"Tidak, Tante. Dia cuma beli bunga. Ayu juga cerita tentang pernikahannya yang bahagia serta sudah melupakan aku. Aku pun sama sudah melupakannya dan menganggap Ayu sebagai teman saja, tidak lebih."Mata Bu Nur memicing. Dia seperti tidak percaya pada apa yang aku jelaskan. Heran saja, kenapa ibu dan anak itu bisa sampai ke sini? Apakah kebetulan atau memang sengaja?Beberapa menit hening, akhirnya Bu Nur mengangguk. Dia mengikuti salah satu pelanggan tetap toko buka ini untuk memilih yang paling indah dan memikat di matanya."Aku mau yang ini, Gio!" Tunjuk Bu Devi pada salah satu bunga yang sangat indah."Pure White Classique de Rose hanya berkisar satu juta." Aku menjawab dengan senyum manis.Seperti biasa, Bu Devi akan menautkan ibu jari dan telunjuknya sebagai pertanda setuju. Aku dengan cekatan memasukkannya ke dalam kemasan khusus packing, kemudian menyerahkan dengan sangat hati-hati pada Bu Devi.Sebelum pergi, dia sempat berkata, "besok pagi sediakan lima bunga mawar Princess
PoV Ayu____Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku langsung keluar meminta si Mbok membuka pintu. Sejak tadi aku membantunya mengemas barang sekaligus bercerita banyak hal.Rupanya Mbok Marni sudah lama bekerja di rumah Akbar dan sekarang harus pisah gara-gara aku yang ingin hidup bebas di rumah ini.Akbar masuk dengan senyum semringah. Dia membawa buket mawar besar sekali serta paper bag menggantung di kedua tangan si Mbok."Buat kamu!" Akbar mengulurkan buket itu.Aku menerima dengan hati bahagia dan menganggap itu hadiah dari teman, mengingat Akbar pasti sudah membeli hadiah untuk kekasihnya yang ditelepon tadi malam.Buket ini besar sekali, bahkan sangat besar sampai aku tidak melihat wajah Akbar. Berbeda dengan setangkai mawar yang diberikan Gio pagi tadi.Walau begitu, setangkai mawar itu lah tanda cinta paling serius walau harganya tidak seberapa sementara buket ini ... kisaran satu juta lebih."Paper bag ini mau ditaruh di mana, Pak?""Yang biru buat Mbok, yang puti
Aku segera berlari menghampiri Gio setelah menyambar jilbab bergo. Napas sedikit tersengal, tetapi mau bagaimana lagi. Aku bahkan rela mendaki gunung detik ini juga asal bisa bertemu sang penawar rindu.Begitu pagar rumah terbuka, aku langsung merentangkan tangan menyambut dengan senyum semringah. "Selamat pagi, Gio!""Ayu?!" pekik Gio dengan suara tertahan. "Kamu ngapain di sini?""Nyapa kamu. Kenapa memangnya?"Gio melirik ke kanan dan kiri. "Ya gak apa-apa. Sebagai tetangga yang baik memang harus saling sapa. Tapi, apa suami kamu tahu kalau kamu mau mampir ke sini?""Enggak," balasku enteng.Lelaki di hadapanku menepuk jidat. Dia kemudian melangkah cepat pada kuda besi yang sedang dipanaskan. Aku mengekor dari belakang berharap Gio menyampaikan sesuatu yang bisa membuat hati meleleh.Namun, sepertinya tidak akan ada kalimat istimewa yang aku dapat pagi ini karena dia telah memasang helm di kepalanya. Gio melirikku sekilas, kemudian berkata, "jangan pernah melakukan hal ini lagi, Ay
"Kamu gak bisa? Kenapa?"Aku membuang napas kasar. Tidak mungkin jujur pada Akbar kalau sebenarnya aku tidak akan menjalani tugas sebagai istri karena hati ini hanya untuk Gio seorang.Mungkin kata orang aku akan dikutuk malaikat karena menolak ajakan suami. Entahlah, Dian memang sangat aku butuhkan untuk saat ini."Kenapa gak bisa, Ayu?" Kali ini Akbar bertanya penuh penekanan."Ya gak bisa, By."Akbar berdecih, aku tahu dia sangat kecewa perihal penolakan ini. Andai saja tidak ada kisah dengan Gio, aku akan dengan mudah menerimanya sebagai suami.Cintai tidak bisa dipaksa, hati pun tak bisa dikelabui."Gak bisanya karena apa? Apa kamu masih belum bisa nerima aku sebagai suamimu atau karena ada orang di masa lalu yang masih terus mengusikmu? Katakan, Ayu!".Aku menggigit bibir menahan tangis agar tidak tumpah tepat ketika Akbar menggoyang-goyangkan bahuku. Namun, semua sia-sia karena sekarang tangis telah meledak.Sepertinya aku memang harus bersandiwara juga malam ini agar bisa lolo
