PoV Akbar___"Pasti Ayu nungguin, nih. Mana ponselnya gak aktif lagi!" gumamku sambil menambah kecepatan mobil karena tidak sabar mau sampai ke rumah.Sejak sore tadi akun Whats*pp-nya tidak aktif, ditelepon juga tidak tersambung. Itulah mengapa sejak awal aku ingin Mbok Marni kerja di rumah karena kalau ada apa-apa dia bisa mengabari.Sekarang kami sudah rasakan akibatnya. Ayu sama sekali tidak ada kabar, aku khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di rumah. Aku juga memaksa diri untuk lembur gara-gara sibuk dengan prasangka baik.Mungkin sebaiknya aku juga meminta nomor Dian nanti biar kalau Ayu menghilang di sosial media lagi, aku bisa bertanya padanya. Ah, semoga saja prasangkaku kalau dia memang sibuk belanja atau menonton.Berulang kali aku klakson, tetapi pintu gerbang tidak juga dibuka. Mau tidak mau aku harus turun, setelah itu berlari masuk rumah meninggalkan mobil di luar begitu melihat lampu tidak ada yang menyala."Apa jangan-jangan Ayu pingsan?" tanyaku khawatir
PoV Ayu____"Iya, maaf karena tadi aku sengaja mengikuti Akbar dari belakang khawatir dia kenapa-kenapa. Apalagi kan ini sudah malam, dia juga lelah habis kerja terus nyari kamu." Gio menatapku lekat.Kini aku mengerti kalau alasan mengikuti adalah karena rasa khawatirnya yang tinggi. Sekarang hatiku sudah membaik. Senyum pun sudah terbit di bibir."Sekarang kamu pulang dan ingat, jangan ngelakuin ini lagi. Kasian kalau Akbar nyari kamu sampai pagi dan besoknya berangkat kerja lagi. Akbar sayang sama kamu, Ay ... yu."Mungkin Akbar merasa cemburu sehingga tangan kanannya merangkul pundakku. Melihat perubahan wajah Gio, aku langsung menepis tangannya dan melangkah cepat ke mobil Akbar.Mereka berdua mengobrol, entah apa yang dibicarakan. Namun, dari tatapan Akbar, sepertinya ini hal serius. Aku jadi tidak enak pada Gio."Ayo, kita pulang!" ajak Akbar begitu masuk mobil padahal sejak tadi aku menunggunya."Kenapa pergi?" tanyany
Aku menundukkan wajah begitu bertemu mata dengan Akbar. Sejak tadi subuh aku menangisi diri yang sudah tidak perawan lagi dan semoga Gio mengerti kalau ini bukan kehendakku.Jangan sampai karena hal ini membuatnya enggan bersamaku kembali. Maka dari itu aku berinisiatif untuk menyembunyikannya sampai waktu itu tiba."Kenapa murung sampe nangis gitu?""Ya kan tadi malam kamu gak bisa nahan diri. Dibilang jangan macam-macam!" gerutuku kesal.Akbar terkekeh pelan. "Maaf, ya, Sayang." Tangan kanannya memegang pucuk kepalaku yang masih basah karena harus mandi sebelum subuh. "Lain kali aku gak bakal mendadak gitu. Abis tadi malam kamu cantik banget.""Tetap saja. Ini kamu udah ambil.""Loh, kamu kan istri aku, sementara aku ini suami kamu. Wajar kan ada ibadah seperti itu bahkan pahalanya gede. Kamu kenapa sih gak mau aku sentuh sampe nangis kek gitu? Ada masalah?"Aku membuang wajah karena benar-benar ngambek. Akbar malah terkekeh pelan t
Sabtu pagi, Akbar disibukkan dengan mengurus rumah serta memasak karena aku sudah dua hari ini mengurung diri dalam kamar. Gio belum tahu perkara malam itu, tetapi sikapnya begitu dingin.Aku sudah mencoba mengirim pesan via Whats*pp dan Facebo0k, tidak ada satu pun yang dibaca apalagi dibalas. Padahal dia sering online dan pasang status. Dari caption-nya menggambarkan kebahagiaan."Ayu, aku mau nanya sama kamu. Boleh?" Akbar melangkah masuk kamar, kemudian duduk di tepi ranjang menghadapku."Boleh. Nanya apa?""Kenapa menangis terus, aku perhatiin dua hari ini kamu kayak sedih gitu. Menyesal menikah sama aku?"Pertanyaan Akbar sedikit menohok hati. Pada matanya yang teduh terpancar luka paling dalam. Aku berusaha menelan kesedihan untuk menutupi kebohongan."Bukan gitu. Aku cuma gak nyangka aja bakal nikah secepat ini sama orang yang baru aku kenal. Bukan cuma itu, aku juga rindu sama ibu, ayah dan juga Mbak Rina." Terpaksa berbohong.Memang tidak sepenuhnya bohong karena memang rind
