Home / Urban / Diusir Ipar Setelah Suami Tiada / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Diusir Ipar Setelah Suami Tiada: Chapter 11 - Chapter 20

56 Chapters

Bab 11. Tidak Mau Menjadi Beban

Suara Mas Ridwan terasa jelas di telingaku. Aku langsung beranjak duduk dan mengedarkan ke sekeliling. Namun, hanya ada aku sendiri bersama Dwi. Tidak ada sosok Mas Ridwan. Rinduku akan dia membuatku berhalusinasi.Aku helakan napas dengan mata terpejam.Mas Ridwan, aku yakin kamu masih hidup walaupun entah di belahan dunia mana. Aku merindukanmu.*****"Wah, enak masakanmu, Nisa. Benar kata Fatimah, kamu pintar memasak. Sekarang terbukti!" teriak Umi setelah selesai makan. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah Umi. Alif juga makan dengan lahap, dia sampai minta tambah lagi. "Kalau kamu tidak keberatan, tolong setiap hari masak buat Umi, ya. Tetapi, maaf ya. Umi bukan berarti menganggapmu sebagai ...." "Iya Umi. Saya siap! Bukankah kalau saya dianggap keluarga berarti juga mempunyai tanggung jawab di sini," ucapku memotong perkataan Umi. Aku tahu Umi kawatir membuatku tersinggung. "Baiklah. Fatimah juga cerita, kamu akan membuka usaha makanan. Kamu bisa pakai dapur sesukamu. Silahk
Read more

Bab 12. Embak Membuatku Kenyang

"Ini, temen-temenku, bosnya order nugget. Ini!" ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. "Alhamdulillah," ucapku dengan tersenyum lebar. "Umi, tadi kami iseng menawarkan di grup," jelasku dengan senyum masih tercetak di wajahku. "Maaf Umi, saya belum minta ijin," ucapku lagi. "Alhamdulillah! Ini namanya, Allah memberi jalan kepadamu. Bukankah kamu sudah mempunyai niat untuk menjual makanan? Inilah jawabannya. Umi doakan, kamu cepat sukses," kata Umi dengan menepuk bahuku. Aku mengangguk senang karena Umi mendukungku. "Tetapi, sisakan Umi yang ada wortel dan brokolinya, ya. Bowo akan ke sini nanti malam," ucapnya lagi. Aku menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Dia yang menolong membawa tas kamu itu, lo. Dan, yang pernah dikirim asem-asem dulu. Ingat?" jelas Umi. "O, Pak Wibowo Santoso," ucapku memastikan. Aku ingat sosok seramnya, laki-laki yang menjulang dengan jaket kulit berwarna hitam. "Iya. Dia keponakan Umi. Memang tinggalnya di apartemen, tetapi sering ke sini menjenguk
Read more

Bab 13. Nyicipi Mbak Nisa

"Mbak Nisa! Tadi malam di cariin Mas Bowo. Katanya terima kasih kopinya enak, camilannya juga enak," kata Bik Sari. Aku baru pulang kembali dari mengantar Alif sekolah dan langsung belanja ke pasar. Bik Sari yang selesai menyapu halaman mengikutiku dari belakang."Tadi malam, maunya saya ketok kamar Mbak Nisa, tetapi kok lampunya mati. Aku bilang saja Mbak Nisa sudah tidur," jelas Bik Sari lagi."Pak Bowo masih ada di sini, Bik?" tanyaku sambil mengeluarkan belanjaan dari pasar. Sayur, buah dan ikan segar. Empon-empon juga habis, aku membeli untuk stok."Mbak Nisa ingin nemui Mas Bowo?"Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh ke arahnya. "Endak, lah. Untuk apa?" tanyaku balik.Bik Sari hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum. "Ya, mungkin mau ngobrol," celetuknya. Aku jawab dengan senyuman saja.Tadi malam, setelah membuat kopi, aku langsung mengantar ke teras depan. Aku lihat dia memakan nugget sebagai camilannya dengan lahap. "Terima kasih, ya!" ucapnya dengan tersenyum d
Read more

