Semua Bab KEMBALILAH SUAMIKU : Bab 61 - Bab 70

80 Bab

Yang Tak Kusangka

Aku menatap wanita yang duduk di kursi roda itu, ia memberiku senyum yang amat teduh, senyum yang berbeda sekali sejak terakhir kita bertemu.“Selamat datang Bulan?” ucapnya.Aku masih tidak mengerti apa sebenarnya yang mereka rencanakan di belakangku.“Maaf.”Sepatah kata yang diucapkan oleh Nana.“Maaf ucapmu? Setelah melakukan itu kepada ibuku?”“Bulan, aku tak pernah berpikir untuk menyingkirkan ibumu, aku tak pernah berpikir akan membunuhmu. Aku memang ingin membalas perbuatan ibumu yang dengan tega mengambil suamiku dariku, tapi itu sebelum aku tahu yang sebenarnya, sebelum aku tahu itu hanya akal-akalan Ningsih yang memanfaatkanku.”Aku menatapnya tak mengerti. Apa sekarang otakku semakin bodoh sehingga tidak semudah dulu mencerna ucapan orang lain.“Ningsih mengatakan kepadaku Yusuf berselingkuh dengan ibumu hingga lahirlah kamu. Saat aku mengetahui dari Barja bahwa kamu benar-benar anak biologis Yusuf aku semakin murka, aku ingin menghabisi kalian aku ingin membuat Lilis mend
Baca selengkapnya

Hukuman

Sekarang aku memetik banyak hikmah dari perjalanan penuh air mata ini. Perjalanan yang membuatku semakin lumpuh memberi kepercayaan kepada insan manusia. Sekarang yang terpenting bagiku adalah Tuhan berada di hatiku, menemani setiap langkahku meski seluruh keluarga meninggalkanku sekalipun.Bukankah Allah tak akan mengambil sesuatu dari kita melainkan akan menggantinya dengan yang lebih baik?Aku masih terus bertanya kenapa dan mengapa meski sekarang orang yang telah merenggut nyawa ibuku telah mengatakan semuanya. Aku masih tak percaya. Ya, bagaimana aku akan percaya sementara selama ini dia bertopeng kelembutan di depanku.“Apa kamu mengerti sekarang Bulan? Kamu tak pantas bahagia!” seru Teh Salma.Aku masih tidak bergeming, banyak penyesalan yang merajai hatiku saat ini. Di saat yang bersamaan Nara datang bersama Roy membawa beberapa polisi juga Nana sebagai saksi sekaligus ingin mengaku, mereka menangkap bibi dan Teh Salma termasuk Juragan Barja yang merencanakan ini semua. Aku ha
Baca selengkapnya

Kebetulan Macam Apa?

Menyusuri jalanan mulus di pinggiran Gunungkidul. Tujuan utamaku adalah Drini Beach, pantai penuh ketenangan cocok sekali untuk melepaskan waktu bersama keluarga menikmati sunset dan fajar selama beberapa hari. Setidaknya keindahan alam ciptaan Tuhan memberi otak jeda untuk memikirkan hal yang membuat otak hampir gila.Pantai Drini menjadi salah satu pantai istimewa di pesisir Gunungkidul karena sebuah pulau kecil di tengahnya membagi pantai menjadi dua bagian. Konon di pulau tersebut banyak ditumbuhi santigi (Pemphis acidula), atau masyarakat di sini biasa menyebutnya drini. Itulah kenapa pantai dan pulau ini diberi nama drini. Bila laut sedang surut, kita bisa pergi ke pulau. Tak perlu menjadi climber untuk memanjat karang, karena tangga beton rela dipijak demi mengantar kita ke atas. Dari sini, pandangan kita bisa menyisir seluruh Pantai Drini, melihat gunungan alang-alang atap gazebo hingga deretan perahu nelayan. Semua tampak mungil, seperti miniatur bikinan kurcaci. K
Baca selengkapnya

Pengakuan Azen

Aku mencoba menarik bibir membuat simpul senyum, aku tidak ingin pertemuan ini menjadi sebuah masalah. Aku tidak ingin keadaan yang baik-baik saja akan menimbulkan perkara yang menyakiti.“Loh Bulan, kamu di sini sama siapa?” tanya Nara, gadis itu sudah berdiri di sampingku dan menggandeng tanganku.“Sama keluarga.”“Si kecil juga?”“He'uum.…”“Wah besok bisa dong kita main di pantai sama-sama, pasti seru deh liburan kali ini.”Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan Nara. Ia mengajak kami jalan-jalan mengelilingi resort, Nara berjalan lebih dulu menggandeng Azen, sementara aku berjalan membuntutinya bersama Roy. Tidak ada percakapan berarti diantara kami selain sesekali menjawab ucapan Nara.Hingga malam semakin larut, aku berpamitan untuk kembali ke kamar lebih dulu takut jika Amara mencariku.…..Sampai di kamar aku duduk di depan jendela, melihat ponselku y
Baca selengkapnya

Salah Paham

“Nara?” ucapku lirih, entah sejak kapan dia sudah berdiri di situ.“Jadi kalian… apa kalian bermain di belakangku?” ucap Nara dengan suara bergetar. Mata yang sudah mengembun hanya menunggu detik tetesan bening itu jatuh.“Nara ini gak seperti yang kamu pikirin, aku bisa jelasin,” ucapku mencoba mendekati Nara. Namun, ia menepis tanganku.“Maaf Nara, aku memang mencintai Bulan,” ucap Azen mempertegas semuanya.“Azen kamu apa-apaan!” seruku.“Jadi selama ini kamu tak mencintaiku? Kamu tak memiliki perasaan apapun kepadaku?”Nara melangkah mundur dan akhirnya berlari meninggalkan kami dengan linangan air mata.Ya Rabb, apa lagi ini? Aku datang kemari untuk mencari kedamaian dan juga ketenangan, bukan perkara seperti ini.“Kamu keterlaluan Azen, sudah aku katakan aku tidak mencintaimu!” Aku meninggalkan yang masih mematung berniat ingin menemui dan menjelaskan semuanya kepada Nara. Berlari cepat menuju kamar N
Baca selengkapnya

Menepis Rasa

Menepis rasa yang tiba-tiba hadir begitu saja, aku tak ingin punya rasa nyaman sedikit pun kepada Roy, kepada orang yang beda keyakinan denganku karena aku tahu akhirnya pasti akan menyakiti hati ini. Aku tak ingin merajut rasa yang nantinya akan menyakiti hati, ini bukan keinginanku dan sama sekali aku tak menginginkan itu.Kami di sebuah Villa milik Roy, Villa tiga lantai yang begitu mewah, di depannya banyak bunga mawar tumbuh begitu subur. Aku dan Roy segera turun di saat yang bersamaan Nara keluar membawa kopernya. Kami saling tatap sesaat, aku berlari menghampirinya yang bersiap hendak pergi.“Ra, dengerin dulu. Aku bersumpah aku tak memiliki hubungan atau perasaan apapun sama Azen, kami cuma masa lalu,” ucapkan Mencoba menjelaskan.Nara tersenyum dan memegang tanganku.“Aku ngerti, aku cuma ingin menenangkan diri, jika kamu memiliki perasaan denganya pun aku tak apa-apa Bulan, aku hanya ingin pergi sementara, di sini sakit sekali,” ucap Nar
Baca selengkapnya

Kita Berbeda

Malam semakin petang tetapi mata belum mampu terpejam, sementara Nara masih menangis di sampingku. Bukan posesif, tetapi pedihnya hati yang dikhianati tak akan mudah sembuh, terlebih ketika cinta itu benar-benar tumbuh dengan sungguh-sungguh.Malam ini aku menemani Nara di kamarnya, aku sudah memberitahukan itu kepada Amara jadi ia tak mencariku. Beruntunglah Amara mau mengerti itu.Aku masih memikirkan ucapan Roy yang tiba-tiba mengganggu pikiranku, berkali kali aku menggeleng agar ucapan itu tak terus berputar indah di ingatanku. Aku tak ingin memiliki hati kepadanya, sekali lagi aku tegaskan kepada hati aku tak ingin memiliki perasaan apapun kepada Roy, dan jangan sampai itu terjadi.Ponselku bergetar, pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.[Bahkan jika kau memintaku menjadi gelap agar rembulan tetap bersinar aku akan melakukan itu.]Siapa sebenarnya yang sedang gencar mengirimiku pesan kata puitis seperti ini? batinku.[Siapa kamu?] balasku. Aku sudah penasaran sekali dengan o
Baca selengkapnya

Permintaan Zakir

Kembali ke kota Jakarta, kembali memulai aktivitas yang membuat kepala harus bekerja ekstra. Aku masih memiliki dua hari untuk berlibur sebelum kembali ke Bandung, kugunakan waktu itu untuk bersama kedua putra tercintaku dan membantu umi menyiapkan pernikahan untuk Amara yang akan dilaksanakan pekan lusa. Hari ini dia bersama Viko melakukan fitting baju pengantin, karena Zakir dan Zafar yang merengek tak mau di tinggal oleh Amara terpaksa aku harus ikut bersamanya. Berkali kali aku membujuk Zakir dan Zafar untuk membeli es krim lebih dulu, tetapi sayangnya kedua putraku itu begitu lengket dengan Amara saat ini sehingga susah sekali untuk membujuknya.“Ayo kita beli es krim dulu? Unti akan lama nanti Sayang?” bujukku, tetapi tidak didengarkan oleh keduanya.“Umi pergi saja sendiri,” ucap Zafar si keras kepala dengan logat anak kecil yang begitu menggemaskan.“Unti lama Sayang, nanti Zafar sama Zakir lelah menunggunya,” ucap Amara ikut membujuk.Keduanya tetap menggeleng tak menghirau
Baca selengkapnya

Pernikahan Nara

Sesuai keinginan abi aku harus ke Bandung setelah pernikahan Amara nanti. Aku mematut diri di cermin dengan kebaya keluarga, menitikan air mata, andai Bang Amar masih berdiri di sampingku, berbahagia bersama menyaksikan Amara duduk di pelaminan.“Umi….” Aku menyeka air mataku, Zakir dan Zafarr berlari menghampiriku, kedua putraku benar-benar mirip Bang Amar dengan setelan jas putih begitu terlihat tampan.Aku menggandengnya untuk segera turun karen abi dan umi sudah menunggu, kami akan berangkat bersama ke hotel tempat dilangsungkanya pernikahan Amara dan Viko.Karena jarak rumah dan hotel tak terlalu jauhi kami hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di hotel, aku bersama umi lebih dulu melihat Amara yang berada di ruang ganti sedang bersiap, memeluknya dengan erat. Akhirnya ia menikah setelah menunda tiga tahun, menyembuhkan luka keluarga dari kehilangan Bang Amar, Allah masih menjaga hubungan Amara dan Viko hingga akhirnya sampai di jenjang ini.Setelah menemui Amara aku ke
Baca selengkapnya

Lelaki Berkoko Putih

Satu bulan berlalu, Roy tak lagi menghubungiku, diam-diam aku menyimpan rindu untuknya. Pesannya tak lagi meramaikan ponselku, kata-kata manisnya tak lagi menyambut pagiku, entah di mana dia sekarang. Aku pun selalu menyibukan diri, tak ingin terus memikirkan apapun termasuk Roy, meski umi dan abi terus menanyakan kapan kami akan melangsungkan pernikahan. Aku menjelaskan kebohongan kami, tetapi seolah mereka tak percaya dan mengatakan aku hanya malu, sungguh di luar ekspektasiku. Namun, Amara bilang ia sering datang untuk menemui kedua putraku, atau sekedar mengajak mereka berjalan-jalan, karena aku di Bandung jadi tidak tahu itu. Ya, selama sebulan ini aku menetap di Bandung untuk membesarkan perusahaan yang bersiap akan mendirikan kantor cabang.Hari ini abi memintaku untuk pulang sejenak menggantikanya memberikan santunan kepada pesantren dan juga anak yatim yang setiap bulan kami lakukan, jika abi yang meminta aku tak bisa menolak, karena ia bilang akan mengunjungi kerabat yang s
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status