"Gio ...." Aku menatap mata Akbar lekat. "Tidak apa-apa.""Bilang sama aku, Ay. Tenang aja, aku janji gak bakal marah kalo memang ada rahasia."Aku memaksa diri bangun dan bersandar pada kepala ranjang. Sepertinya memang sudah saatnya Akbar tahu. Aku juga sudah tidak tahan untuk menjalani kehidupan pernikahan konyol ini.Kami duduk saling berhadapan, Akbar memegang tanganku erat. Aku merasa dia sudah sangat siap menerima kenyataan sesakit apa pun hatinya nanti."Gio sebenarnya masa laluku dan perempuan yang meninggalkannya karena menikah dengan lelaki pilihan ibu adalah aku."Untuk sejenak Akbar tertegun, matanya berembun sementara napasnya berembus berat. Namun, tidak lama karena sekarang bibirnya sudah mengukir senyum.Walau aku tahu kalau senyumnya palsu sekaligus menyimpan luka sangat dalam."Lalu? Apa sekarang masih mencintainya?" Senyum Akbar masih sama, tidak pudar sedikitpun."Tidak.""Ceritakan semuanya, Ay. Aku siap mendengarkan!""Maaf kalau aku harus jujur sama kamu, By. I
"Janji? Satu hal? Apa?"Akbar mengulum senyum. "Sebelum kita masuk rumah, ada janji yang harus kita sepakati. Ini demi kebaikan bersama karena hidup dalam satu rumah artinya harus saling mencintai, care dan sebagainya.""Jadi aku janji apa?" tanyaku yang mungkin dengan tampang blo'on."Kamu harus janji sama aku untuk belajar melupakan Gio. Maksudku melupakan masa lalu kalian, berhenti mencintainya dan hanya mencintaiku sebagai suami kamu."Untuk sesaat aku tertegun mendengar permintaan Akbar. Bagi orang lain, itu terdengar sepele, tidak denganku yang masih disekap masa lalu.Pikiran menerawang jauh untuk sesaat, kemudian aku mengikutinya dengan menatap langit yang perlahan berubah mendung. Apakah semesta tidak suka dengan sikapku yang durhaka pada suami?Akbar memegang kedua tanganku seakan menaruh sebuah harapan."Baiklah, aku janji akan berubah demi kamu, By. Mulai saat ini aku anggap Gio cuma temen dan tetangga sebelah rumah. Aku akan berusaha melupakan masa lalu dan menerima kehen
Dian belum menyebutkan nama perempuan itu, tetapi panggilan langsung terputus. Aku mendengkus kesal dengan prasangka mereka semua bekerja sama untuk menutupinya.Daripada bingung begini, mungkin sebaiknya aku menelepon Akbar memintanya pulang. Aku paling tidak suka dikerjai seperti ini apalagi dia ada orang lain yang tidak aku kenal.Kalau Akbar jatuh cinta sama perempuan itu, aku berakhir dimadu? Sudah menikah paksa, masa iya diduakan juga? No!Aku mencari-cari nomor Akbar dan melakukan panggilan suara. Lama baru tersambung. "Akbar, tolong!" teriakku."Kamu kenapa, Ay?""Ini aku mau disekap. Cepet datang ke sini!""Iya-iya, aku ke sana sekarang!" Akbar semakin panik.Biar lebih meyakinkan lagi, aku berteriak, kemudian memutus sambungan telepon. Akbar pasti merasa bersalah sudah meninggalkanku. Sekarang waktunya acting!***Aku duduk di ruang tamu dengan posisi santai sambil menikmati cemilan dan teh hangat. Tentu ponsel tidak mau ketinggalan. Aku menonton video pendek yang kebetulan
Begitu Akbar menghilang dari pandangan, aku langsung menyelinap masuk ke pekarangan rumah Gio. Untung saja gerbangnya sedikit terbuka sehingga memudahkanku untuk menemuinya.Dalam waktu yang sama, Gio keluar rumah sambil memakai helm. Aku mengukir senyum manis lantas melambaikan tangan padanya dengan anggun."Ayu? Ngapain di sini?""Gio, kamu harusnya gak nanya gitu ke aku. Kamu ke mana selama ini? WA gak bales, adanya dibaca doang padahal rajin online. Ngapa, sih?" Aku berkacak pinggang.Lelaki bertubuh jangkung itu membuang napas kasar. Matanya melirik ke kanan dan kiri tidak menentu arah. Aku tersenyum kecut melihatnya sulit memberi jawaban."Sore nanti aku harus pergi dari sini, baliknya entah kapan," lanjutku hingga kami beradu pandang.Aku tidak melihat gurat kesedihan di wajahnya, lelaki itu bahkan tidak memberi respon apa-apa. Mungkinkah dia bahagia kalau aku sudah tidak menjadi tetangganya lagi?Gio merogoh kantong celana, dia mengeluarkan benda pipih berwarna hitam. Segera a
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj