Beranda / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Bab 32. Apakah Saya Begitu Jelek?

Share

Bab 32. Apakah Saya Begitu Jelek?

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sudah lebih satu bulan, usaha kami berjalan. Masih perlu perbaikan di sana-sini.

"Agus! Tidak bisa kamu salah catat. Kamu ngerti kan, apa tanggung jawab kamu! Kalau Pak Bowo tahu, dia akan lebih marah," ucapku kesal.

Agus, karyawan baru yang membantu pekerjaan Mas Bowo menerima pesanan makanan melakukan kesalahan. Dia menulis pesanan untuk dikirim seharusnya jam delapan malam, di kirim jam delapan pagi.

Kurir kami pulang, setelah rumah tujuan tidak ada penghuninya. Setelah dilacak, mereka memberitahukan kalau pemesanan untuk malam hari. Lumayan, sepuluh kotak lontong kepiting di bawa kembali.

"Maaf, Bu Nisa. Saya pasti tidak akan ulangi kesalahan ini," jawab Agus dengan suara lirih. Dari awal kurir menelpon balik, dia terlihat pucat ketakutan. Kasihan kalau melihatnya, tetapi ini harus di tegur. Jangan sampai terulang lagi.

"Coba kamu pikir, kesalahan kamu menyebabkan kerja kita tidak efisien. Ini kebalik waktu mundur, kalau maju bagaimana? Pembeli sudah nunggu makanan, tetapi dikir
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 33. Boleh Berharap, kan?

    Huuft .... Aku membuang napas, mengurai sesak dalam hati ini."Mas Bowo adalah laki-laki yang sangat saya hormati. Hanya perempuan yang tidak normal yang tidak mengagumi Mas Bowo," jawabku dengan memandangnya sekilas dan melempar pandangan ke arah lain."Jadi Mbak Nisa ....""Saya tidak normal. Status saya, tidak normal. Saya masih mempunyai suami walaupun dia hilang entah dimana," jawabku."Maaf. Bukannya suami Mbak Nisa sudah dinyatakan kemungkinan besar meninggal? Maaf.""Memang benar. Tetapi, batin saya menjawab bahwa Mas Ridwan masih hidup.""Kalau masih hidup, bukankan seharusnya dia bisa kembali? Atau kasih kabar. Tetapi ini tidak ada kabar sama sekali, Mbak? Atau kita melacak di informasi orang hilang? Mbak Nisa harus ada kepastian, karena ini untuk kelanjutan hidup," ucap Mas Bowo.Ucapannya ada benarnya. Selama ini, aku hidup dalam kenyakinan bahwa Mas Ridwan masih hidup."Iya, Mas. Saya mengerti. Tetapi, hati saya seperti berbisik lain. Saya yakin suatu saat, kami pasti be

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 34. Latihan Menjadi Bapak

    Hampir setiap sore kami berkeliling. Bersama Dwi dan Alif, kami mencari tempat yang cocok untuk pengembangan usaha ini. Awalnya, Umi menentang niat kami ini. Setelah dijelaskan oleh Mas Bowo, akhirnya Umi mengerti. Semua demi perkembangan bisnis kami.Tidak hanya mencari lahan, kami lebih menjadi gembala dua anak ini. Mas Bowo begitu memanjakan mereka."Alif mau makan apa? Ayam goreng atau pizza?" tanyanya tanpa mengiraukan laranganku."Pizza, Om. Yang seperti di TV itu," jawab Alif dengan riang. Matanya begitu berbinar menyambut tawaran Mas Bowo. "Ok, sekarang kita bersiap meluncur makan pizza! Tos dulu!" teriaknya dengan mengulurkan telapak tangan yang terbuka. "Tos!" sambut Alif menepuk telapak tangan Mas Bowo. Selalu begini. Aku terpaksa mengikuti kemauan mereka. Sekarang makan pizza, kemarin makan ayam goreng, kemarinnya lagi main di wahana, bahkan dengan alasan tidak jelas kami ke mall. Hanya sekedar jalan-jalan."Kalau makanan seperti ini, bisa buat sendiri di rumah. Tingg

