Home / Romansa / PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN: Chapter 11 - Chapter 20

126 Chapters

Bab 11

"Ibu bilang sama Akbar kalau lamaran ini diterima?" tanyaku pada ibu begitu selesai salat magrib."Loh, memangnya kenapa kalau ibu ngomong gitu ke Akbar?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada. "Pokoknya tidak usah banyak protes. Sabtu nanti mereka bakal datang ke sini buat nentuin tanggal pernikahan. Ayahmu aja sudah setuju, jadi nunggu apa lagi?""Ibu gak ngerti perasaan aku!" pungkasku menunjuk diri dengan tangan kanan."Memangnya Akbar kurang apa dari Gio? Setahu ibu, Akbar itu lebih berilmu, kemudian cakep. Cuman mungkin kalah tajir aja sama Gio yang ibunya–""Kupu-kupu malam kan yang mau Ibu bilang lagi?" Terpaksa aku membuang napas kasar di depan ibu karena emosi sudah mendarah daging. "Gini ya, Bu. Kita gak bisa menilai orang dari luar saja. Sifat asli orang itu ketahuan kalau dia dalam keadaan emosi, apakah tetap lemah lembut atau malah meluapkannya ""Dan Akbar orang yang ibu percaya. Dia anak yang lahir dari orangtua hebat, mendidik dengan sempurna sampai bisa seperti sek
Read more

Bab 12

Sabtu yang dinanti-nanti telah tiba. Entah mengapa sampai sekarang aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini padahal kemarin malam merenungkan ayah yang sudah berusaha membujuk ibu sampai beradu mulut.Selama beberapa hari ini pula aku selalu di bawah pengawasan Dian untuk tidak menemui Gio. Bukan hanya itu, setiap hari dia mengingatkanku untuk menerima Akbar sebagai suami karena di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan lelaki sepertinya.Walau aku menolak dengan dalih Gio juga orang baik, Dian menggelengkan kepala. Ibu memberi kepercayaan pada Dian sehingga dia tidak ingin ingkar ketika diminta berjanji untuk membujukku.Sebuah amanah yang sebenarnya sulit untuk Dian lakukan karena dia sendiri tahu bagaimana hati ini telah tenggelam dalam dunia Gio. Lelaki itu tidak pernah lagi memberi kabar padaku, hanya memasang story beberapa kali."Sudah siap, Bestie?" tanya Dian memecah lamunan.Aku menatap pantulan cermin. Di sana ada sosok pere
Read more

Bab 13

"Gio, kenapa sejak tadi kamu diam? Kamu marah karena sebenarnya aku yang maksa Dian buat ngajak kamu ketemuan? Hayolah, aku butuh kejelasan!" rengekku menahan tangis agar dia mengira kalau hati sedang baik-baik saja.Sebenarnya ini bagian dari syarat yang diajukan Dian sebelum mengantarku bertemu dengan Gio. Dia bilang kalau aku harus tegar di hadapannya dan jangan sampai menitikkan air mata atau pertemuan ini tidak akan terjadi.Mau tidak mau aku menurut saja karena rindu sudah meraja dalam hati. Namun, sepertinya berbeda dengan Gio. Dia sama sekali tidak senang melihat kedatanganku karena sejak tadi dia diam saja bahkan enggan membuka mulut."Gio, tolong. Hanya sekali ini saja!" bujuk Dian ketika aku menatap iba padanya."Kejelasan apa? Semua sudah jelas dan aku tahu dia akan menikah sama Akbar," ketus Gio."Ayu cuma mau nanya satu hal sama kamu, Gio. Jangan keras kepala begini karena aku tahu kamu juga sama merindukannya, tetapi mencoba lari dar
Read more

Bab 14

Saat pertama melihat Gio, perlahan benih-benih cinta tumbuh dalam hatiku. Setiap hari aku merasa, selama ada cinta pasti ada kebahagiaan. Namun, kadang-kadang pula cinta adalah air mata. Menjadi penyebab kesedihan dan penderitaan, yakni sedih karena tidak bisa memiliki dan menderita karena menahan gejolak rindu tanpa temu. Sejak saat itu aku faham bahwa cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua insan. Sekalipun cinta melebihi luasnya langit dan bumi, tanpa restu dari orangtua, tetap saja semua itu sia-sia. "Saya terima nikah dan kawinnya Ayu Syafitri binti Herianto dengan mas kawin tersebut, tunai." Akbar mengucapkan ijab qabul dengan suara lantang seolah dia sudah latihan beberapa hari. Akan tetapi, lebih lantang lagi sorakan saksi dan tamu undangan yang hadir mengatakan kalau kami sudah sah menjadi suami istri. Hati menangis pilu karena pada akhirnya takdir benar-benar tidak sejalan. Dian menepuk pundakku berulang kali, juga memaksakan senyum. Tentu saja sebagai sahabat yang t
Read more

Bab 15

Fajar menyingsing, aku tentu sudah siap untuk ke luar kamar hendak membantu ibu di dapur. Sesuai kesepakatan saat fitting baju pengantin, aku minta untuk menetap di rumah beberapa hari.Baru saja tangan ingin membuka daun pintu ketika Akbar menarikku menjauh dari sana. Kami berdiri di dekat jendela, matanya seperti ingin mencari tahu sesuatu.Aku berdehem karena salah tingkah. "A-ada apa?""Ada yang mau aku tanyakan dan tolong kamu jawab dengan jujur, Ay.""Apa?" Aku mengerjapkan mata seraya berusaha meminimalisir rasa gugup."Kamu ...." Sejenak Akbar menundukkan pandangan, lalu melanjutkan, "apa ada kemungkinan namaku hadir dalam hatimu?"Entahlah. Aku tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan sepele itu. Bagi pengantin baru lainnya, tentu akan menjawab dengan yakin bahwa suaminya akan menjadi pemilik hati. Namun, mungkin tidak denganku karena pernikahan ini tidak pernah kuharapkan terjadi.Dia memang baik, aku tahu itu. Hanya saja kita tidak bisa mengatur hati untuk mudah menggantika
Read more

Bab 16

Saat ini aku tengah merinduSekalipun tetap tak berujung temuDalam benakku bertanya, "kamu sedang apa?"Namun, tetap saja tanpa ada jawabnya Apakah kamu tidak pernah mencobaUntuk mengingatku barang sebentar?Senyummu yang begitu memesonaMengubah candu menjadi pilar Lucu memang, tetapi seperti inilah akuSendiri dalam sepi berselimut rinduMelangkah dalam gelapnya malam kelabuTenggelam dalam lautan cinta yang semu Kala kugaungkan yang terasaHati harus siap menelan dukaHanya saja aku teringat sabda cintaYang kerap mengelabui hati dan mata Saat kutak ada kabarKamu bertanya tak kenal sabarSaat kumenjauhKamu mendekat tak kenal jenuh Aku rindu... *** "Kenapa kamu murung, Ay. Ada masalah? Kalau ada cerita sama aku. Kita ini suami istri dan sudah seharusnya saling menyampaikan keluh kesah," tutur Akbar begitu aku selesai mengemas pakaian. "Gak apa-apa, By. Aku cuma penasaran kita akan tinggal di mana nanti." Lagi dan lagi aku berbohong pada suami bahkan sampai memaksa bibir m
Read more

Bab 17

"Ma-maksud aku batu giok, By." Aku menjawab asal seraya tersenyum manis.Mata Akbar memicing, setelah itu alis kanannya terangkat tipis. "Memangnya kenapa dengan batu giok?""Aku penasaran sama batu giok, By, soalnya gak pernah lihat. Oh iya, laper nih. Kamu gak laper? Mau aku masakin apa suapin gitu?" cecarku karena tentu saja merasa sangat bersalah.Lagi pula Akbar tidak boleh tahu tentang Gio atau dia akan mengadu pada ibu. Bukan hanya itu, rencana untuk mengunjungi sang kekasih bisa batal karena kami akan pindah rumah atau kemungkinan buruk lainnya.Yup, aku sudah mendapat ide harus melakukan apa saja selama di sini, toh tidak harus bekerja lagi karena diminta resign walau belum memberi kabar pada Kak Rina juga."Kamu bisa masak?"Baru saja ingin menjawab, aroma masakan sudah menguar dalam hidung. Aku menarik lengan Akbar, menuntunnya keluar kamar. Tepat di meja makan sudah terhidang masakan istimewa."Sejak kapan Mbok masak?" tanyaku langsung menyambar piring kosong."Tadi, Bu. N
Read more

Bab 18

"Ka-kamu bilang apa tadi, Ay?" tanya Akbar.Aku tersadar dari lamunan karena tidak menyangka Akbar akan mendengar gumaman tadi, kemudian salah paham. Aku tahu, dia pasti ingin memperjelas pendengarannya.Kasihan juga kalau aku jujur padanya perihal hati yang telah jatuh cinta pada lelaki lain jauh sebelum menikah dengannya. Sementara kalau bohong, semua orang tidak ingin hidup dalam sandiwara.Bahkan aku, lebih baik jujur asal itu benar daripada dicintai dalam kebohongan."Itu ...." Aku menelan saliva karena lidah terasa kelu."Kamu bilang ...?""Hubby, aku mencintaimu," lanjutku jujur.Akbar merekahkan senyum. Dia pasti semakin gede rasa, terbaca dari wajahnya yang merona malu. Sekarang dia memegang tanganku. "Terimakasih telah mau mencintaiku, Ay."***Sementara Akbar sedang mandi, aku segera menyiapkan pakaian kerjanya lengkap sampai dasi dan sepatu. Setelah itu menyusul si Mbok di dapur membantu menyiapkan sarapan pagi.Waktu bergulir begitu cepat ketika Akbar memanggilku ke kamar
Read more

Bab 19

Dua jam lebih menunggu, Dian sudah tiba. Hal yang aku khawatirkan adalah jangan sampai si Mbok ditugaskan pula memata-matai aku agar Akbar tahu kebenarannya.Namun, bukankah aku ingin segera cerai? Entahlah, bukan tidak mau berpisah, tetapi bercerai karena dituduh selingkuh itu adalah aib yang paling memalukan."Kita ke belakang rumah aja, ya. Kebetulan di belakang rumah aku liat ada taman. Gak enak ngobrol di sini, ada si Mbok."Dian mengerti, kami pun langsung menuju belakang. Tidak lupa pintu aku kunci agar suara tidak kedengaran sampai ke luar.Aku membuang napas kasar karena ternyata taman belakang tembus ke rumah Gio dan hanya ada dinding kecil yang membatasi. Tidak perlu susah-susah memanjat karena dengan satu kursi pun aku bisa melewatinya."Jangan bilang kamu punya rencana menemui Gio lewat pintu belakang!" sindir Dian tepat sekali menampar wajah.Aku hanya tersenyum miris."Lagian gak kasian apa sama Akbar yang sudah menerima perjodohan kalian? Bisa aja dia juga sudah dekat
Read more

Bab 20

Sejak sore hingga sekarang aku malas bicara dengan siapa pun bahkan pada ponsel sendiri yang seolah merengek minta digenggam. Pikiran sibuk melayang ke tetangga sebelah.Pintu kamar terketuk pelan, Akbar baru saja pulang dari masjid. Aku menghela napas panjang karena akan ditanya banyak hal lagi.Hanya Gio yang saat ini bisa mengembalikan mood dan menghilangkan amarahku. Selain dia, percuma saja. Bukan hanya orang lain, aku sendiri pun terkadang marah kalau rindu sedang memuncak."Ada apa, Ay? Sejak tadi kamu murung gitu," tegur Akbar lagi untuk ke sekian kalinya."Jangan banyak diam dan menyendiri dengan pikiran kosong atau jiwamu akan diusik makhluk halus."Aku hanya bergeming."Makan tidak mau, bicara apalagi. Sebenarnya kamu ini kenapa?""Cari tau aja sendiri!" balasku jutek.Akbar terkekeh pelan. "Ya gimana bisa ngebalikin mood kamu kalau gak tahu duduk masalahnya apa?" lalu mencolek daguku. "Katakan, kamu kenapa?"Sepertinya rencana ngambek akan berhasil membawa Mbok Marni ke lu
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status