Home / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Diusir Ipar Setelah Suami Tiada: Chapter 41 - Chapter 50

56 Chapters

Bab 41. Rasa Bersalah

"Emak. Kenapa menangis?" tanyaku masih menggenggam tangannya yang sudah keriput."Bapakmu meninggal karena 'ngenes', Nis. Dia tertekan karena gagal melaksanakan tanggung jawab Ridwan. Bapakmu merasa bersalah tidak bisa melindungi kalian dari keserakahan Rini anaknya," ucapnya dengan masih terisak. Tatapannya menerawang jauh, seakan mengingat sesuatu. "Kamu tahu tidak, apa yang diucapkan sebelum ajal menjemput? Bapakmu menyuruh Emak mencarimu dan melindungimu, Nis. Dia ingat namamu sampai dia akan meninggal. Tolong maafkan Bapak, ya, Nis. Supaya di sana dia tenang.""Emak .... Nisa tidak pernah terbersitpun menyalahkan Bapak apalagi Emak. Bahkan, Mbak Rini sekalipun. Nisa percaya, ini memang jalan Nisa yang terbaik. Buktinya, kami sekarang baik-baik saja," ucapku mengusap punggung tangannya. Mataku mulai basah dengan air mata, seiring dada ini yang semakin terasa sesak. Ternyata, kepergian kami menyisakan rasa bersalah pada kedua mertuaku ini.. "Nisa ... Emak tahu Umi sayang kepada k
Read more

Bab 42. Rasa Berhutang

Sudah beberapa bulan berlalu.Dari hari ke hari, Emak mulai kelihatan segar kembali. Tubuhnya lebih gemukan. Kebahagiaan bercengkrama dengan cucu, membuat harinya diwarnai dengan senyum dan tawa. Emak pun mulai dekat dengan Umi. Usia yang hampir sama, membuat mereka sepemikiran yang menyebabkan betah berbincang berjam-jam. Umi juga mengajak Emak untuk aktif di pengajian."Memang kami yang sudah tua, penting mengikuti kegiatan seperti ini. Selain beribadah, kami bertemu dengan teman seumuran," jelas Umi dibenarkan oleh Emak.Usaha kuliner kami sudah berkembang pesat. Langganan yang banyak dan promosi yang konstan membuat bisnis kami stabil. Bahkan dapur di belakang sekarang terasa sempit. Dikarenakan itu lah, kami hampir setiap hari berkeliling, mencari tempat baru. Tidak hanya itu, kami mencari informasi di media sosial dan iklan cetak. Namun, yang sesuai dengan kantong dan keinginan belum ada.Sering kali apa yang kita dapatkan, bukan diwaktu yang kita inginkan. Walaupun itu sudah k
Read more

Bab 43. Aku Telah Menyakitinya

Emak dan Mas Bowo kompak menata perabotan di atas. Bahkan terdengar mereka berbincang dan sesekali terdengar tawa. Karena kesal aku memilih menyibukkan diri di bawah, dan tindakanku ini sama sekali tidak dihiraukan oleh mereka. Semakin kesal rasanya."Bu, pesanan Bapak sudah semua dikirim. Ini surat tanda terimanya. Tolong ditandatangani," pinta pengantar barang tadi."Dengan Bapak yang di atas saja, Mas!" "Dengan ibu saja, saya buru-buru. Tadi suratnya ketinggalan di mobil."Terpaksa aku menandatangai surat yang dia sodorkan. "Bapak kelihatan sayang keluarga ya, Bu. Beruntung, Ibu memiliki suami seperti Bapak. Jadi kangen dengan anak istri di kampung. Terima kasih, kami pamit," ucapnya kemudian berlari tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk memberikan sanggahan tentang status Mas Bowo. Apalagi, suara klakson pak sopir yang sudah memanggilnya.Sering seperti ini, perhatian dan tindakan dia yang terlalu seperti ini selalu membuat orang lain salah paham. Ingin aku jelaskan, namun mer
Read more

Bab 44. Awas!

