Semua Bab KEMBALILAH SUAMIKU : Bab 41 - Bab 50

80 Bab

RUMAH IBU

Aku membantu umi menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan calon suami Amara. Meski umi melarangku untuk melakukan hal itu, tetapi aku tetap ingin membantu. Tidak enak jika hanya melihat sementara orang orang sibuk mengerjakan sesuatu.Sesekali kegiatan kami diselingi canda dan tawa. Aku tak henti menggoda Amara, adik ipar yang begitu terasa adik sendiri.Ponselku berdering, dengan cepat aku mengambil benda pipih itu, nomor baru enggan menjawabnya aku putuskan untuk memberikan kepada Bang Amar. Untuk urusan ponsel aku dan Bang Amar memang tidak merahasiakan apapun, ponselku miliknya ponselnya milikku.“Siapa Bang?”tanyaku sedikit penasaran.Bang Amar meloudspeaker panggilan telepon tersebut agar aku bisa ikut mendengarkan. Ternyata dari notaris kepercayaan ayah, ia bilang aku dan Bang Amar harus segera pergi ke bandung karena ada hal yang mendesak. Ingin menolak, tetapi ia begitu memaksa.“Apa anda tidak merasa kasihan dengan Pak Yusuf kjik perusahaanya sampai jatuh kepa
Baca selengkapnya

SECARIK KERTAS

Tanpa menunggu lama aku mendorong pintu rumah bibi dan menatap nyalang dua orang yang ada di dalam, bibi dan mamang sama terkejutnya melihat aku berdiri di depan pintu.Dada naik turun bergemuruh hebat menahan amarah dan segala pertanyaan.“Katakan sekali lagi,” ucapku.Cairan bening sudah menumpuk di pelupuk mataku. Apa yang harus aku lakukan jika benar dialah orang yang sudah melenyapkan ibu?“Bu—Bulan, bibi teh bisa jelaskan, ini gak seperti yang kamu pikirkan.”“Katakan semuanya sekarang!” seruku, tak dapat lagi menahan air mata, ia mengalir begitu saja. Apalagi ini? Apalagi yang akan terungkap sekarang ini?“Bu—Bulan maafin bibi.”Bibi sudah bersimpuh di bawah kakiku. “Bibi katakan apa sebenarnya kesalahan ibu, sehingga bibi sampai melakukan itu, bibi tega nyakitin ibu, apa sebenarnya yang telah ibu lakukan?”Sakit, sakit sekali rasanya. Selama ini aku pikir ibu mengakhiri hidupnya sendiri, selama ini orang kampung mengira ibu tak cukup iman sehingga mengakhiri hidupnya.“Bulan,
Baca selengkapnya

PESAN PENINGGALAN IBU

Bang Amar mematikan lampu utama ketika keadaan menjadi gelap gulita, ia menghidupkan senter ponselnya dan menyorot tepat di kertas tersebut.“Bacalah," perintahnya.Aku mulai mengamati kertas tersebut dan merangkai setiap kalimatnya yang sedikit tidak jelas, tetapi ibu menulis dengan sangat bagus. Apa selama ini ia hanya berpura-pura buta huruf untuk menyembunyikan semuanya?[Bulan Sayang, jika kamu sudah membaca surat ini itu tandanya ibu sudah tidak ada.Bulan Sayang, jadilah anak yang bersinar layaknya bulan purnama.Rembulan kannaya, apa kamu tahu arti nama itu? Rembulan yang bahagia, Rembulan yang tentram dan merdeka, ibu ingin hidupmu sebahagia rembulan yang dikelilingi banyak bintang, ibu ingin rembulan hidup tentram di atas sana di tempat seharusnya rembulan bersinar menerangi kegelapan.Bulanku Sayang, maafin ibu karena kamu harus lahir dalam keadaan yang seperti ini, keadaan yang serba kekurangan, keadaan yang penuh duka lara.Rembulan Sayang, kamu harus merdeka. Ibu rela m
Baca selengkapnya