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 35. Bekas Luka Itu

    "Umi masih ditangani. Kata dokter, pemicu jatuh kemungkinan karena darah tinggi. Untung, Umi tidak cidera kepala. Untuk memastikan, kita harus menunggu sampai besuk. Dikawatirkan ada pendarahan atau cidera yang tidak terlihat," jelasnya dengan wajah cemas."Kita tunggu di sana! Menunggu Umi selesai ditangani." Dia menarikku duduk dibangku. Mas Bowo masih mondar-mandir tidak tenang. Sesekali kepalanya melongok ke ruang dokter, Umi masih ada di dalam. Dwi sudah tertidur di gendonganku, begitu juga Alif. Dia menyandarkan kepalanya dilenganku."Mbak Nisa, anak-anak tidak baik di rumah sakit. Sebaiknya, Mbak Nisa pulang!" perintahnya. "Tapi, Mas. Saya ingin menemani Umi.""Bagaimana kalau anak-anak pulang dengan saya? Dwi juga sudah tidur. Nanti saya temeni mereka tidur," usul Bik Sari menawarkan diri.Kami berdua langsung menoleh ke arahnya. Ucapannya memberikan solusi yang tepat.Dengan dipesankan taxi online, Bik Sari pulang bersama kedua anakku."Bik, tolong sampai rumah kirim pesan k

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 36. Lebih Baik Umi Tidak Tahu

    Beneran, aku merasa putus asa. Keyakinan tentang keberadaan Mas Ridwan di titik terendah. Kejadian di rumah sakit membuatku hampir menyerah. Aku sudah tetapkan, prioritas utama adalah mandiri demi anak-anak. Aku akan tunjukkan bahwa Nisa perempuan yang tegar dan istri setia menunggu Mas Ridwan datang menghampiri kami. Hari ini, Umi pulang ke rumah. Keadaannya sudah kembali normal, walaupun nantinya harus kontrol untuk memeriksa cidera di tangannya. Walaupun di rawat di rumah sakit hanya tiga hari, Umi merasa itu waktu yang lama. Selalu ada saja yang di keluhkan. Bau rumah sakit yang seperti obat lah. Kangen pengajian lah, sampai bosan makanan rumah sakit. Padahal, sakit darah tinggi yang di deritanya mengharuskan mengontrol makanan. "Pokoknya, nanti di rumah saya minta dibuatkan tum ayam yang dikasih jamur. Saya kangen dengan masakanmu, Nisa!" ucapnya saat terakhir makan di rumah sakit."Pasti Umi. Nisa akan buatkan. Sekarang, makanan ini di habiskan dulu, ya," bujukku ke Umi.Seb

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 37. Kabar Buruk

    Mbak Fatimah Wajah seketika kelihatan murung, seperti ada berita yang tidak mengenakkan. Apakah Emak atau Bapak sakit?"Nisa, ini ada pesan dari Emak. Kamu tidak diperbolehkan pulang. Sudah dua minggu ini, Rini menikah lagi. Mereka tinggal di rumah itu.""Alhamdulillah kalau Mbak Rini sudah mempunyai pendamping lagi, Mbak," ucapku spontan."Ke-kenapa saya tidak boleh pulang, Mbak? Bukankan ini kabar baik?" tanyaku heran."Iya betul. Seharusnya ini menjadi baik. Tetapi, keadaan malah menjadi buruk," ucapnya sambil menghela nafas. Aku diam penasaran menunggu apa yang akan disampaikan."Rini semakin menjadi-jadi. Apalagi suaminya mendukung apa saja yang dia inginkan. Sampai-sampai, Pak Sardi jatuh sakit.""Bapak sakit?! Sekarang bagaimana, Mbak?" tanyaku tidak sabar."Pak Sardi tadi malam sudah tujuh harinya.""Maksudnya, Mbak? Sa-saya tidak mengerti? Tujuh hari apa?!" teriakku kaget. "Beliau sudah meninggal, Nis. Emak saat itu langsung mendatangiku, jangan sampai memberi kabar ke kamu