"Nisa .... Nak Bowo sudah turun? Emak dari tadi tidak mendengar suaranya?" tanya Emak.Dia sibuk memasak soto Madura. Ini masakan kesukaan Mas Ridwan. Aku juga bisa membuatnya, tetapi untuk masakan ini, Emak tidak terkalahkan. Padahal bumbu sama, cara sama, namun rasa tetap soto yang dimasak Emak yang terenak. Seperti saat ini, aroma soto yang menyengat membuat perutku merasa lapar. Dulu aku sering kesal dengan Mas Ridwan. Setiap kami makan soto di warung selalu mengeluh, kurang ini dan itu. Ujung-ujungnya dia berkata, "Enakkan sotonya Emak!"Bahkan dia sampai berkata, "Dimasakkan setiap hari pun, saya tidak akan bosan. Asal sotonya Emak." Dikarenakan itulah, kami selalu menghindari makan soto di luar."Nisa! Ditanya dari tadi malah melamun. Nak Bowo mana? Dia kemarin bilang ke Emak, pingin soto. Kasih tahu dia, sotonya sudah matang!" Aku kaget mendengar ucapannya. Biasanya dia membuatkan soto khusus untuk Mas Ridwan. Sekarang Emak membuat khusus untuk Mas Bowo? Pikiranku berputar
Read more

Bab 45. Ijin Untuk Mencarinya

"Nisa! Nisa ...!" Dia memanggilku."Mas Ridwan," sahutku dengan lemas. Aku seperti tidak mempunyai tenaga. Perjuangan mendapatkannya membuatku lelah dan beruntung aku bisa meraihnya. Tangannya tidak akan aku lepaskan. Dia menepuk pipiku dengan lembut"Nisa! Bangun! Nisa!" 'Bangun?! Kenapa aku harus bangun!' Tepukan di pipiku samakin keras. Panggilan itu semakin keras dan sinar masuk menusuk mataku ini. Semakin terang. Aku mengerjapkan mata, mencoba memastikan apa yang ada di depanku."Mas Bowo?!" teriakku kaget."Nisa. Kamu dari tadi teriak-teriak. Kamu bermimpi?" Dia duduk di dekatku, memandang dengan tatapan cemas. Aku tersentak! Bukan tangan Mas Ridwan yang ada di genggamanku tetapi tangan Mas Bowo. Ternyata aku hanya bermimpi di siang hari."Ma-maaf," ucapku lirih seraya melepas genggamanku. "Saya ketiduran. Mas Bowo sudah bangun? Makanan sudah saya siapkan di bawah."Dia tidak menjawab, hanya tatapan matanya seperti mengulitiku. Menembus mencari apa yang ada di pikiran ini. Se
Read more

Bab 46. Isi Kardus Emak

Waktu salat Subuh sudah berlalu. Setelah salam, aku pendengaranku menangkap bunyi kresek ... kresek .... Setelah melepas mukenah, aku perhatikan di seluruh ruangan, kawatir ada tikus. Tidak ada gerakan yang mencurigakan, suara itu semakin jelas saat aku di depan kamar Alif dan Emak. Berarti tikusnya sudah masuk kamar, pikirku."Emak ...!" Aku berteriak kaget saat membuka pintu kamar. Masih menggunakan mukenah, Emak duduk di lantai dengan gumpalan kertas koran dan kantong kresek di sekitarnya. Emak menoleh ke arahku, matanya merah dan basah. Ditangannya memegang erat beberapa pigura foto. Aku mendekat cepat ke Emak."Nisa ...." ucapnya lirih.Tatapannya beralih seperti semula. Tangan keriputnya mengelus gemetar foto itu. Foto Mas Ridwan, Bapak, dan foto keluarga kami saat di kampung. Foto-foto yang tidak diperbolehkan aku bawa dahulu. Sebelumnya, Emak menyimpan di kardus yang tidak boleh dibuka. Katanya, hanya berisi baju bekas. Ternyata isi kardus Emak menyimpan kenangan indah kami
Read more

Bab 47. Kabar Mas Ridwan

"Kita sudah berusaha, biarlah waktu yang meneruskan. Tuhan pasti memberi rencana yang terbaik untuk kita semua. Sudahlah, lebih baik kita kembali ke aktifitas, sembari menunggu kabar," ucap Mas Bowo.Hari-hari kami semakin disibukkan dengan pekerjaan. Kepindahan memperbesar usaha kuliner ini. Bahkan Mas Bowo menerima tiga pekerja lagi. Dua untuk produksi dan satu untuk menerima pesanan membantu Agus.Kekecewaanku karena tidak kunjung ada kabar dari media mulai tersisih dengan kesibukan ini.Aku dan Mas Bowo lebih konsentrasi ke pengembangan usaha. Bagaimanapun dalam usaha harus selalu berinovasi dan beradaptasi dengan keadaan sekarang. Berhasil dan berjaya diwaktu lalu belum tentu berlaku dimasa kini. "Dari hasil survey, banyak yang menginginkan paket katering. Mereka cocok dengan masakan NR Kitchen. Di sini banyak perkantoran, rencananya saya akan menawarkan kerjasama langsung melalui kantor," jelas Mas Bowo. Dia memang lebih sering menyebut Nisa Ridwan Kitchen dengan sebutan itu. K
Read more

Bab 48. Titip Anak-Anak

Air mata ini luruh dengan sendirinya. Semakin deras tak terbendung. Sedikit harapan yang baru saja timbul sudah musnah sudah, setelah foto berikutnya yang diperlihatkan Mas Bowo.Sebuah gundukan tanah dengan nisan tidak bernama. Aku menatap kamar tidur Emak, terdengar tangisnya meskipun pintu sudah ditutup rapatTadi, setelah beberapa saat tidak sadarkan diri, Emak berlahan membuka mata. Dia langsung menarik tangan Mas Bowo."Nak, kabar Ridwan sekarang bagaimana? Dia sehat, kan?" tanyanya berusaha untuk duduk. Aku sibuk menggosok minyak kayu putih di kakinya. Kabar tentang Mas Ridwan terputus karena pingsannya Emak.Mas Bowo tersenyum dipaksakan dan tidak berucap apapun. Hanya menyodorkan foto berikutnya yang membuat dunia kami terbalik. Dengan tangan gemetar, Emak mengusap foto di ponsel itu. Menatap jauh ke sana seakan memastikan ini bukanlah mimpi. "Nak Bowo, Nisa, Emak istirahat dulu," ucapnya langsung masuk ke kamar dan menutup rapat pintu."Mas ... Ini benar?" Dia mengangguk m
Read more

Bab 49. Ini Penting Untukku

Samar aku dengar suara sedang berbincang. Menyebut namaku dan seperti suara ... ya, suara Mas Bowo. Mataku aku buka perlahan, yang aku lihat bukan dia, tetapi orang lain berjas putih. Aku di mana?"Bu Nisa sudah sadar," ucap orang itu saat melihatku berusaha duduk. "Nisa! Alhamdulillah kau sudah sadar," teriak Mas Bowo langsung mendekatkan kursi ke arah tempat tidurku. Aku menoleh ke arahnya dan mengedarkan pandanganku, di mana aku sekarang?"Ini di rumah sakit. Kemarin kamu pingsan, karena tidak segera sadar, aku membawamu ke sini," jelasnya. "Ja-jadi saya semalaman tidak sadar?" tanyaku sambil melihat jarum infus yang menancap di tanganku."Iya, Bu. Tapi, sekarang sudah tidak ada masalah lagi. Keadaan Bu Nisa ini karena kondisi badan yang lemah dan pikiran," jelas orang itu yang ternyata dokter. "Baiklah, saya permisi dulu. Pak Bowo, pastikan istrinya makan yang banyak," ucapnya kemudian keluar diikuti suster di belakangnya.Selalu seperti ini, orang menyebut kami pasangan suami
Read more

Bab 50. Kesungguhan Niat

"Aku ingin minta ijin kepada Ridwan untuk menjaga kalian," ucapnya dengan menatapku tajam."Mas ...."Aku memberanikan diri membalas tatapannya, memastikan kesungguhan niat laki-laki yang selama ini mendampingi kami. Sungguh, sejujurnya aku tidak bisa menggantikan kedudukan Mas Ridwan di hati ini. Namun, perhatian dan kesungguhannya membuatku goyah untuk tidak menyambutnya.“Kenapa Mas Bowo tetap bersikukuh menerimaku? Sedangkan saya hanya wanita yang mempunyai hati yang sudah tidak utuh lagi. Dengan apa yang Mas Bowo dimiliki, banyak wanita yang lebih bisa didapat. Saya hanya-- .“ “Stop. Jangan diteruskan lagi,” ucapnya memotong perkataanku dengan menunjukkan jari telunjuknya di bibir ini. “Nisa …. Aku hanya ingin kamu memberiku sedikit ruang di hatimu. Aku hanya ingin kamu yang mendampingi di setiap langkahku.”Aku menunjukkan senyuman sebagai ucapan terima kasih. Di usiaku yang tidak muda lagi dan bahkan sudah mempunyai anak dua, dia bisa menerimaku. Ini yang membuatku ragu, apa
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status