Home / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Diusir Ipar Setelah Suami Tiada: Chapter 31 - Chapter 40

56 Chapters

Bab 31. Giliran Saya Mengurus Embak

"Mbak Nisa ...." Aku kerjapkan mataku. Ternyata aku ketiduran ketika menidurkan Dwi. Entah, sebenarnya dari beberapa hari ini badan ini lemas. Kepalaku tidak sakit, tetapi sesekali pusing seperti ruangan berputar. Bik Sari menepuk pelan lenganku. Wajahnya terlihat kawatir. "Mbak Nisa, tangannya panas sekali. Tidak biasanya Mbak Nisa tidur lama," ucapnya kemudian berpindah tangannya memegang keningku. "Mbak Nisa sakit!" teriaknya.Aku menggeleng dan berusaha duduk, tetapi kepala ini terasa berputar, dan kembali berbaring. "Saya tidak apa-apa, sebentar saja sembuh. Tolong belikan obat flu saja, Bik. Kalau ada penambah darah," ucapku sambil menyodorkan dompetku. "Tidak ke dokter saja?" Aku menjawab dengan gelengan lemah. Aku tidak mau menyusahkan keluarga ini hanya karena sakit biasa ini.Bik Sari segera keluar dari kamarku. Belum lama Bik Sari ke luar, dikembali lagi dan menyerahkan dompetku."Mbak Nisa, kata Mas Bowo tidak boleh beli obat sembarangan. Bahaya! Mbak Nisa diajak M
Read more

Bab 32. Apakah Saya Begitu Jelek?

Sudah lebih satu bulan, usaha kami berjalan. Masih perlu perbaikan di sana-sini."Agus! Tidak bisa kamu salah catat. Kamu ngerti kan, apa tanggung jawab kamu! Kalau Pak Bowo tahu, dia akan lebih marah," ucapku kesal. Agus, karyawan baru yang membantu pekerjaan Mas Bowo menerima pesanan makanan melakukan kesalahan. Dia menulis pesanan untuk dikirim seharusnya jam delapan malam, di kirim jam delapan pagi.Kurir kami pulang, setelah rumah tujuan tidak ada penghuninya. Setelah dilacak, mereka memberitahukan kalau pemesanan untuk malam hari. Lumayan, sepuluh kotak lontong kepiting di bawa kembali."Maaf, Bu Nisa. Saya pasti tidak akan ulangi kesalahan ini," jawab Agus dengan suara lirih. Dari awal kurir menelpon balik, dia terlihat pucat ketakutan. Kasihan kalau melihatnya, tetapi ini harus di tegur. Jangan sampai terulang lagi."Coba kamu pikir, kesalahan kamu menyebabkan kerja kita tidak efisien. Ini kebalik waktu mundur, kalau maju bagaimana? Pembeli sudah nunggu makanan, tetapi dikir
Read more

Bab 33. Boleh Berharap, kan?

Huuft .... Aku membuang napas, mengurai sesak dalam hati ini."Mas Bowo adalah laki-laki yang sangat saya hormati. Hanya perempuan yang tidak normal yang tidak mengagumi Mas Bowo," jawabku dengan memandangnya sekilas dan melempar pandangan ke arah lain."Jadi Mbak Nisa ....""Saya tidak normal. Status saya, tidak normal. Saya masih mempunyai suami walaupun dia hilang entah dimana," jawabku."Maaf. Bukannya suami Mbak Nisa sudah dinyatakan kemungkinan besar meninggal? Maaf.""Memang benar. Tetapi, batin saya menjawab bahwa Mas Ridwan masih hidup.""Kalau masih hidup, bukankan seharusnya dia bisa kembali? Atau kasih kabar. Tetapi ini tidak ada kabar sama sekali, Mbak? Atau kita melacak di informasi orang hilang? Mbak Nisa harus ada kepastian, karena ini untuk kelanjutan hidup," ucap Mas Bowo.Ucapannya ada benarnya. Selama ini, aku hidup dalam kenyakinan bahwa Mas Ridwan masih hidup."Iya, Mas. Saya mengerti. Tetapi, hati saya seperti berbisik lain. Saya yakin suatu saat, kami pasti be
Read more