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 38. Menunggu

    Menunggu memang pekerjaan yang tidak mengenakkan. Sampai tengah malam, belum ada kabar dari Mbak Fatimah tentang keberangkatan Emak. Kekawatiranku, Emak tidak mau atau Mbak Rini tidak memperbolehkannya. Namun untuk apa dia menghalangi Emak ke sini? Atau, dia masih ingin memanfaatkan Emak sebagai pengurus rumah dan Hasan, anaknya? Ah, itu jangan sampai terjadi. Aku tidak rela dia memperlakukan Emak seperti itu. Apalagi kebiasaannya yang berkata kasar.Aku keluar kamar, mengurai sesak yang menggumpal di dada ini. Ingin menelpon Mbak Fatimah, tetapi aku urungkan mengingat pesannya dia tadi. Aku dilarang menghubunginya, kawatirnya saat di di rumah Emak dan Mbak Rini mendengarnya. Ini bisa jadi menimbulkan amarah Mbak Rini. Kata Mbak Fatimah, kemungkinan dia tidak menyukaiku karena merasa tersingkir. Emak terlihat sangat sayang kepadaku daripada dengannya. Walaupun itu tidak benar, Emak juga sayang kepadanya. Hanya karena sempat tidak tinggal di rumah karena mengikuti suami, dia merasa t

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 39. Hujatan

    Aku menceritakan tentang keberangkatan Emak yang belum pasti. Kutumpahkan semua kegelisahanku, memang aku membutuhkan teman untuk mengurai sesak di dada ini."Serahkan semua kepada Allah, Mbak. Saya yakim, Mbak Fatimah sekarang masih mengusahakan. Di tunggu saja," ucapnya.Kami melanjutkan dengan berbincang banyak hal. Terutama tentang masalahku di kampung. Bagaimana dan kenapa aku bisa terdampar sampai di sini. Perlakuan Mbak Rini dan dukungan Emak dan Bapak. Juga, keinginanku nantinya untuk mandiri. Bagaimanapun, aku tetap harus mempunyai rencana ke depan. "Mbak, aku dukung rencananya. Nanti sekalian kita cari tempat kerja yang bisa di tinggali. Jadi, Mbak Nisa bisa di sana dan di sini. Walaupun, seperti Umi bilang, Mbak Nisa statusnya harus masih tetap di sini," jelas Mas Bowo. Tring!"Tuh, yang ditunggu sudah masuk!" teriaknya saat tanda pesan masuk berbunyi. Aku segera membuka dan membacanya dengan keras.[Assalamualaikum, Nisa. Emak sudah di rumahku. Kami berangkat menggunakan

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 40. Kasih Sayang Mertua

    "Nisa ...!" teriak Emak. Dia berdiri di depan gerbang dengan menjinjing tas pakaian. Di belakangnya Mbak Fatimah masih berbicara dengan sopir travel. Aku yang sedari tadi menunggu di depan, langsung berlari menghampirinya."Emak!" ucapku, langsung meraih tangannya dan aku cium dengan air mata berderai. Mertuaku itu menatapku lekat seperti banyak yang akan disampaikan. Kami saling berpelukan mengurai kerinduan yang teramat sangat.Bik Sari juga berlari mengikutiku. Dia langsung membantu Mbak Fatimah membawa beberapa kardus bawaannya."Mbak Fatimah! Terima kasih sudah membawa Emak," ucapku berganti menatap Mbak Fatimah, dan dia langsung memelukku. "Alhamdulillah. Semua baik-baik saja. Lebih baik kita masuk dulu. Banyak yang ingin aku ceritakan. Umi mana?" tanya Mbak Fatimah sambil tersenyum."Umi masih di Mushola, Mbak," jawab Bik Sari.Aku ambil tas yang Emak jinjing dan membimbingnya masuk. Mbak Fatimah langsung masuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan. Dia akan membersihkan badan d

