Menunggu memang pekerjaan yang tidak mengenakkan. Sampai tengah malam, belum ada kabar dari Mbak Fatimah tentang keberangkatan Emak. Kekawatiranku, Emak tidak mau atau Mbak Rini tidak memperbolehkannya. Namun untuk apa dia menghalangi Emak ke sini? Atau, dia masih ingin memanfaatkan Emak sebagai pengurus rumah dan Hasan, anaknya? Ah, itu jangan sampai terjadi. Aku tidak rela dia memperlakukan Emak seperti itu. Apalagi kebiasaannya yang berkata kasar.Aku keluar kamar, mengurai sesak yang menggumpal di dada ini. Ingin menelpon Mbak Fatimah, tetapi aku urungkan mengingat pesannya dia tadi. Aku dilarang menghubunginya, kawatirnya saat di di rumah Emak dan Mbak Rini mendengarnya. Ini bisa jadi menimbulkan amarah Mbak Rini. Kata Mbak Fatimah, kemungkinan dia tidak menyukaiku karena merasa tersingkir. Emak terlihat sangat sayang kepadaku daripada dengannya. Walaupun itu tidak benar, Emak juga sayang kepadanya. Hanya karena sempat tidak tinggal di rumah karena mengikuti suami, dia merasa t
Aku menceritakan tentang keberangkatan Emak yang belum pasti. Kutumpahkan semua kegelisahanku, memang aku membutuhkan teman untuk mengurai sesak di dada ini."Serahkan semua kepada Allah, Mbak. Saya yakim, Mbak Fatimah sekarang masih mengusahakan. Di tunggu saja," ucapnya.Kami melanjutkan dengan berbincang banyak hal. Terutama tentang masalahku di kampung. Bagaimana dan kenapa aku bisa terdampar sampai di sini. Perlakuan Mbak Rini dan dukungan Emak dan Bapak. Juga, keinginanku nantinya untuk mandiri. Bagaimanapun, aku tetap harus mempunyai rencana ke depan. "Mbak, aku dukung rencananya. Nanti sekalian kita cari tempat kerja yang bisa di tinggali. Jadi, Mbak Nisa bisa di sana dan di sini. Walaupun, seperti Umi bilang, Mbak Nisa statusnya harus masih tetap di sini," jelas Mas Bowo. Tring!"Tuh, yang ditunggu sudah masuk!" teriaknya saat tanda pesan masuk berbunyi. Aku segera membuka dan membacanya dengan keras.[Assalamualaikum, Nisa. Emak sudah di rumahku. Kami berangkat menggunakan
"Nisa ...!" teriak Emak. Dia berdiri di depan gerbang dengan menjinjing tas pakaian. Di belakangnya Mbak Fatimah masih berbicara dengan sopir travel. Aku yang sedari tadi menunggu di depan, langsung berlari menghampirinya."Emak!" ucapku, langsung meraih tangannya dan aku cium dengan air mata berderai. Mertuaku itu menatapku lekat seperti banyak yang akan disampaikan. Kami saling berpelukan mengurai kerinduan yang teramat sangat.Bik Sari juga berlari mengikutiku. Dia langsung membantu Mbak Fatimah membawa beberapa kardus bawaannya."Mbak Fatimah! Terima kasih sudah membawa Emak," ucapku berganti menatap Mbak Fatimah, dan dia langsung memelukku. "Alhamdulillah. Semua baik-baik saja. Lebih baik kita masuk dulu. Banyak yang ingin aku ceritakan. Umi mana?" tanya Mbak Fatimah sambil tersenyum."Umi masih di Mushola, Mbak," jawab Bik Sari.Aku ambil tas yang Emak jinjing dan membimbingnya masuk. Mbak Fatimah langsung masuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan. Dia akan membersihkan badan d
"Emak. Kenapa menangis?" tanyaku masih menggenggam tangannya yang sudah keriput."Bapakmu meninggal karena 'ngenes', Nis. Dia tertekan karena gagal melaksanakan tanggung jawab Ridwan. Bapakmu merasa bersalah tidak bisa melindungi kalian dari keserakahan Rini anaknya," ucapnya dengan masih terisak. Tatapannya menerawang jauh, seakan mengingat sesuatu. "Kamu tahu tidak, apa yang diucapkan sebelum ajal menjemput? Bapakmu menyuruh Emak mencarimu dan melindungimu, Nis. Dia ingat namamu sampai dia akan meninggal. Tolong maafkan Bapak, ya, Nis. Supaya di sana dia tenang.""Emak .... Nisa tidak pernah terbersitpun menyalahkan Bapak apalagi Emak. Bahkan, Mbak Rini sekalipun. Nisa percaya, ini memang jalan Nisa yang terbaik. Buktinya, kami sekarang baik-baik saja," ucapku mengusap punggung tangannya. Mataku mulai basah dengan air mata, seiring dada ini yang semakin terasa sesak. Ternyata, kepergian kami menyisakan rasa bersalah pada kedua mertuaku ini.. "Nisa ... Emak tahu Umi sayang kepada k
