Semua Bab KEMBALILAH SUAMIKU : Bab 31 - Bab 40

80 Bab

TALAK SATU

Terbentang jeda panjang saat kuputuskan pergi meninggalkan rumah Bang Amar, membawa bayi yang ada dalam perutku. Meski kami belum resmi bercerai, aku tetap tidak ingin kembali dalam pelukan Bang Amar.Dua minggu sudah aku berdiam diri mengurung dalam rumah besar ini, mematikan telepon dan tak ingin diganggu oleh siapapun. Tidak tahu bagaimana kabar Bang Amar, apa yang ia lakukan dan sedang bersama siapa sekarang dia.Aku terhanyut dalam kesepian seorang diri, berteman tangis pilu menahan rindu, entah sampai kapan aku akan seperti ini. Aku kira move on semudah mengucapkannya, nyatanya aku salah, ini tak semudah mengucapkan dua kata tersebut, terlalu besar peperangan yang terjadi dalam otak dan perasaanku.Pagi ini aku putuskan untuk berjalan-jalan sekedar menghirup udara segar, sudah dua minggu aku mengurung diri, udara yang terasa sesak tidak memberikan sedikitpun kelegaan dalam hatiku.Aku berjalan pelan menyusuri kompleks elit yang sekarang terasa lenggang karena mungkin penghuninya
Baca selengkapnya

NGIDAM

Ayah beranjak pergi, tetapi tidak dengan Bang Amar, kenapa ia tak ikut pergi?Aku turun perlahan dan memanggil Bi Ijah yang sedang di dapur,“Bi, apa Bibi yang memanggil ayah?”tanyaku.“Iya Mbak, tadi Mbak Bulan pingsan lama sekali, Bibi takut. Badan Mbak Bulan gemetar dan menggigil dan terus mengigau memanggil nama Bang Amar jadi saya menelpon Pak Yusuf agar membawa dokter buat periksa Mbak Bulan," terang Bi Ijah.Bahkan ketika tidak sadar saja aku memanggil nama Bang Amar? Kenapa susah sekali memberitahukan kepada hati ini agar tidak berharap lagi kepada sosok Amar.Bang Amar mendekatiku dan menyuruh Bi Ijah kembali mengerjakan pekerjaannya.“Kenapa tak jujur dengan Abang, Dik?”tanya Bang Amar, ia menunjukan tiga buah testpack yang pernah kugunakan dulu, tatapannya begitu sendu. Aku memalingkan wajah tak ingin menatap matanya yang mulai mengembun terlebih aku tidak ingin ia melihat masih ada cinta dalam hatiku.“Aku bisa mengurusnya seorang diri Bang, lebih baik Abang silahkan pe
Baca selengkapnya

KLINIK

Panjang waktu yang kulalui, hari-hariku berlalu begitu saja, seolah waktu begitu cepat berputar dan hari ini tepat dua bulan kepergianku dari rumah Bang Amar, meski dia masih mencukupi nafkah untukku juga keperluanku dan kebutuhan calon anak kami, sampai saat ini aku masih menunggu dalam sepi fakta yang akan dia berikan untukku, aku masih setia menantinya.Hari ini aku berencana untuk memeriksakan kehamilanku, Bang Amar sudah menunggu di luar sementara aku masih ragu untuk sekadar pergi denganya, aku tak ingin bermasalah dengan Farhan, ia berkali-kali mengancamku untuk meninggalkan Bang Amar, aku hanya menurut dan tak berniat bertengkar dengannya.“Sudah siap Dik?” tanya Bang Amar.Aku hanya mengangguk dan masuk mobil begitu saja, malas sekali berbicara denganya.“Abang udah gak sabar pengen lihat anak kita,”Aku tak menjawab atau merespon ucapanya, aku lebih memilih menatap kendaraan yang berlalu lalang. Banyak yang berputar putar di dalam otakku. Bagaimana hubungan ini? Akankah sela
Baca selengkapnya