Bab terbaru

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 56. Indah Pada Waktunya

    “Malam ini ingin aku masakin apa?” tanyaku kepada Mas Bowo yang sedang bersiap berangkat ke kantor. Setiap pagi setelah dia mengantar Alif berangkat sekolah, giliran suamiku ini yang bersiap. “Apa saja. Yang penting dimasakin istriku. Semuanya pasti aku makan,” ucapnya sambil mengalungkan kedua tangan di pinggang ini. Memang, kami sudah bukan pengantin baru, tapi perlakuannya tetap manis bahkan cenderung manja. “Beneran, nih. Aku masakin soto dinosaurusnya Alif, ya.” Aku terkekeh sembari mengalungkan kedua tanganku, mengerling manja dan tersenyum. “Boleh. Asal dikasih bumbu daging, dan senyuman istriku ini,” ucapnya sesaat sebelum mendekatkan wajah dan mencium kening ini. Sungguh, hari-hariku selalu dilimpahi kebahagiaan bersamanya. Mas Bowo yang sudah menerima keluarga kami, anak-anakku, bahkan Mbuk-mertuaku pun sudah diperlakukan seperti ibunya sendiri. “Mas, ayo buruan berangkat. Nanti telat, lo. Manager harus kasih contoh yang baik untuk anak buahnya,” ucapku kemudian menangku

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 55. Kutitip Cinta di Atas Bukit

    (Setelah Tiga Bulan Berlalu)Tanganku gemetar mengusap foto besar yang dibingkai kayu berwarna emas. Tetesan air mataku tak terbendung membasahi kaca ini. Di gambar ini tersimpan semua kenangan dan harapan di keluarga kami.Tadi pagi, Mas Bowo membawanya, masih terbungkus kertas coklat. Dia berpesan untuk memasangnya di atas televisi, tidak boleh di tempat lain."Kita sering berkumpul di tempat ini. Emak, kita dan anak-anak. Menonton TV bersama dan makan seringkali kita berpindah ke sini. Foto ini, mengingatkan kalau dia selalu ada di hati kita. Anak-anak pun akan terbiasa dengan sendirinya, tanpa kita ingatkan terus," jelas Mas Bowo saat meminta alasannya.Aku memeluknya dengan erat, merasa dimengerti. Mas Bowo membantuku untuk tidak melupakan namamu di hati anak-anak. Membiasakan ada kamu, walaupun ragamu tidak bisa mendampingi kami lagi. Dia adalah anugrah bagi kami. Seperti utusan yang mewakili kehadiranmu, suami keduaku ini tidak menganggap ayah anak-anakku adalah pesaingnya. Pen

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 54. Sebutan Papa

    Bahagia. Itu kata yang tepat dikala mendengar gelak tawa mereka. Lega. Rasa yang menguasai saat melihat anak-anak bergulat, bercanda bersamanya.Terharu. Saat tangan tua mengusap punggungmu dan bibirnya mengucap, "Kamu anakku juga."Iklas. Bayangan yang selalu menghiasi mimpiku, melambaikan tangan dan memudar sesaat tertangkap banyangan punggung itu.Itulah yang mengumpul di dada ini. Menopangku untuk tetap tegak berjalan menatap langit biru dengan tersenyum mengembang. Mengiklaskan masa laluku untuk bersamanya merajut kebahagiaan.***Kebahagiaan melingkupi keluarga ini. Emaklah yang paling kelihatan cerah, senyum mengembang di setiap apa yang dilakukan. Perasaan lega akan kekawatiran keluarga ini sudah terhapus dengan hadirnya suamiku, Mas Bowo.Saat kami pulang, kamarku yang sudah menjadi kamar kami di hias indah. Rangkaian bunga menghias di meja kecil. Sprei putih dengan detail ungu tua di rumbainya. Ditata rapi dan kelihatan lebih lapang."Mas, pasti ini kerjaan Emak," ucapku s

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 53. Bersamamu, Dunia Semakin Indah

    Aku regangkan tubuhku yang terasa remuk redam. Di balik selimut, kubelai dirinya yang basah berkeringat. Wajahnya damai saat tertidur pulas. Dalam lelapnya, tersungging senyuman dibibir, setelah beberapa kali terlontar kata lagi.Pelan, kupindahkan tangan dan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan berjingkat aku punguti baju yang berceceran di lantai. Tersenyum mengingat apa yang baru terjadi. Kebersamaan kami seperti menjadi candu. Kami seperti dua insan yang menyimpan hasrat yang menumpuk dan melesat saat sudah dipersilakan.Benar kata Umi, aku harus minum madu. *"Mas! Berapa lama lagi aku boleh keluar?" tanyaku saat Mas Bowo melongokkan kepalanya di pintu kamar yang dia buka sedikit. "Tunggu, tiga puluh menit lagi!" ucapnya tersenyum dan menutup pintu kembali. Malam ini, ada rencana indah untukku. Mas Bowo sedang mempersiapkan di luar. Aku dipaksa tidak boleh keluar kamar, sampai dia memperbolehkannya. Tadi sore, dia memberiku bingkisan kotak berwarna putih. Ada ucapannya ya

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 52. Status Baru

    Kata SAH menyatukan kami sebagai keluarga. Pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga dekat saja.Setelah aku menyatakan persetujuan, Mas Bowo mensegerakan untuk menghalalkan hubungan kami. Umi dan keluarganya menyambut dengan gembira dan mendesakku untuk menyetujui niat ini.“Untuk apa menunda niat baik. Apa lagi yang ditunggu? Menunda itu tidak dibenarkan. Segera hubungi keluargamu untuk segera datang,” pinta Umi yang memaksaku berkata iya.Apalagi Mas Bowo. Dia mengajukan segala macam alasan yang membuatku tidak berkutik.“Nisa …. Kamu tahu betapa tersiksanya ketika kita berdekatan seperti ini? Hanya mendengar suaramu saja membuatku tidak baik-baik saja,” ucapnya saat kami bersama sepulang dari belanja bulanan. Saat itu, Emak memaksa untuk tidak membawa anak-anak dengan berbagai alasan.Aku memaksakan diri membalas tatapannya yang sendu. Sebagai wanita dewasa, aku mengerti apa arti tatapan laki-laki di depanku ini. Segera aku alihkan pandangan darinya. Inginku menjaga jarak, tapi

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 51. Menjawab Keraguan

    Sebenarnya masih bercokol keraguan besar di hatiku. Pertanyaan yang mengganggu. Kenapa Mas Bowo yang begitu nyaris sempurna ingin menikahiku? Sedangkan aku seorang janda yang mempunyai anak dua. Penampilan biasa saja, jauh dari kata cantik dan modern. Kalau dia berniat, pasti bisa memilih gadis manapun. Dia masih lajang, tampan, badan juga tinggi serta mapan. Aku harus memastikan terlebih dahulu. Malam ini juga. Saat ini kami selesai berbincang tentang pekerjaan. Kami di lantai bawah, Emak dan anak-anak di atas."Saya masih menunggu persetujuan cuti untuk pergi ke pulau itu. Di kantor masih sibuk peluncuran produk baru, jadi kerjaan saya lumayan sibuk," jelas Mas Bowo sambil merapikan berkas yang baru kami bicarakan Aku memainkan bolpoin di tanganku. Mencoret-coret di kertas berusaha mengumpulkan keberanian melontarkan pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia menggunakan kaos putih lengan pendek sebagai baju dalaman tadi. Kaosnya menjiplak

