannya.”Klik, laki – laki itu kini menjauh dan membuka pintu keluar dari dalam mobilnya. Sedangkan aku membuang nafas kasar, sambil menata detak jantungku yang kini mengalir tak karuan.Aku mengikuti Om Zuan keluar mobil dan mengekorinya tanpa tahu tujuan yang jelas. Memasuki bangunan yang besar, bahkan sangat besar.“Apakah ini yang namanya Mol, Om?” Aku memandang sekitar di mana banyak dagangan mereka pasarkan, barang-barang branded yang hanya pernah ku dengar tanpa sama sekali menyentuhnya.“Om, apa itu merk Chanel yang pernah dipakai Syahrini? “ tanyaku kepada laki-laki di depanku, yang sama sekali tak mengindahkanku walaupun jalanku tertatih. Jari telunjukku mengarah kepada ruangan besar yang berlogo bentuk C yang saling menempel. Beberapa wanita dengan pen
“Maaf ya, Om. Pinjam Zi bentar saja.”Aga menarik lenganku dan membawaku pergi begitu saja. Menaiki ruang berlapis baja dan Aga menekan tombol di dalamnya. Ketakutanku kembali menyeruak, aku benar-benar hendak terjatuh ketika benda ini terasa bergetar.“Kamu tak apa, Zi?” tanya Aga sambil memegang lenganku, memastikan aku baik-baik saja, dan memberikan aku kenyamanan tersendiri.Tak selang lama pintunya pun terbuka, aku bergegas melangkah untuk segera ke luar dari tempat menakutkan itu, jujur lebih baik aku memilih menaiki tangga dari pada memakai lift itu kembali.Aku kesalAku galauAku kacauAku cemburu karena kamuAku cintaTapi gengsiAku rinduIngin bertemu sama kamuCinta yang membuatku beginiCinta yang buatku lupa diriKau dimana kau beradaSaat aku membutuhkan dirimuKamu acuhkan dirikuBibirku bergerak ke atas dan ke bawah tanpa sadar, mengikuti lirik yang diucap Syahrini, musik membawaku ke dalam alunan melodi , Dua bola mataku menatap Syahrini dengan berbinar, rasanya sep
POV ZuanDear Hanum, Maafkan aku, Sayang. Aku tak segera menyusulmu ke surga, menempatkan anak kita dalam pangkuanku, dan kita hidup kekal di dalamnya. Aku belum bisa –Jari jemariku terhenti, surat yang ku tulis untuk Hanum kembali terpotong sepeti biasanya. Ya, beberapa hari ini suratku tak pernah selesai, padahal sudah lebih dari dua tahun ini aku selalu menyelesaikan surat cinta untuk kekasihku Hanum, sekedar menyapa sebelum aku terlelap dengan mimpi.“Om, Zi lapar.” Wajah polos dengan ekspresi kelaparan itu selalu saja mengisi memoriku, Entah mulai kapan ia duduk di dalam syaraf otak dan selalu membayangiku.Aku membuka kembali layar laptop di depanku, barang peninggalan Hanum satu-satunya, hadiah ulang tahunku kala itu.“Happy Birthday, Sayang.” Wanita cantik berhati emas itu membangunkanku di tengah malam, tepat pukul 00 dini hari, dalam temaram lilin yang ia tancapkan di kue brownis itu, aku mengucap doa untuk selalu bersama, kupejamkan mata dan membayangkan wajah Hanum yang
“Bapak mau apa?” tanyaku khawatir ketika ia memintaku turun dan menarikku ke semak-semak.“Sudahlah, Ning. Nurut saja!”“Gak mau, Pak! Zi gak mau ikut bapak. Tubuh Zi akan gatal-gatal kalau melewati ilalang yang meninggi itu,” ucapku sambil menatap semak dalam kegelapan.“Justru bagus, Ning. Kalau gatal nanti bapak garukkan!”Aku terkejut ketika lelaki itu menarik dan menggendong tubuhku, dibawanya aku ke dalam ilalang yang meninggi tanpa tahu arah ia membawaku. Aku begitu takut, beberapa kali ku sebut nama Om Zuan namun ia tak pernah datang.“Lepaskan pakaianmu, Ning! Kita akan bercinta di bawah temaram cahaya rembulan.”“Tidak, Pak. Sadar, Pak. Ini itu dosa.”“Ya sudah kalau dengan cara lembut kamu tak mau, biar dengan caraku saja.”Sekuat tenaga ia menarikku, merengkuh dalam pelukannya, dan berusaha melepas pakaian yang ku kenakan. “Lepas, Pak. Jangan lepas pakaiannya Zi!” ucapku sambil mencoba melepas genggamannya yang kuat.Aku mendorong tubuh paruh baya itu.Sreekk ...Pakaian
Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?
Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka
Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den
“Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana
Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra
“Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak
“Rendra.”Aku meneriaki lelaki itu sebelum berlalu. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahku.“Untuk apa kamu ke sini? Ada keperluan apa?”“Nona Zi. Bukankah hari ini Nona ada kelas pagi?” Lelaki itu kini berbalik tanya ke arahku, yang justru membuatku gemetaran.“Zi .. Zi ... Zi dikeluarkan dari kelas,” ucapku malu. ‘Ah, itu tidak penting. Bukankah di sini aku yang menjadi bosnya? ‘“Kenapa pertanyaanku tidak dijawab, Ren?”Lelaki itu tampak gugup, ia merapikan jas yang dikenakannya. “Saya menyampaikan amanat dari Tuan Zuan, Nona. Memberikan bantuan kepada yayasan.”“Tuan Zuan?”“Iya. Sebenarnya amanat ini sudah di sampaikan beberapa Minggu yang lalu, tapi belum sempat. Maafkan saya Nona Zi!” Aku mengangguk mengerti, dan mempersilahkan ia pergi. Aku yang tadinya memiliki.segudang harapan dengan kehidupan Om Zuan, kini kembali menelan pil kekecewaan. Kenapa kamu pergi, Om? Aku kembali ke ruang kelas, pintunya masih tertutup rapi, dengan suara dosen wanita yang m
“Tentu, Nona Zi.”“Tolong nanti sepulang kuliah, antar Zi ke panti. Bunga pasti telah menunggu, pasalnya kami telah berjanji untuk mengadopsinya.”Meskipun Om Zuan sudah tak ada, aku ingin sekali tetap bersama gadis kecil itu. Semoga Ibu panti mengijinkan aku mengadopsi Bunga dialah yang akan selalu mengingatkan tentang Om Zuan. “Baik, Nona Zi.”**“Zi, baru lihat kamu. “ Aga mengekoriku setelah memasuki gerbang universitas. “Ada yang Rindu, nich.”Tama yang mengekori kami, tersenyum senang. “Om Zuan baru saja meninggal, Ga!” ucapku sembari duduk di salah satu bangku kelas, mataku yang kosong menatap papan putih yang tergantung di dinding dekat dosen.“Tukang ojek?”“Jangan pernah hina Om Zuan, Ga.”Sontak aku berucap dengan nada tinggi, ketika mendengar lelakiku itu dihina.“Ma-maaf, Zi. Saya kira aku bisa menghiburmu.”Aga menampakkan wajah menyesal, dan itu membuatku tak tega dan merasa bersalah. Tama yang duduk di sebelahnya mengedipkan mata, seakan memberi isyarat untuk memin
Mentari yang terang, kini berubah menjadi gelap, apalagi mendung terus menyelimuti langit yang seakan mengetahui bagaimana hatiku saat ini. Tak ada cahaya dari bintang maupun bulan, yang ada hanya kegelapan dan kebisuan. Aku menatap meja kerja Om Zuan, tempat di mana aku selalu memandangnya sebelum tidur, berjibaku dengan tulisan dan laporan. “Om Zuan,” ucapku lirih ketika mendapatinya duduk di tempat yang sama. Beberapa detik kemudian Ia kembali berlalu begitu saja. Aku benar-benar menggila olehnya, lelaki yang mampu membuat hariku berwarna setiap harinya. “Om Zuan.” Aku kembali menatap lelaki itu yang kini terbaring di ranjang, bersebelahan denganku. Tangannya diangkat ke atas seperti biasa dan meninggalkan parfum khas dirinya. “Zi.”Suara panggilan itu membuat tubuh Om Zuan kembali menghilang, Wanita bergamis panjang dengan jilbab menjuntai telah berdiri di ambang pintu. “Maaf, Mama mengganggu istirahatmu. Bolehkan malam ini Mama bermalam denganmu?”Aku mengangguk, dan mempe