Sudah beberapa bulan berlalu.Dari hari ke hari, Emak mulai kelihatan segar kembali. Tubuhnya lebih gemukan. Kebahagiaan bercengkrama dengan cucu, membuat harinya diwarnai dengan senyum dan tawa. Emak pun mulai dekat dengan Umi. Usia yang hampir sama, membuat mereka sepemikiran yang menyebabkan betah berbincang berjam-jam. Umi juga mengajak Emak untuk aktif di pengajian."Memang kami yang sudah tua, penting mengikuti kegiatan seperti ini. Selain beribadah, kami bertemu dengan teman seumuran," jelas Umi dibenarkan oleh Emak.Usaha kuliner kami sudah berkembang pesat. Langganan yang banyak dan promosi yang konstan membuat bisnis kami stabil. Bahkan dapur di belakang sekarang terasa sempit. Dikarenakan itu lah, kami hampir setiap hari berkeliling, mencari tempat baru. Tidak hanya itu, kami mencari informasi di media sosial dan iklan cetak. Namun, yang sesuai dengan kantong dan keinginan belum ada.Sering kali apa yang kita dapatkan, bukan diwaktu yang kita inginkan. Walaupun itu sudah k
Emak dan Mas Bowo kompak menata perabotan di atas. Bahkan terdengar mereka berbincang dan sesekali terdengar tawa. Karena kesal aku memilih menyibukkan diri di bawah, dan tindakanku ini sama sekali tidak dihiraukan oleh mereka. Semakin kesal rasanya."Bu, pesanan Bapak sudah semua dikirim. Ini surat tanda terimanya. Tolong ditandatangani," pinta pengantar barang tadi."Dengan Bapak yang di atas saja, Mas!" "Dengan ibu saja, saya buru-buru. Tadi suratnya ketinggalan di mobil."Terpaksa aku menandatangai surat yang dia sodorkan. "Bapak kelihatan sayang keluarga ya, Bu. Beruntung, Ibu memiliki suami seperti Bapak. Jadi kangen dengan anak istri di kampung. Terima kasih, kami pamit," ucapnya kemudian berlari tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk memberikan sanggahan tentang status Mas Bowo. Apalagi, suara klakson pak sopir yang sudah memanggilnya.Sering seperti ini, perhatian dan tindakan dia yang terlalu seperti ini selalu membuat orang lain salah paham. Ingin aku jelaskan, namun mer
"Nisa .... Nak Bowo sudah turun? Emak dari tadi tidak mendengar suaranya?" tanya Emak.Dia sibuk memasak soto Madura. Ini masakan kesukaan Mas Ridwan. Aku juga bisa membuatnya, tetapi untuk masakan ini, Emak tidak terkalahkan. Padahal bumbu sama, cara sama, namun rasa tetap soto yang dimasak Emak yang terenak. Seperti saat ini, aroma soto yang menyengat membuat perutku merasa lapar. Dulu aku sering kesal dengan Mas Ridwan. Setiap kami makan soto di warung selalu mengeluh, kurang ini dan itu. Ujung-ujungnya dia berkata, "Enakkan sotonya Emak!"Bahkan dia sampai berkata, "Dimasakkan setiap hari pun, saya tidak akan bosan. Asal sotonya Emak." Dikarenakan itulah, kami selalu menghindari makan soto di luar."Nisa! Ditanya dari tadi malah melamun. Nak Bowo mana? Dia kemarin bilang ke Emak, pingin soto. Kasih tahu dia, sotonya sudah matang!" Aku kaget mendengar ucapannya. Biasanya dia membuatkan soto khusus untuk Mas Ridwan. Sekarang Emak membuat khusus untuk Mas Bowo? Pikiranku berputar
"Nisa! Nisa ...!" Dia memanggilku."Mas Ridwan," sahutku dengan lemas. Aku seperti tidak mempunyai tenaga. Perjuangan mendapatkannya membuatku lelah dan beruntung aku bisa meraihnya. Tangannya tidak akan aku lepaskan. Dia menepuk pipiku dengan lembut"Nisa! Bangun! Nisa!" 'Bangun?! Kenapa aku harus bangun!' Tepukan di pipiku samakin keras. Panggilan itu semakin keras dan sinar masuk menusuk mataku ini. Semakin terang. Aku mengerjapkan mata, mencoba memastikan apa yang ada di depanku."Mas Bowo?!" teriakku kaget."Nisa. Kamu dari tadi teriak-teriak. Kamu bermimpi?" Dia duduk di dekatku, memandang dengan tatapan cemas. Aku tersentak! Bukan tangan Mas Ridwan yang ada di genggamanku tetapi tangan Mas Bowo. Ternyata aku hanya bermimpi di siang hari."Ma-maaf," ucapku lirih seraya melepas genggamanku. "Saya ketiduran. Mas Bowo sudah bangun? Makanan sudah saya siapkan di bawah."Dia tidak menjawab, hanya tatapan matanya seperti mengulitiku. Menembus mencari apa yang ada di pikiran ini. Se
“Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku
(Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen
Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s
Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya
Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi
Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak
"Aku ingin minta ijin kepada Ridwan untuk menjaga kalian," ucapnya dengan menatapku tajam."Mas ...."Aku memberanikan diri membalas tatapannya, memastikan kesungguhan niat laki-laki yang selama ini mendampingi kami. Sungguh, sejujurnya aku tidak bisa menggantikan kedudukan Mas Ridwan di hati ini. Namun, perhatian dan kesungguhannya membuatku goyah untuk tidak menyambutnya.“Kenapa Mas Bowo tetap bersikukuh menerimaku? Sedangkan saya hanya wanita yang mempunyai hati yang sudah tidak utuh lagi. Dengan apa yang Mas Bowo dimiliki, banyak wanita yang lebih bisa didapat. Saya hanya-- .“ “Stop. Jangan diteruskan lagi,” ucapnya memotong perkataanku dengan menunjukkan jari telunjuknya di bibir ini. “Nisa …. Aku hanya ingin kamu memberiku sedikit ruang di hatimu. Aku hanya ingin kamu yang mendampingi di setiap langkahku.”Aku menunjukkan senyuman sebagai ucapan terima kasih. Di usiaku yang tidak muda lagi dan bahkan sudah mempunyai anak dua, dia bisa menerimaku. Ini yang membuatku ragu, apa
Samar aku dengar suara sedang berbincang. Menyebut namaku dan seperti suara ... ya, suara Mas Bowo. Mataku aku buka perlahan, yang aku lihat bukan dia, tetapi orang lain berjas putih. Aku di mana?"Bu Nisa sudah sadar," ucap orang itu saat melihatku berusaha duduk. "Nisa! Alhamdulillah kau sudah sadar," teriak Mas Bowo langsung mendekatkan kursi ke arah tempat tidurku. Aku menoleh ke arahnya dan mengedarkan pandanganku, di mana aku sekarang?"Ini di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan, karena tidak segera sadar, aku membawamu ke sini," jelasnya. "Ja-jadi saya semalaman tidak sadar?" tanyaku sambil melihat jarum infus yang menancap di tanganku."Iya, Bu. Tapi, sekarang sudah tidak ada masalah lagi. Keadaan Bu Nisa ini karena kondisi badan yang lemah dan pikiran," jelas orang itu yang ternyata dokter. "Baiklah, saya permisi dulu. Pak Bowo, pastikan istrinya makan yang banyak," ucapnya kemudian keluar diikuti suster di belakangnya.Selalu seperti ini, orang menyebut kami pasangan suami
Air mata ini luruh dengan sendirinya. Semakin deras tak terbendung. Sedikit harapan yang baru saja timbul sudah musnah sudah, setelah foto berikutnya yang diperlihatkan Mas Bowo.Sebuah gundukan tanah dengan nisan tidak bernama. Aku menatap kamar tidur Emak, terdengar tangisnya meskipun pintu sudah ditutup rapatTadi, setelah beberapa saat tidak sadarkan diri, Emak berlahan membuka mata. Dia langsung menarik tangan Mas Bowo."Nak, kabar Ridwan sekarang bagaimana? Dia sehat, kan?" tanyanya berusaha untuk duduk. Aku sibuk menggosok minyak kayu putih di kakinya. Kabar tentang Mas Ridwan terputus karena pingsannya Emak.Mas Bowo tersenyum dipaksakan dan tidak berucap apapun. Hanya menyodorkan foto berikutnya yang membuat dunia kami terbalik. Dengan tangan gemetar, Emak mengusap foto di ponsel itu. Menatap jauh ke sana seakan memastikan ini bukanlah mimpi. "Nak Bowo, Nisa, Emak istirahat dulu," ucapnya langsung masuk ke kamar dan menutup rapat pintu."Mas ... Ini benar?" Dia mengangguk m