Setelah memasak nasi goreng kesukaan Gio, aku lekas menaruhnya ke dalam rantang serta lauk ayam dan juga sosis. Keperluan dapur sudah lengkap karena Akbar katanya bisa makan yang so food jadi tinggal goreng saja.Sebenarnya tadi niat masak dulu baru mandi, tetapi karena merasa gerah, jadi mandi dulu baru memasak. Untung rumah ini dilengkapi AC jadi tidak akan berkeringat. Masalah rumah mah tinggal disapu juga bersih, tidak harus mengepel.Aku membuang napas kasar, saat melirik ke jam dinding, rupanya sudah menunjuk angka sepuluh. Berarti sebentar lagi perut Gio akan keroncongan, kemudian setelah melihat apa yang aku bawa, dia tidak akan menolak."Assalamualaikum!""Itu pasti Dian!" gumamku berlari kecil ke depan. Ketika daun pintu sudah terbuka, aku melihat sosok perempuan yang selalu memakai jilbab ke mana pun. "Wa'alaikumussalam. Masuk gih!""Abis ngapain?"Yup, itu merupakan pertanyaan basa-basi karena aku bukan sedang memakai daster seperti istri pada umumnya melainkan pakaian unt
"Allahumma inni as'aluka bihaibati wabisathwati jalaalika an taj'ala mahabbaty Gio Syaputra bin Setiawan wa an tulqil mawaddata wal mahabbata fi qalbihi wa 'athfihi 'alayya bifadhlika yaa kariim."Tangan masih menengadah ke langit, aku menghela napas panjang, lalu melanjutkan rapalan doa."Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, berkah wibawa keagungan-Mu dan amukan keluhuran-Mu, agar engkau jadikan kecintaan di dalam hati Gio Syaputra bin Setiawan. Dan resapkanlah kecintaan dan kasih sayang terhadapku di dalam hatinya. Dan cenderungkan ia padaku lewat anugrah-Mu. Wahai dzat Yang Maha Mulia."Setelah mengusap wajah, aku langsung melipat mukenah. Baru kali ini aku telat melaksanakan salat asar gara-gara tidur kelamaan. Habis bagaimana lagi, mimpi tadi siang terlalu indah.Sebuah mimpi di mana aku dan Gio berdiri di atas pelaminan yang sangat indah. Kursinya terbuat dari emas sementara para tetamu nampak bahagia dengan hidangan yang kami suguhkan.Rasanya bait-bait doa tidak lengk
"Dengan Dian. Besok aku mau berkunjung ke rumahnya. Apa boleh?"Akbar sedikit berpikir, tetapi aku tetap menunggu keputusannya. Walau tidak diizinkan, kaki harus melangkah pergi entah ke mana. Aku merasa hidup tidak berguna lagi begitu takdir memisahkan sepasang kekasih yang berangan hidup bersama.Rasa sedih begitu membelenggu jiwa padahal jujur dalam salat aku selalu berdoa kepada Allah agar hati ini lapang serta sabar menerima kehadiran Akbar. Aku juga meminta agar bisa melupakan Gio, tetapi sepertinya semua butuh waktu.Aku tidak boleh menagih Tuhan untuk menyegerakan keinginanku karena Dia tidak pernah salah dalam menentukan takdir. Akan tetapi, apakah salah kalau Gio tidak pernah luput dari ingatan?"Bisa. Cuman jangan lama-lama di rumah orang. Gak enak, siapa tahu dia juga ada keperluan di luar sana," jawab Akbar akhirnya."Iya.""Kok mukanya sedih begitu? Apa ada masalah? Kalau memang ada, cerita dong!"Aku hanya melirik Akbar sekilas yang sedang memakai kaos rumahan. Hati res
Rindu, Cinta dan LukaBy: Ayu SyafitriRinduDia hadirMengalahkan derasnya hujanNamun, tidak berhasil mengusikmuApakah hatimu telah beku?Matamu telah buta?Ada apa?Terluka?Bukan!Aku tahu!Kamu mengedepankan egoAgar dapat membunuh perasaanmuAku bukan terobsesi padamuMelainkan sedang berusahaMenyulam rinduUntukmuAkuMasih mencintaimuWalau raga iniTak lagi nampak olehmu~~~"Kamu gak mau ambil fotomu? Soalnya aku mau hapus di sini.""Bukan hanya di galeri, aku juga akan menghapus namamu di hati dan doaku.""Tentu, aku tetap akan mendoakan kebahagiaanmu dengan Akbar."Kalimat Gio terngiang-ngiang dalam pikiran padahal bukan inginku untuk bertemu dengannya pagi tadi setelah kepergian Akbar. Mungkin karena melihat aku tadi malam, dia semakin sadar kalau perempuan yang dicintainya memang pantas untuk lelaki lain.Gio salah, aku pantas dan ditakdirkan untuknya bukan dengan lelaki lain. Hanya saja semua butuh waktu dan proses, aku percaya itu.Aku merasa tulang-tulangku lemah se
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj