Sejak sore hingga sekarang aku malas bicara dengan siapa pun bahkan pada ponsel sendiri yang seolah merengek minta digenggam. Pikiran sibuk melayang ke tetangga sebelah.Pintu kamar terketuk pelan, Akbar baru saja pulang dari masjid. Aku menghela napas panjang karena akan ditanya banyak hal lagi.Hanya Gio yang saat ini bisa mengembalikan mood dan menghilangkan amarahku. Selain dia, percuma saja. Bukan hanya orang lain, aku sendiri pun terkadang marah kalau rindu sedang memuncak."Ada apa, Ay? Sejak tadi kamu murung gitu," tegur Akbar lagi untuk ke sekian kalinya."Jangan banyak diam dan menyendiri dengan pikiran kosong atau jiwamu akan diusik makhluk halus."Aku hanya bergeming."Makan tidak mau, bicara apalagi. Sebenarnya kamu ini kenapa?""Cari tau aja sendiri!" balasku jutek.Akbar terkekeh pelan. "Ya gimana bisa ngebalikin mood kamu kalau gak tahu duduk masalahnya apa?" lalu mencolek daguku. "Katakan, kamu kenapa?"Sepertinya rencana ngambek akan berhasil membawa Mbok Marni ke lu
Aku terhuyung masuk ruang kerja Akbar karena terlalu fokus mencari informasi sehingga tidak menyadari kalau pintu akan terbuka. Untungnya dia dengan sigap menangkapku.Mata kami beradu pandang untuk beberapa saat, tetapi tidak menemukan bau-bau perselingkuhan. Ataukah dia yang sudah lihai menutupinya?"Telepon sama siapa, By?" tanyaku sengaja setelah memperbaiki posisi."Teman." Akbar memaksakan senyum. "Kamu nguping, ya?""Enggak. Siapa yang nguping! Tadi juga mau bicara sesuatu, tapi yaudah, kayaknya ada yang lebih asik!" tandasku meninggalkannya.Padahal beberapa hari lalu dia yang memintaku memanggil 'By' yang berarti Baby, sementara aku dipanggilnya 'Ay' yang berarti Ayang.Sekarang? Dia bahkan kaku dan aku tidak merasa tangan ini dicekal untuk memberi penjelasan. Pernikahan yang semakin tidak kuimpikan ini menambah sesak di dada saja.Kalau tahu Akbar punya kekasih, aku tidak akan menerima perjodohan ini atau mungkin memilih kabur dari rumah. Tidak peduli apa kata tetangga, dari
POV Gio___Setelah kepergian Ayu, aku merasa semakin bimbang. Pertahanan yang sudah dibangun kuat selama ini goyah dalam satu detik. Aku merasa cinta untuk Ayu semakin menggelora.Sejak dulu hingga kini, aku merasa tidak rela kalau sampai perempuan tadi terluka oleh lelaki lain yang juga mengaku mencintainya. Akbar. Aku akan membuat perhitungan dengannya.Namun, kali ini aku harus berangkat ke toko bunga. Tepat saat Ayu sah menjadi istri Akbar, aku berjanji akan bekerja di toko bunga Tante Dina. Dia adalah saudara ibu yang selalu membantuku sejak kecil."Ayu, kamu masih di sini?" tanyaku tidak percaya begitu melihat Ayu di depan gerbang."Gio?" Matanya merah, sementara kristal bening tidak pernah berhenti mengalir dari sana.Mata indah yang selalu aku rindukan kini basah oleh air mata, begitu pun senyum manis paling tulus milik Ayu sangat aku rindukan. Hati nuraniku berbisik kalau dia sudah menjadi istri orang lain dan haram bagiku untuk memilikinya.Jika bukan karena iman, sudah lam
"Dian, kamu jangan salah paham. Aku membuka blokir Ayu itu karena kasian sama dia. Emang kamu gak kasian apa kalau Ayu nanti sakit hati gara-gara Akbar ternyata punya kekasih? Kemudian aku panggil dia dengan sebutan 'Ay' itu karena kecoplosan aja. Gak usah prasangka buruk, sebagian prasangka itu dosa!" kilahku panjang lebar. Dian tertawa kecil di balik telepon. "Prasangka buruk?" "Iya, kamu sudah prasangka buruk sama aku, kan? Aku juga inget dosa, Dian. Gak mungkin aku menikahi Ayu yang jelas-jelas sudah sah jadi istri Akbar walau hanya status." "Gio, semua orang yang selingkuh, mendua, mengkhianati suami atau istrinya itu rata-rata ingat dosa bahkan lebih dari tahu kalau hal itu dosa. Jangan mentang kita udah salat lima waktu, maka gak mungkin bisa lakukan dosa lagi. Bisa dan sangat bisa, Gio!" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Rupanya Dian sama saja dengan Dani, tidak terlalu setuju kalau aku menunggu Ayu kembali. Mereka berkata demikian karena tidak sedang menempati posisi