SIAPA MR. BLACK

Aku tersadar saat kurasakan air mengguyur wajahku dengan keras. Perlahan aku membuka mata, menyadarkan otak agar segera berfungsi kembali dan melihat keadaan sekelilingku, tangan dan kaki terasa sakit dan tak dapat digerakkan. Rupanya mereka mengikatku seperti hewan.“Siapa kalian kenapa membawaku ke tempat seperti ini? Lepaskan saya?”Aku mulai gemetar saat kulihat di depanku berjajar empat orang laki-laki berbadan besar dan berpakaian hitam, wajah mereka benar-benar menakutkan.“Tolong jangan sakiti saya dan anak saya,”ucapku memohon.“Mau kita apakan wanita ini?”tanya seorang laki laki yang berdiri paling ujung kepada rekannya. Kumis tebal dengan banyak goresan luka di wajah membuat penampilan semakin garang.“Kita tunggu saja sampai Mr. Black datang,”jawab salah seorang dari mereka.“Siapa bos kalian? Mengapa membawaku kemari? Lepaskan aku!”seruku sambil terus berusaha melepaskan ikatan di tanganku.“Sudah jangan banyak omong!” bentak laki-laki dengan banyak goresan luka itu.
Baca selengkapnya

MELARIKAN DIRI

Tubuhku masih mematung memandang lelaki yang dari arah kanan mulai mendekat, lari tidak mungkin karena kakiku tak bisa digerakkan karena terkena batu dan sakit sekali. Hingga seseorang menarikku bersembunyi di balik semak dan membekap mulutku agar aku tak bersuara, aku tak bisa melihat wajahnya karena malam terlalu gelap.Kami terus sembunyi sampai beberapa lelaki itu tak ada lagi di sekitar persembunyian kami. Lelaki yang telah menolongku menarik tubuhku dan memelukku erat, aku mencoba mengelak karena tidak tahu siapa dia.“Siapa anda?”“Bulan, Abang rindu, Abang mencarimu kemana-mana." Suara isakannya semakin jelas terdengar.Setelah aku mendengar ia mengatakan itu, aku mempererat pelukan dan menangis sejadi jadinya dalam dekapanya.“Abang, aku takut sekali, takut hingga tubuhku seakan tak bernyawa lagi.”Ya, dia Bang Amar. datang untuk menjemputku.“Maafin Abang lama menemukanmu.”
Baca selengkapnya

AMAR POV BAG 1

AMAR POVamar pov.Aku bukan lelaki sempurna, karena memang layaknya manusia tak ada yang sempurna dan itu pun terjadi dalam diriku. Ustad Amar begitulah orang memanggilku saat ini. Mungkin orang mengira aku adalah lelaki dambaan bagi kaum hawa, tetapi mereka salah, aku tak sesempurna itu. Soal wanita aku tak tertarik olehnya, entah karena belum ada yang merebut hatiku atau memang jiwaku yang terganggu.Namun, di balik nama Ustad Amar ada begitu banyak hal cela yang tak pantas ada dalam diri seorang ustad, aku berusaha menutupinya, menutup rapat rahasiaku. Mencoba hidup normal layaknya laki-laki biasa.Semua berawal ketika aku duduk di bangku SMP. Saat itu abi dan umi masih sibuk dengan bisnisnya, aku pun lepas dari kontrol orang tua. Aku yang memang bersifat tertutup tak pernah bercerita tentang apa yang aku alami selama di sekolah, aku asyik dengan duniaku sendiri begitu juga abi dan umi. Semua semakin parah ketika aku menolak permintaan abi untuk memasukkan ke pesantren.Abi marah
Baca selengkapnya

AMAR POV nex

AMAR POVPagi datang dengan mentari yang menyelinap membangunkanku dengan sialau yang masih sama seperti perasaanku kepadanya yang telah pergi meninggalkanku seorang diri dalam keterpurukan.Aku mengerjapkan mata berkli-kali tak ingin terbangun dari mimpi indahku, mimpi saat dia masih berada di sampingku, membangunkanku dengan senyum manisnya. Aku rindu canda dan tawanya, mata amber yang selalu menatapku dengan penuh cinta, di mana dia? Sudah dua minggu ia masih tak dapat dihubungi. Setiap pagi aku selalu menantikan ponselku bergetar sekedar mendapat pesan atau kabar darinya. Seperti pagi ini aku melakukan hal yang sama menunggu ponselku bergetar dan benar saja benda itu bergetar, aku pikir itu sebuah telepon atau pesan darinya nyatanya hanya sebuah alarm yang kupasang sejak dua minggu lalu setelah dia pergi meninggalkanku.Dengan malas aku bangun dan beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku memulai aktifitas tanpa Bulan yang selalu menyiapkan segala keperluanku. Aku mu
Baca selengkapnya

AMAR POV BAG 2

Mataku membulat saat melihat isi kotak tersebut, tiga buah strip alat tes kehamilan yang menunjukkan dua buah garis, aku belum tahu apa artinya. Segera kubuka google dan mencari informasi di dalam mbahnya informasi dunia tersebut.Aku melonjak dan berkali-kali mengucap syukur saat aku membaca garis dua yang diartikan positif hamil.“Bulan hamil, dia mengandung anakku.”Tanpa pikir panjang aku segera bergegas menuju rumah Bulan, rumah pemberian ayahnya. Namun, sampai disana aku kembali mendapat tamparan dari ayah, aku hanya bisa menunduk dan menerimanya. Hatiku kembali sakit saat melihat Bulan terbaring tak sadarkan diri, wajahnya pucat. Apa yang terjadi dengannya?Aku bertanya kepada ayah, ia mengatakan Bulan stress dan itu dapat mengganggu perkembangan janin, aku mengacak rambut frustasi, aku bodoh, andai aku lebih peka kepadanya.Setelah sedikit berbincang dan mendapat amukan dari ayah ia meninggalkanku yang masih menunggu Bulan bangun. Bulanku sudah terbangun, aku segera menghampi
Baca selengkapnya

AMAR POV BAG 3

Malam ini aku tak ingin menunda lagi, aku harus mendapatkan semua bukti. Kami telah sampai di restoran di mana aku sempat menunggu orang yang dikatakan oleh bapak-bapak itu. Berbanding terbalik dengan saat waktu itu, saat ini restoran begitu ramai. Karena tak ingin menimbulkan keributan kami mengintai lebih dulu.Aku menunjuk seorang gadis berambut pendek dengan kacamata, Mara dan Nara turun lebih dulu dan menemui gadis itu. Aku melihat Nara mencekal lengan gadis itu dan membisikan sesuatu. Nara memang berani dan terkesan gesit. Setelah bertemu Nara wajah gadis itu tampak bimbang.Amara sedikit memaksa membawanya ke mobil ini. Aku masih terus mengawasi dari mobil. Restoran itu berdinding kaca jadi aku bisa leluasa memperhatikan dari luar.Sampai di dalam mobil wajah gadis itu tampak ketakutan.“Katakan,” ucap Nara sedikit membentak,“Saya… saya tidak tahu apa-apa Mbak.”ucapnya dengan suara gugup“Kamu tahu tidak karena perbuatanmu rumah tangga abangku dan istrinya jadi berantakan, ji
Baca selengkapnya

Sepeninggal ayah

Aku dan Bang Amar mengunjungi ayah yang sedang jatuh sakit, dokter bilang kankernya sudah stadium akhir, aku tidak tahu selama ini ayah sakit. Beberapa hari ini kami menginap di rumah ayah, ayah memintanya sebagai hadiah terakhir untuknya.Kami duduk bersama, menikmati sore yang sebentar lagi berganti malam. “Ayah siapa sebenarnya mr, black? Kenapa ia menyakitiku? Adakah hubunganya dengan ayah dan ibu?”Tanyaku penasaran, pasalnya aku tak lagi mampu menahan rasa penasaranku.Ayah diam sejenak, pandangan yang tadinya tertuju padaku kini beralih melihat kedepan. Entah sedang merangakai sebuah kalimat seperti apa.“Kami hanya saingan bisnis,” ucap ayah singkat. “Benarkah? Berarti dia tahu jika aku putri biologis Ayah, lalu kenapa Ayah takut jika dia tahu aku adalah anak Lilis Wati?”Tanyaku lagi.“Semua itu sudah masa lalu Bulan, mengetahui semuanya hanya membuat kamu sakit hati. Leb
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status