Bab 34. Latihan Menjadi Bapak

Hampir setiap sore kami berkeliling. Bersama Dwi dan Alif, kami mencari tempat yang cocok untuk pengembangan usaha ini. Awalnya, Umi menentang niat kami ini. Setelah dijelaskan oleh Mas Bowo, akhirnya Umi mengerti. Semua demi perkembangan bisnis kami.Tidak hanya mencari lahan, kami lebih menjadi gembala dua anak ini. Mas Bowo begitu memanjakan mereka."Alif mau makan apa? Ayam goreng atau pizza?" tanyanya tanpa mengiraukan laranganku."Pizza, Om. Yang seperti di TV itu," jawab Alif dengan riang. Matanya begitu berbinar menyambut tawaran Mas Bowo. "Ok, sekarang kita bersiap meluncur makan pizza! Tos dulu!" teriaknya dengan mengulurkan telapak tangan yang terbuka. "Tos!" sambut Alif menepuk telapak tangan Mas Bowo. Selalu begini. Aku terpaksa mengikuti kemauan mereka. Sekarang makan pizza, kemarin makan ayam goreng, kemarinnya lagi main di wahana, bahkan dengan alasan tidak jelas kami ke mall. Hanya sekedar jalan-jalan."Kalau makanan seperti ini, bisa buat sendiri di rumah. Tingg
Read more

Bab 35. Bekas Luka Itu

"Umi masih ditangani. Kata dokter, pemicu jatuh kemungkinan karena darah tinggi. Untung, Umi tidak cidera kepala. Untuk memastikan, kita harus menunggu sampai besuk. Dikawatirkan ada pendarahan atau cidera yang tidak terlihat," jelasnya dengan wajah cemas."Kita tunggu di sana! Menunggu Umi selesai ditangani." Dia menarikku duduk dibangku. Mas Bowo masih mondar-mandir tidak tenang. Sesekali kepalanya melongok ke ruang dokter, Umi masih ada di dalam. Dwi sudah tertidur di gendonganku, begitu juga Alif. Dia menyandarkan kepalanya dilenganku."Mbak Nisa, anak-anak tidak baik di rumah sakit. Sebaiknya, Mbak Nisa pulang!" perintahnya. "Tapi, Mas. Saya ingin menemani Umi.""Bagaimana kalau anak-anak pulang dengan saya? Dwi juga sudah tidur. Nanti saya temeni mereka tidur," usul Bik Sari menawarkan diri.Kami berdua langsung menoleh ke arahnya. Ucapannya memberikan solusi yang tepat.Dengan dipesankan taxi online, Bik Sari pulang bersama kedua anakku."Bik, tolong sampai rumah kirim pesan k
Read more

Bab 36. Lebih Baik Umi Tidak Tahu

Beneran, aku merasa putus asa. Keyakinan tentang keberadaan Mas Ridwan di titik terendah. Kejadian di rumah sakit membuatku hampir menyerah. Aku sudah tetapkan, prioritas utama adalah mandiri demi anak-anak. Aku akan tunjukkan bahwa Nisa perempuan yang tegar dan istri setia menunggu Mas Ridwan datang menghampiri kami. Hari ini, Umi pulang ke rumah. Keadaannya sudah kembali normal, walaupun nantinya harus kontrol untuk memeriksa cidera di tangannya. Walaupun di rawat di rumah sakit hanya tiga hari, Umi merasa itu waktu yang lama. Selalu ada saja yang di keluhkan. Bau rumah sakit yang seperti obat lah. Kangen pengajian lah, sampai bosan makanan rumah sakit. Padahal, sakit darah tinggi yang di deritanya mengharuskan mengontrol makanan. "Pokoknya, nanti di rumah saya minta dibuatkan tum ayam yang dikasih jamur. Saya kangen dengan masakanmu, Nisa!" ucapnya saat terakhir makan di rumah sakit."Pasti Umi. Nisa akan buatkan. Sekarang, makanan ini di habiskan dulu, ya," bujukku ke Umi.Seb
Read more

Bab 37. Kabar Buruk

Mbak Fatimah Wajah seketika kelihatan murung, seperti ada berita yang tidak mengenakkan. Apakah Emak atau Bapak sakit?"Nisa, ini ada pesan dari Emak. Kamu tidak diperbolehkan pulang. Sudah dua minggu ini, Rini menikah lagi. Mereka tinggal di rumah itu.""Alhamdulillah kalau Mbak Rini sudah mempunyai pendamping lagi, Mbak," ucapku spontan."Ke-kenapa saya tidak boleh pulang, Mbak? Bukankan ini kabar baik?" tanyaku heran."Iya betul. Seharusnya ini menjadi baik. Tetapi, keadaan malah menjadi buruk," ucapnya sambil menghela nafas. Aku diam penasaran menunggu apa yang akan disampaikan."Rini semakin menjadi-jadi. Apalagi suaminya mendukung apa saja yang dia inginkan. Sampai-sampai, Pak Sardi jatuh sakit.""Bapak sakit?! Sekarang bagaimana, Mbak?" tanyaku tidak sabar."Pak Sardi tadi malam sudah tujuh harinya.""Maksudnya, Mbak? Sa-saya tidak mengerti? Tujuh hari apa?!" teriakku kaget. "Beliau sudah meninggal, Nis. Emak saat itu langsung mendatangiku, jangan sampai memberi kabar ke kamu
Read more

Bab 38. Menunggu

Menunggu memang pekerjaan yang tidak mengenakkan. Sampai tengah malam, belum ada kabar dari Mbak Fatimah tentang keberangkatan Emak. Kekawatiranku, Emak tidak mau atau Mbak Rini tidak memperbolehkannya. Namun untuk apa dia menghalangi Emak ke sini? Atau, dia masih ingin memanfaatkan Emak sebagai pengurus rumah dan Hasan, anaknya? Ah, itu jangan sampai terjadi. Aku tidak rela dia memperlakukan Emak seperti itu. Apalagi kebiasaannya yang berkata kasar.Aku keluar kamar, mengurai sesak yang menggumpal di dada ini. Ingin menelpon Mbak Fatimah, tetapi aku urungkan mengingat pesannya dia tadi. Aku dilarang menghubunginya, kawatirnya saat di di rumah Emak dan Mbak Rini mendengarnya. Ini bisa jadi menimbulkan amarah Mbak Rini. Kata Mbak Fatimah, kemungkinan dia tidak menyukaiku karena merasa tersingkir. Emak terlihat sangat sayang kepadaku daripada dengannya. Walaupun itu tidak benar, Emak juga sayang kepadanya. Hanya karena sempat tidak tinggal di rumah karena mengikuti suami, dia merasa t
Read more

Bab 39. Hujatan

Aku menceritakan tentang keberangkatan Emak yang belum pasti. Kutumpahkan semua kegelisahanku, memang aku membutuhkan teman untuk mengurai sesak di dada ini."Serahkan semua kepada Allah, Mbak. Saya yakim, Mbak Fatimah sekarang masih mengusahakan. Di tunggu saja," ucapnya.Kami melanjutkan dengan berbincang banyak hal. Terutama tentang masalahku di kampung. Bagaimana dan kenapa aku bisa terdampar sampai di sini. Perlakuan Mbak Rini dan dukungan Emak dan Bapak. Juga, keinginanku nantinya untuk mandiri. Bagaimanapun, aku tetap harus mempunyai rencana ke depan. "Mbak, aku dukung rencananya. Nanti sekalian kita cari tempat kerja yang bisa di tinggali. Jadi, Mbak Nisa bisa di sana dan di sini. Walaupun, seperti Umi bilang, Mbak Nisa statusnya harus masih tetap di sini," jelas Mas Bowo. Tring!"Tuh, yang ditunggu sudah masuk!" teriaknya saat tanda pesan masuk berbunyi. Aku segera membuka dan membacanya dengan keras.[Assalamualaikum, Nisa. Emak sudah di rumahku. Kami berangkat menggunakan
Read more

Bab 40. Kasih Sayang Mertua

"Nisa ...!" teriak Emak. Dia berdiri di depan gerbang dengan menjinjing tas pakaian. Di belakangnya Mbak Fatimah masih berbicara dengan sopir travel. Aku yang sedari tadi menunggu di depan, langsung berlari menghampirinya."Emak!" ucapku, langsung meraih tangannya dan aku cium dengan air mata berderai. Mertuaku itu menatapku lekat seperti banyak yang akan disampaikan. Kami saling berpelukan mengurai kerinduan yang teramat sangat.Bik Sari juga berlari mengikutiku. Dia langsung membantu Mbak Fatimah membawa beberapa kardus bawaannya."Mbak Fatimah! Terima kasih sudah membawa Emak," ucapku berganti menatap Mbak Fatimah, dan dia langsung memelukku. "Alhamdulillah. Semua baik-baik saja. Lebih baik kita masuk dulu. Banyak yang ingin aku ceritakan. Umi mana?" tanya Mbak Fatimah sambil tersenyum."Umi masih di Mushola, Mbak," jawab Bik Sari.Aku ambil tas yang Emak jinjing dan membimbingnya masuk. Mbak Fatimah langsung masuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan. Dia akan membersihkan badan d
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status