Bab 14. Kini Giliranku

Kami makan bersama, Umi, keponakan umi, aku, dan kedua anakku. Sambil memangku Dwi, aku menyuapinya dengan nasi tim yang dicampur dengan daging ikan dari sup ini. Umi memuji masakanku, dia bilang supnya menyegarkan. "Tumben kamu mau makan ikan, Wik?" tanya Umi. Dia memang sering memanggil Wik daripada Bowo. Katanya dulu ketika kecil dia tidak bisa menyebut nama lengkap, Wibowo, jadinya panggilan kecilnya Wik. "Enak!" katanya sambil menambahkan nasi untuk kedua kalinya. "Makanya, cepet cari istri. Biar ada yang masakin!" celetuk Umi. Uhuk ...! Mas Bowo terbatuk mendengar ucapan Umi. Dia langsung meneguk air putih di sebelahnya."Mesti begitu kalau ditanya Umi. Mamamu itu lo, ngejar-ngejar Umi untuk nyarikan istri kamu. Sampe bingung jawabnya!" "Ya, cuekin aja, Mi.""Pacarmu yang bulan kemarin itu aja. Cepet dilamar.""Sudah putus. Ah, Umi bikin nafsu makanku hilang," jawab Mas Bowo"Nafsu makan ilang opo! Sudah dua piring gitu!" sanggah Umi disambut tertawa Mas Bowo.Aku tersenyum
Read more

Bab 15. Untung Ada Suaminya

"Usahamu sudah mulai tumbuh, kamu harus memupuknya terus. Jangan sampai pelangganmu kecewa, karena usaha makanan itu maju atau tidak tergantung ininya pelanggan," jelas Umi sambil menunjuk mulutnya. "Iya Umi, saya mengerti. Karena itu, saya minta ijin mulai memakai dapur belakang," ucapku. Ada bangunan kecil di belakang rumah. Kata Umi dulu dapur kotor saat di rumah ini penghuninya lengkap. Namun, karena anak Umi tinggal dilain kota dan yang di rumah sekarang tinggal Umi, jadi dapur besar itu tidak digunakan lagi."Pakai saja secepatnya. Cek dulu, masih bagus tidak peralatan yang di sana. Untuk pesanan sore ini, kamu pakai dapur di depan dulu," ucap Umi dengan menepuk bahuku."Sekalian minta ijin, Umi. Besuk saya pergi dulu ke toko perhiasan. Saya ingin menjual ini untuk modal," kataku dengan memperlihatkan isi buntalan yang diberikan Emak Sayuti dulu. Satu kalung, dua gelang dan beberapa cincin, simpanan Emak saat masih aktif berdagang dulu.Umi menarik tanganku dan menutup kembali
Read more

Bab 16. Semoga Dikuatkan

"Mbak Nisa, dipanggil Umi. Ini saya selesaikan saja," ucap Mbak Sari mengambil alih yang aku kerjakan. Setelah makan bersama, aku membersihkan dapur, Dwi tertidur dan Alif bermain di halaman. Aku melepaskan celemek dan bergegas ke depan.Sudah ada Umi dan Mas Bowo yang duduk di ruang tengah. Umi menepuk sofa di sebelahnya untuk aku duduki."Nisa, Umi senang usahamu mulai jalan. Zaman sekarang sudah berbeda, tidak banyak orang membawa uang cash. Senin depan kamu buka rekening, mudahkanlah pelangganmu dalam pembayaran," jelas Umi."Iya Umi. Minggu depan saya cari kesempatan untuk ke bank," jawabku."Besuk hari minggu, kalau belanja peralatan, biar Bowo antar. Mumpung dia libur. Jangan sendiri, di kota ini tidak aman kalau kamu tidak mengerti," jelasnya disambut anggukan Mas Bowo yang di sebelahnya."Apa tidak merepotkan. Seharusnya hari libur buat istirahat. Saya bisa menggunakan angkutan umum, toh pasar tidak terlalu jauh dari sini. Kalau diijinkan, saya ajak Bik Sari saja," ucapku sen
Read more

Bab 17. Lagu Kenangan

"Mbak Nisa, kita mampir makan dulu ya. Aku lapar!" ucap Mas Bowo saat kami selesai belanja peralatan di pasar. Kasihan juga dia, bolak-balik membawa peralatan dari dalam pasar ke mobil walaupun ada tukang angkat yang mengikutinya. Kakinya pasti penat, seharian mengikuti aku keliling pasar. Tidak hanya mencari peralatan yang aku butuhkan, tetapi juga membandingkan harga yang paling bagus."Alhamdulillah, dapat harga bagus. Yang toko tadi, sudah pelayannya judes, harganya tidak boleh di tawar. Untung kita ke tempat yang ini Mas. Dapat harga murah!" ucapku senang. "Selisihnya cuma lima ribu, Mbak," celetuk Mas Bowo."Ya tetep lebih murah, Mas. Lima ribu kali berapa, lumayan bisa buat beli lainnya. Dapet bonus sutil, lagi!" Senyumku mengembang dengan sendirinya, memandang sutil yang aku pegang. Suatu kebanggaan tersendiri mendapat harga lebih murah ketika belanja."Cewek itu memang aneh. Dapet sutil gitu saja sudah senang," gerutu Mas Bowo lirih walaupun aku mendengar dengan jelas.Di
Read more

Bab 18. Saya Siap Menemani

"Mbak Nisa ... Mbak."Terdengar suara memanggil namamu. Aku mengerjapkan mata, dan mengumpukan kesadaranku. Ternyata aku tertidur."Tidurnya nyenyak sekali, Mbak. Kecapekan, ya. Ayo kita turun. Kita sudah sampai," ucap Mas Bowo sambil membuka sabuk pengaman."Sudah di rumah?" tanyaku kebingungan. Aku longokkan kepalaku di jendela, ada mobil berjejer di sekeliling. "Kita mau makan, Mbak. Ingat?" ucapnya sambil tertawa melihatku kebingungan. Duh, gara-gara ketiduran. Aku merapikan rambut dan bajuku kemudian turun dari mobil. "Mas, ini di mana?" tanyaku lagi."Tuh!" jawabnya dengan menunjuk tulisan kecil di tembok yang bertuliskan parkir Tunjungan Plaza. Aku bergegas berlari mengejar langkah panjang Mas Bowo yang jalan lebih dulu. Kami masuk di keramaian dan memasuki rumah makan, tepatnya restoran."Mas Bowo. Kita tidak salah makan di sini?" bisikku. Mataku membulat saat melihat menu terutama angka yang di bawahnya. Bagiku harganya yang lumayan mahal."Sudah, pilih yang Mbak Nisa suka.
Read more

Bab 19. Rekan Kerja

Masakan ini, pesanan Mas Bowo.Aku membersihkan kepiting. Cangkang kepiting aku lepas dan dibiarkan utuh, kemudian badannya potong menjadi dua. Kepiting yang sudah aku bersihkan ini kemudian dikukus. Labu siam juga sudah aku potong-potong. Sekarang menyiapkan bumbunya.Tadi setelah makan, kami singgah di pasar tradisional. Tempatnya begitu bersih, aku seperti masuk di surga. Sayuran segar terhampar dan tertata rapi, tidak ada tercium bau sampah atau tanah becek. Pasar ini begitu nyaman."Kamu ini perempuan aneh, diajak jalan-jalan di mall tidak mau. Eh, giliran ke pasar seperti ayam keluar kandang!" celetuk Mas Bowo yang mengikutiku."Mas Bowo kalau capek, tunggu di mobil saja. Aku bisa sendiri," saranku sambil memutarkan pandangan ke sekiling, seperti orang kelaparan."Tidak. Kalau ada apa-apa bisa digantung Umi! Eh, ada kepiting!" teriaknya dengan menunjuk kelompok lapak di paling ujung. Lapak penjual seafood. Dia langsung melangkahkan kaki melewatiku, terpaksa gantian aku yang meng
Read more

Bab 20. Pecah Telur

"Sakit, Buk," ucapnya sambil masih terisak. Di tunjukkan jarinya kepadaku. Ternyata ada serpihan kayu yang masuk ke jarinya. "Aduh! Sakiiit!" teriakkan saat tak sengaja tersenggol."Oalah, telusupen ya. Sini sama Bibik saja!" sela Bik Sari langsung mengajak Alif duduk di dekatnya. Dia ke luar sebentar dan kembali sambil membawa tangkai daun pepaya, sepertinya memetik di sebelah rumah. "Sudah jangan menangis, Cah Bagus. Bibik obati, tidak sakit kok!" ucapnya dengan sabar, aku memperhatikan apa yang dilakukan. Kemudian dia meneteskan getah pepaya di jari Alif dan menaburkan garam di atasnya."Nanti kayunya akan ke luar sendiri. Ini resep dari simbahku," jelasnya kepadaku. "Terima kasih ya, Bik." Aku terharu dengan perlakuannya. Di perantauan ini, kami dikelilingi orang-orang yang baik dan menyayangi kami. "Iya. Podo-podo. Kalian ini saudaraku di sini. Jangan sungkan," ucapnya dengan merangkul Alif yang sudah tidak menangis lagi.*"Mas Bowo, makanannya sudah matang," ucapku setelah
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status