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 50. Kesungguhan Niat

    "Aku ingin minta ijin kepada Ridwan untuk menjaga kalian," ucapnya dengan menatapku tajam."Mas ...."Aku memberanikan diri membalas tatapannya, memastikan kesungguhan niat laki-laki yang selama ini mendampingi kami. Sungguh, sejujurnya aku tidak bisa menggantikan kedudukan Mas Ridwan di hati ini. Namun, perhatian dan kesungguhannya membuatku goyah untuk tidak menyambutnya.“Kenapa Mas Bowo tetap bersikukuh menerimaku? Sedangkan saya hanya wanita yang mempunyai hati yang sudah tidak utuh lagi. Dengan apa yang Mas Bowo dimiliki, banyak wanita yang lebih bisa didapat. Saya hanya-- .“ “Stop. Jangan diteruskan lagi,” ucapnya memotong perkataanku dengan menunjukkan jari telunjuknya di bibir ini. “Nisa …. Aku hanya ingin kamu memberiku sedikit ruang di hatimu. Aku hanya ingin kamu yang mendampingi di setiap langkahku.”Aku menunjukkan senyuman sebagai ucapan terima kasih. Di usiaku yang tidak muda lagi dan bahkan sudah mempunyai anak dua, dia bisa menerimaku. Ini yang membuatku ragu, apa

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 49. Ini Penting Untukku

    Samar aku dengar suara sedang berbincang. Menyebut namaku dan seperti suara ... ya, suara Mas Bowo. Mataku aku buka perlahan, yang aku lihat bukan dia, tetapi orang lain berjas putih. Aku di mana?"Bu Nisa sudah sadar," ucap orang itu saat melihatku berusaha duduk. "Nisa! Alhamdulillah kau sudah sadar," teriak Mas Bowo langsung mendekatkan kursi ke arah tempat tidurku. Aku menoleh ke arahnya dan mengedarkan pandanganku, di mana aku sekarang?"Ini di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan, karena tidak segera sadar, aku membawamu ke sini," jelasnya. "Ja-jadi saya semalaman tidak sadar?" tanyaku sambil melihat jarum infus yang menancap di tanganku."Iya, Bu. Tapi, sekarang sudah tidak ada masalah lagi. Keadaan Bu Nisa ini karena kondisi badan yang lemah dan pikiran," jelas orang itu yang ternyata dokter. "Baiklah, saya permisi dulu. Pak Bowo, pastikan istrinya makan yang banyak," ucapnya kemudian keluar diikuti suster di belakangnya.Selalu seperti ini, orang menyebut kami pasangan suami

  • Diusir Ipar Setelah Suami Tiada   Bab 48. Titip Anak-Anak

    Air mata ini luruh dengan sendirinya. Semakin deras tak terbendung. Sedikit harapan yang baru saja timbul sudah musnah sudah, setelah foto berikutnya yang diperlihatkan Mas Bowo.Sebuah gundukan tanah dengan nisan tidak bernama. Aku menatap kamar tidur Emak, terdengar tangisnya meskipun pintu sudah ditutup rapatTadi, setelah beberapa saat tidak sadarkan diri, Emak berlahan membuka mata. Dia langsung menarik tangan Mas Bowo."Nak, kabar Ridwan sekarang bagaimana? Dia sehat, kan?" tanyanya berusaha untuk duduk. Aku sibuk menggosok minyak kayu putih di kakinya. Kabar tentang Mas Ridwan terputus karena pingsannya Emak.Mas Bowo tersenyum dipaksakan dan tidak berucap apapun. Hanya menyodorkan foto berikutnya yang membuat dunia kami terbalik. Dengan tangan gemetar, Emak mengusap foto di ponsel itu. Menatap jauh ke sana seakan memastikan ini bukanlah mimpi. "Nak Bowo, Nisa, Emak istirahat dulu," ucapnya langsung masuk ke kamar dan menutup rapat pintu."Mas ... Ini benar?" Dia mengangguk m

DMCA.com Protection Status