DENDAM DALAM JIWA

Aku mengikuti Bang Amar yang berjalan lebih dulu karena orang yang mengetuk pintu kayu rumah ibu semakin tidak sabaran.“Siapa Bang?”tanyaku setelah sampai di depan pintu.Mataku memerah melihat lelaki berperut buncit itu, lelaki yang dulu sempat ingin melecehkan ibu, lelaki yang sempat mencoreng nama baik ibu.“Ada apa Pak?”tanya Bang Amar yang tidak tahu siapa dia.“Kenapa Juragan kemari?” tanyaku ketus.“Apa Yusuf memberimu hak atas perusahaan yang dikelola Azam?”tanya juragan barda tanpa basa-basi.“Jika benar kenapa?”aku tak lagi takut menghadapi manusia berhati iblis itu.“Jangan macam-macam dengan saya, jangan menyentuh apa yang seharusnya menjadi milik Azam!”“Apa Juragan belum puas dengan apa yang Juragan miliki saat ini?”“Dulu Yusuf mengatakan ingin memberikan semuanya kepada Azam, tetapi sejak ia mendengar kabarmu dan juga Lilis ia berubah pikiran, saya ingatkan jangan mengganggu milik Azam.”Aku terkekeh mendengar ucapan Juragan Barda, lelaki serakah yang menjadi momo
Baca selengkapnya

Pengakuan Teh Salma

“Teh tolong jujur jeung Bulan, apa Teteh tahu ibu tidak meminum racun untuk bunuh diri?”Wajah Teh Salma tampak tegang, ia mulai menggigit ujung kukunya, sudah di tebak Teh Salma tahu sesuatu.“Neng, itu udah lama, Teteh juga udah kasih tahu kamu apa alasan embu ninggalin kita,”Aku memegang tangan Teh Salma, menggenggamnya dengan erat, menatap matanya yang beralih pandang, aku memohon dari tatapan mata agar Teh Salma mau memberitahukan kebenarannya.“Katakan sama Bulan, Teteh mah bohong jeung Bulan, kan?” Teh Salma membenarkan posisi duduknya, menarik paksaan tangannya yang ada dalam genggamanku.“Teteh teu bohong Bulan, Teteh teu tahu apa-apa, sudah kamu mah gak usah mikirin itu lagi, embu udah tenang hidupnya di sorga,”ucap Teh Salma sedikit meninggikan suaranya.“Apa Teteh teu kasihan jeung Bulan? Sampai kapan Teteh mau menyembunyikan semuanya? Bibi udah kasih tahu
Baca selengkapnya

BERTEMU MR. Black

Malam ini juga aku dan Bang Amar kembali ke kota, tak ingin jika Nara menunggu lama. Sampai di hotel aku langsung menemui Nara semntara Bang Amar bertemu dangan Anwar.“Kalau bukan kamu nih Lan, beneran gak mau aku datang kesini," ucap Nara sambil memanyunkan bibirnya.“Masa iya kamu gak mau bantuin aku sih?” ucapku memelas.“Huft… jadi apa rencana kita?”“Aku cuma minta tolong kamu buat deketin anak ayah dari mantan istrinya.”“Ayahmu punya anak lain?”Aku mengangguk membenarkan ucapan Nara.“Terus habis itu aku harus ngapain?”“Dapetin semua informasi mamanya, kalau bisa pasang sebuah perekam di rumahnya.”Nara mengangguk tanda mengerti, malam ini kami terus menyusun rencana termasuk membalas perbuatan wanita itu kepada ibu.Maafkan aku ya Allah, maafkan aku karena tidak bisa mengikat dendam yang sudah kokoh dalam dadaku.Lama be
Baca selengkapnya