"Tidak, Tante. Dia cuma beli bunga. Ayu juga cerita tentang pernikahannya yang bahagia serta sudah melupakan aku. Aku pun sama sudah melupakannya dan menganggap Ayu sebagai teman saja, tidak lebih."Mata Bu Nur memicing. Dia seperti tidak percaya pada apa yang aku jelaskan. Heran saja, kenapa ibu dan anak itu bisa sampai ke sini? Apakah kebetulan atau memang sengaja?Beberapa menit hening, akhirnya Bu Nur mengangguk. Dia mengikuti salah satu pelanggan tetap toko buka ini untuk memilih yang paling indah dan memikat di matanya."Aku mau yang ini, Gio!" Tunjuk Bu Devi pada salah satu bunga yang sangat indah."Pure White Classique de Rose hanya berkisar satu juta." Aku menjawab dengan senyum manis.Seperti biasa, Bu Devi akan menautkan ibu jari dan telunjuknya sebagai pertanda setuju. Aku dengan cekatan memasukkannya ke dalam kemasan khusus packing, kemudian menyerahkan dengan sangat hati-hati pada Bu Devi.Sebelum pergi, dia sempat berkata, "besok pagi sediakan lima bunga mawar Princess
PoV Ayu____Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku langsung keluar meminta si Mbok membuka pintu. Sejak tadi aku membantunya mengemas barang sekaligus bercerita banyak hal.Rupanya Mbok Marni sudah lama bekerja di rumah Akbar dan sekarang harus pisah gara-gara aku yang ingin hidup bebas di rumah ini.Akbar masuk dengan senyum semringah. Dia membawa buket mawar besar sekali serta paper bag menggantung di kedua tangan si Mbok."Buat kamu!" Akbar mengulurkan buket itu.Aku menerima dengan hati bahagia dan menganggap itu hadiah dari teman, mengingat Akbar pasti sudah membeli hadiah untuk kekasihnya yang ditelepon tadi malam.Buket ini besar sekali, bahkan sangat besar sampai aku tidak melihat wajah Akbar. Berbeda dengan setangkai mawar yang diberikan Gio pagi tadi.Walau begitu, setangkai mawar itu lah tanda cinta paling serius walau harganya tidak seberapa sementara buket ini ... kisaran satu juta lebih."Paper bag ini mau ditaruh di mana, Pak?""Yang biru buat Mbok, yang puti
Aku segera berlari menghampiri Gio setelah menyambar jilbab bergo. Napas sedikit tersengal, tetapi mau bagaimana lagi. Aku bahkan rela mendaki gunung detik ini juga asal bisa bertemu sang penawar rindu.Begitu pagar rumah terbuka, aku langsung merentangkan tangan menyambut dengan senyum semringah. "Selamat pagi, Gio!""Ayu?!" pekik Gio dengan suara tertahan. "Kamu ngapain di sini?""Nyapa kamu. Kenapa memangnya?"Gio melirik ke kanan dan kiri. "Ya gak apa-apa. Sebagai tetangga yang baik memang harus saling sapa. Tapi, apa suami kamu tahu kalau kamu mau mampir ke sini?""Enggak," balasku enteng.Lelaki di hadapanku menepuk jidat. Dia kemudian melangkah cepat pada kuda besi yang sedang dipanaskan. Aku mengekor dari belakang berharap Gio menyampaikan sesuatu yang bisa membuat hati meleleh.Namun, sepertinya tidak akan ada kalimat istimewa yang aku dapat pagi ini karena dia telah memasang helm di kepalanya. Gio melirikku sekilas, kemudian berkata, "jangan pernah melakukan hal ini lagi, Ay
"Kamu gak bisa? Kenapa?"Aku membuang napas kasar. Tidak mungkin jujur pada Akbar kalau sebenarnya aku tidak akan menjalani tugas sebagai istri karena hati ini hanya untuk Gio seorang.Mungkin kata orang aku akan dikutuk malaikat karena menolak ajakan suami. Entahlah, Dian memang sangat aku butuhkan untuk saat ini."Kenapa gak bisa, Ayu?" Kali ini Akbar bertanya penuh penekanan."Ya gak bisa, By."Akbar berdecih, aku tahu dia sangat kecewa perihal penolakan ini. Andai saja tidak ada kisah dengan Gio, aku akan dengan mudah menerimanya sebagai suami.Cintai tidak bisa dipaksa, hati pun tak bisa dikelabui."Gak bisanya karena apa? Apa kamu masih belum bisa nerima aku sebagai suamimu atau karena ada orang di masa lalu yang masih terus mengusikmu? Katakan, Ayu!".Aku menggigit bibir menahan tangis agar tidak tumpah tepat ketika Akbar menggoyang-goyangkan bahuku. Namun, semua sia-sia karena sekarang tangis telah meledak.Sepertinya aku memang harus bersandiwara juga malam ini agar bisa lolo
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj