Semua Bab Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung: Bab 141 - Bab 150

154 Bab

141. Sisa Masa Lalu

Swalayan kota. Jakarta."Tolong anggurnya satu kilo, pilihkan yang segar." Jenar memamerkan senyumnya. Menunggu penjual buah mengemas pesanannya, dia celingukan ke sana dan kemari. Kiranya mencari apapun yang bisa dia beli sebelum kembali ke rumah pagi ini. "35.000, Bu." Pejual menyodorkan satu plastik anggur pada Jenar. Jenar mengambil uang di dalam dompetnya. Memberikan satu lembar ratusan ribu untuk penjual itu. "Ada uang kecil, Bu? Saya belum ada kembalian." Penjual itu menatap Jenar penuh penyesalan. "Belum ada pembeli sejak buka. Ini juga masih pagi."Jenar terdiam sejenak. Di dalam dompetnya, hanya ada lembar ratusan ribu. Dia tidak memperkirakan keadaan seperti ini sebelumnya."Kalau begitu saya coba tukarkan dulu uangnya ke—""Biar saya yang bayar," jawab seseorang. Suaranya tidak asing untuk Jenar. Benar saja, saat menoleh Luce berdiri di sampingnya. Mengulurkan yang sesuai dengan harga anggurnya.Jenar tersenyum canggung. "Tidak perlu, Nyonya Luce." Dia berusaha menolak.
Baca selengkapnya

142. Jenar Melahirkan

Beberapa bulan kemudian. Jenar melahirkan. Suasana panik bercampur gelisah. Bahkan sampai detik ini, Jenar seperti dibuang oleh ibunya. Wanita itu bahkan tidak mau meninggalkan pekerjaannya di Malaysia meskipun tahu kalau putrinya melahirkan hari ini. Sarah adalah walinya. Itulah sebabnya dia tidak pernah mau meninggalkan Jenar sendirian, hidup temannya itu memang tidak pernah beruntung dari segi apapun."Sarah!" Julian berlari dari ujung lorong. Raut wajahnya dipenuhi kepanikan. Sarah memang sengaja mengabarinya, tetapi tidak langsung pada dirinya. Julian adalah pria sibuk belakangan ini. Menemuinya adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan."Jenar?" Julian terengah-engah. "Lahirannya lancar kan?" tanyanya. Dia berdiri sembari berkacak pinggang. Menatap pintu ruang persalinan. "Maaf aku terlambat."Sarah tidak memberi jawaban sepatah kata pun. Dia mengabaikan kalimat Julian, bahkan sebenarnya dia tidak berharap pria ini datang."Untung ada tetangga yang membantunya." Sarah meng
Baca selengkapnya

143. Itulah Cinta!

"Silakan masuk, usahakan satu saja yang menemani." Sarah memberi kesempatan pada Julian untuk menjadi orang pertama yang melihat Jenar dan putranya. Meskipun sebenarnya, dia sudah tidak sabar sejak pertama kali mendengar suara tangisan bayi itu. Julian melangkah hati-hati, seakan tidak mau meninggalkan suara. Akan tetapi, kedatangannya diketahui oleh Jenar. Jenar menoleh dan menetap ke arahnya. Dari bibir pucatnya, perempuan itu tersenyum manis. "Pak Julian?"Julian berusaha mengimbangi suasana. Tidak ingin terlalu canggung di antara mereka berdua. Julian menatap bayi dalam gendongan Jenar. "Dia tampan," gumamanya. Julian mengusap ujung jari mungil itu. "Jari jemarinya begitu cantik."Jenar tersenyum manis. "Aku bersyukur bisa melahirkannya.""Hidungnya mirip sekali denganmu," ucap Julian lagi. "Matanya juga."Keduanya berusaha memaksakan senyuman, meskipun sebenarnya mereka punya kekhawatiran yang sama. Pertanyaan tentang anak siapa ini, masih membekas di dalam kepala Jenar. Nam
Baca selengkapnya

144. Ancaman Anak Tiri

Jasmine masuk ke dalam ruangan. Dia melihat Jenar berbaring sembari memangku seorang bayi kecil yang dibungkus kain hangat. Jasmine ditipu oleh Sarah. Wanita itu ternyata tidak mau datang bersamanya, tetapi dia malah mampir ke suatu tempat.Jenar melihat ke ambang pintu. Jasmine berdiri di sana sepertinya berpikir untuk masuk atau pergi lagi."Masuklah." Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. Sesuai dengan perintahnya Jasmine masuk dan kembali menutup pintu."Kamu bawa pakaianku?" Jenar menata barang bawaan Jasmine yang cukup banyak.Jasmine menganggukkan kepalanya. "Aku tadi datang dulu ke rumah. Ternyata kamu melahirkan hari ini.""Tidak ada yang memberitahu kamu?" Jenar memicingkan matanya atas ketidaktahuan Jasmine. "Aku kira papa kamu memberitahu itu padamu sebelum dia datang ke sini.""Aku saja tidak tahu kalau dia datang ke sini." Jasmine menarik kursi dan duduk tidak jauh dari Jenar. Jasmine menatap wajah pucatnya. "Hari ini seharusnya Papa datang dan mengambil hasil u
Baca selengkapnya

145. Ayah Anakku

"Ini hasil tes DNA-nya, Pak Julian." Julian menerima amplop bersegel resmi dari rumah sakit itu dengan sedikit ragu. Di dalam dirinya, Julian masih belum siap menerima kenyataan apapun. Julian ingin mempercayai Jenar, mungkin fakta akan berkata sebaliknya. Luka akan dia dapat setelah itu. "Pak Julian?" Dokter di depannya membuyarkan lamunan Julian. "Ada masalah?"Julian tersenyum seadanya. Dia menggelengkan kepalanya kemudian. "Tidak. Terimakasih bantuannya, Dok."Julian beranjak dari tempatnya. Dia menepi di lorong rumah sakit yang sedikit gelap. Tidak terlalu lalang orang sebab ini bukan akses untuk pergi ke manapun. "Haruskah aku membukanya sekarang?" Julian dihantui ketakutan yang luar biasa. Keraguan menyerang dirinya tiba-tiba. Julian mendesah panjang. "Jika aku tidak membukanya sekarang, untuk apa kamu melakukannya?" Dia bimbang pada keputusannya sendiri.Julian akhirnya memutuskan untuk membuka amplop itu. Dia mendapatkan dua amplop istimewa. Amplop pertama mengatasnamak
Baca selengkapnya

146. Dialog Malam : Bukan Anakku

Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?
Baca selengkapnya

147. Tentang Ayah Kandung

Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Baca selengkapnya

148. Masih Peduli

Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Baca selengkapnya

149. Negosiasi Tanpa Akhir

"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Baca selengkapnya

150. Dia Kembali!

Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status