NAAS

“Cepat Bang jangan sampai kita kehilangan jejaknya.”Aku tak sabar lagi ingin melihat sosok wanita itu, lebih tepatnya ingin tahu siapa wanita itu. Wanita yang tega mendorong ibuku ke jurang kematian dengan dalih melindungiku. Ini salah kaprah, tidak ada hal yang memaksa orang lain mengakhiri hidupnya untuk memberi perlindungan bagi orang lain.Mobil merah milik Mr. Black memasuki sebuah kawasan elit, dan berhenti tepat di rumah besar tiga lantai, rumah mewah dengan cat berwarna gold berpadu dengan silver, rumah bak istana. Apalagi yang kurang darinya sehingga dengan tega menyakiti ibuku, wanita yang hanya selalu menjadi korban.Aku dan Bang Amar masih mengintai dari seberang jalan. Kedatangan Mr. Black disambut oleh seorang wanita yang duduk di kursi roda, memeluk erat wanita itu, tatapan yang semula kulihat dingin dan penuh amarah di depan wanita itu berubah sendu dan penuh kehangatan.“Kita pulang sekarang Dik?”tan
Baca selengkapnya

Kepergian Bang Amar

“Bang, bukan Abang yang salah, kenapa Abang harus berlutut di depannya, dialah yang seharusnya meminta maaf dengan ibu dan kita," ucapku tak terima dengan kemauan Mr. Black.“Dik Abang juga berat jika harus mengorbankan harga diri Abang, tetapi di perusahaan itu ada pengorbanan ayah, ada kepala keluarga yang sedang membutuhkan pekerjaan, Abang tak bisa membiarkan perusahaan itu jatuh begitu saja.”“Kita jual saja semua kebun dan juga rumah pemberian ayah di Jakarta, mobil-mobil itu aku pun tak membutuhkannya, tapi suamiku tidak akan berlutut di depan orang yang telah membunuh ibuku!”Aku meninggalkan Bang Amar dengan menahan air mata. Ini tidak adil, aku tak akan membiarkan keluarga itu terus menginjak-injak harga diriku, tak akan kubiarkan.Kubaringkan tubuhku yang terasa berat, aku butuh energi, aku harus istirahat untuk mengumpulkan kembali energi agar besok bisa menghadapi orang berhati iblis itu.Bang Amar menyusu
Baca selengkapnya

Nestapa

Aku tahu diam dan termenung tak akan membuat Bang Amar atau ibu kembali ke sisiku, semua ini hanya akan membawaku terseret dalam keadaan yang menyayat-nyayat hatiku, memporak porandakan keimananku, dan meragukan tuhanku. Namun, untuk sekedar keluar saja aku tidak sanggup, andai saja tak ada dua malaikat kecil yang sekarang harus berjuang di bawah hangatnya inkubator mungkin aku sudah pergi meninggalkan dunia ini. Entah kemana, yang jelas ke neraka karena orang yang mendahului takdir sudah pasti tak akan di terima di tempat Allah, tetapi aku lelah, lelah dengan cobaan yang selalu menghantam hati kecilku, merusak jaringan otak untuk selalu berpikir positif. Pepatah mengatakan rencana Allah pasti sebaik-baiknya rencana, lalu dimana baiknya rencana itu?Aku tahu aku salah menanyakan takdir kebaikan dari Allah, tetapi aku hanya insan manusia biasa, selain bersyukur aku hanya bisa mengeluh, mengeluh dengan keadaan yang tak pernah berpihak kepadaku.Sekali lagi
Baca selengkapnya

Merenda Sepi

Dulu di sudut yang jauh aku pernah bermimpi begitu besar memilikinya, kini saat aku sudah di sudut terdekat dengannya, memiliki cintanya, mendapat sayangnya harus ada kematian yang memisahkan.Aku menghirup udara pagi, masih di kota Bandung, Bandung yang sama seperti hari sebelumnya, di sambut hiruk pikuknya aktivitas orang-orang. Hari ini aku dan Amara akan menemui orang yang melepaskan timah panas hingga menembus dada suamiku, dada yang membawa cintaku, dada yang mengikat cinta dalam perpisahan kematian. Meski sekuat apapun aku protes dia tak akan pernah kembali, dan aku mulai menyadari itu.“Mbak yakin sudah siap ketemu mereka?”tanya Amara.Aku mengangguk.Sangat yakin, sehingga ingin sekali mencabik-cabik orang itu. Dadaku semakin bergemuruh setelah memasuki ruangan untuk jenguk para tahanan. Keluarlah dua orang lelaki tak terlalu berbadan besar di dampingi seorang lelaki berseragam polisi.Aku menatap sa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status