"Kamu dari mana, Mas?" tanyaku. Dia tak menyahut. Entah karena tidak dengar, atau menganggap pertanyaanku tidak penting untuk dijawab. “Aku bersihkan dapur dulu ya,” katanya, lalu meninggalkanku. Aku hanya terdiam di tempat tidur. Aku kembali ke alam pikiranku sendiri. Apakah ini yang harus kuterima saat aku tidak mengikhlaskan kepergian Mas Bayu tadi? Tak kusadari, air mata menetes dari sudut mataku. “Nggak usah terlalu dipikirkan, Dik,” kata Mas Bayu saat dia melihatku menitikkan air mata. Mungkin dipikirnya aku merasa bersalah atas kejadian ini. Mungkin dipikirnya aku memikirkan dapur yang hitam penuh jelaga, sementara rumah ini adalah rumah kontrakan. Padahal aku sedang memikirkan dirinya. Dia dan perempuan itu. Dia dan curhatan di email itu. Dia dan masa lalu yang sepertinya terus membelenggu. “Mas, aku lapar,” rajukku. Aku teringat janjiku dalam hati, kalau aku hanya perlu memikirkan diriku sendiri. Karena memikirkan orang lain, hanya akan membuatku terluka. Aku i
Read more