"Janji? Satu hal? Apa?"Akbar mengulum senyum. "Sebelum kita masuk rumah, ada janji yang harus kita sepakati. Ini demi kebaikan bersama karena hidup dalam satu rumah artinya harus saling mencintai, care dan sebagainya.""Jadi aku janji apa?" tanyaku yang mungkin dengan tampang blo'on."Kamu harus janji sama aku untuk belajar melupakan Gio. Maksudku melupakan masa lalu kalian, berhenti mencintainya dan hanya mencintaiku sebagai suami kamu."Untuk sesaat aku tertegun mendengar permintaan Akbar. Bagi orang lain, itu terdengar sepele, tidak denganku yang masih disekap masa lalu.Pikiran menerawang jauh untuk sesaat, kemudian aku mengikutinya dengan menatap langit yang perlahan berubah mendung. Apakah semesta tidak suka dengan sikapku yang durhaka pada suami?Akbar memegang kedua tanganku seakan menaruh sebuah harapan."Baiklah, aku janji akan berubah demi kamu, By. Mulai saat ini aku anggap Gio cuma temen dan tetangga sebelah rumah. Aku akan berusaha melupakan masa lalu dan menerima kehen
Dian belum menyebutkan nama perempuan itu, tetapi panggilan langsung terputus. Aku mendengkus kesal dengan prasangka mereka semua bekerja sama untuk menutupinya.Daripada bingung begini, mungkin sebaiknya aku menelepon Akbar memintanya pulang. Aku paling tidak suka dikerjai seperti ini apalagi dia ada orang lain yang tidak aku kenal.Kalau Akbar jatuh cinta sama perempuan itu, aku berakhir dimadu? Sudah menikah paksa, masa iya diduakan juga? No!Aku mencari-cari nomor Akbar dan melakukan panggilan suara. Lama baru tersambung. "Akbar, tolong!" teriakku."Kamu kenapa, Ay?""Ini aku mau disekap. Cepet datang ke sini!""Iya-iya, aku ke sana sekarang!" Akbar semakin panik.Biar lebih meyakinkan lagi, aku berteriak, kemudian memutus sambungan telepon. Akbar pasti merasa bersalah sudah meninggalkanku. Sekarang waktunya acting!***Aku duduk di ruang tamu dengan posisi santai sambil menikmati cemilan dan teh hangat. Tentu ponsel tidak mau ketinggalan. Aku menonton video pendek yang kebetulan
Begitu Akbar menghilang dari pandangan, aku langsung menyelinap masuk ke pekarangan rumah Gio. Untung saja gerbangnya sedikit terbuka sehingga memudahkanku untuk menemuinya.Dalam waktu yang sama, Gio keluar rumah sambil memakai helm. Aku mengukir senyum manis lantas melambaikan tangan padanya dengan anggun."Ayu? Ngapain di sini?""Gio, kamu harusnya gak nanya gitu ke aku. Kamu ke mana selama ini? WA gak bales, adanya dibaca doang padahal rajin online. Ngapa, sih?" Aku berkacak pinggang.Lelaki bertubuh jangkung itu membuang napas kasar. Matanya melirik ke kanan dan kiri tidak menentu arah. Aku tersenyum kecut melihatnya sulit memberi jawaban."Sore nanti aku harus pergi dari sini, baliknya entah kapan," lanjutku hingga kami beradu pandang.Aku tidak melihat gurat kesedihan di wajahnya, lelaki itu bahkan tidak memberi respon apa-apa. Mungkinkah dia bahagia kalau aku sudah tidak menjadi tetangganya lagi?Gio merogoh kantong celana, dia mengeluarkan benda pipih berwarna hitam. Segera a
Sesampainya di rumah mertua, aku langsung menghela napas panjang. Ini kali pertama kami ke sini setelah menikah. Aku takut mereka baik di awal saja.Di luar sana banyak sekali mertua yang sangat benci pada menantu. Terutama sang ibu, biasanya mereka akan cemburu kalau anak lelakinya terkesan mementingkan sang istri padahal itu semua kan sudah menjadi kewajiban.Memang surga suami masih ada pada ibunya, tetapi memenuhi kebutuhan istri adalah kewajiban. Adil bukan dibagi sama rata, ada aturannya dan semoga Akbar mengerti."Ay, kok bengong?""Eh, iya. Udah sampe, ya?""Ngelamun?"Aku hanya tersenyum tipis, kemudian keluar dari mobil mengekori Akbar yang sudah menenteng tas kami. Tas besar itu penuh seperti akan menginap satu minggu saja.Pintu terbuka lebar, ibu dan ayah mertua menyambut kami dengan baik. Aku senang karena tidak dipandang sinis oleh mereka seperti menantu di channel Indosi4r."Mending mandi dulu, kalian pasti capek, kan? Bentar lagi juga isya!" pinta ibu mertua.Sekali l
Aku tidak tahu sekarang sudah pukul berapa karena mata masih terpejam. Namun, sekarang aku merasakan Akbar ikut naik ke tempat tidur. Tidak lama setelah itu terdengar suara saklar lampu.Entahlah. Aku tidak peduli sekarang Akbar mau apa."Ayu, aku tahu kamu belum tidur. Kamu pasti kepikiran Naima, kan? Sama, aku juga.""Kepikiran Naima? Aku? Sejak kapan?" cecarku kemudian memunggunginya tanpa membuka mata."Maksudku, memikirkan keputusan ayah tentang Naima. Kamu jangan salah paham." Tangan kekarnya kini menyentuh pucuk kepalaku. "Kamu sendiri tahu perasaanku ke kamu, hati ini untuk siapa juga kamu tahu.""Aku gak tahu.""Aku mencintaimu, Ay. Masa iya kamu gak ngerasain?"Biarlah Akbar bicara sendiri, aku tidak mau menjawab. Memang dari sikap sudah terbukti kalau dia ada rasa, tetapi aku berusaha menolak kebenaran.Lagian kalau memang ayah setuju Naima menjadi istri Akbar, kenapa harus menjodohkannya denganku? Pernikahan kami belum genap sebulan, apa kata orang nanti?Seandainya malam
"Membawa Ayu kembali?" Nada bicara ibu terdengar tidak bersahabat. "Kemudian membiarkannya tinggal dengan Naima?""Ibu, aku mencintai Ayu dan gak bakal nikah sama Naima. Walau kata ibu di rumah kalau seorang anak lelaki harus nurut dengan perkataan orangtua, tetap saja aku memikirkan perasaan Ayu sebagai istri yang baru beberapa hari aku nikahi."Tiba-tiba saja Akbar berlutut di depanku dan ibu, kepalanya menunduk dalam dengan sedikit isakan. Aku yang mengharapkan perpisahan jadi merasa malu dan iba padanya."Berdiri, By. Jangan seperti itu!" kataku mendekat dan menuntunnya berdiri.Aku tersentak begitu Akbar membawaku dalam pelukannya bahkan di depan ibu. Jantung berdegup kencang, aku tidak kuasa untuk menolak padahal sebenarnya malu.Setelah Akbar mengurai pelukan, dia menatap mataku dalam. "Apa kamu gak bisa melihat cinta di mataku, Ay?""Cinta?""Iya, cinta. Kamu bisa melihatnya, kan?"Kutatap mata Akbar lekat. Di sana terpancar binar cinta. Entah kenapa aku merasa senang sampai b
"Suka dengan cinta adalah dua hal yang berbeda. Aku tidak mau berprasangka, kemudian berharap padahal bukan itu maksudnya."Aku menghela napas panjang. Sebenarnya ada sesuatu di dasar hati yang membuatku semakin bingung untuk menjawab. Aku tidak bisa mengatakan ini salah karena Akbar sudah ditakdirkan menjadi suamiku."Tentu saja aku menyukaimu. Memang prasangka apa?""Jangan menjawab ambigu seperti itu, Ay. Aku cuma mau kepastian. Kamu tahu sendiri kan bedanya suka dengan cinta? Jujur!" desak Akbar. Aku melihat ada ketidaksabaran untuk menanti lebih lama di matanya.Tentang suka dan cinta memang dua hal yang berbeda sekalipun sebagian orang menganggapnya sama. Suka, semua orang bisa menyukai, tetapi belum tentu mencintai. Sementara cinta, setiap mereka yang mencintai, tentu menyukai.Bukan hanya menyukai orangnya, tetapi segala hal yang ada padanya termasuk keburukan orang tersebut akan nampak seperti sebuah keindahan atau kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.Seindah itu cinta.
Siang tadi Akbar keluar rumah karena ditelepon oleh ayah mertua. Aku sempat khawatir dia dipaksa menikah detik ini juga dengan Naima, tetapi dia berusaha meyakinkanku kalau hal itu tidak akan terjadi.Lihatlah sekarang, jam sudah menunjuk angka lima sore, tetapi dia belum juga kembali. Aku akhirnya melangkah panjang ke luar rumah menunggu dengan perasaan gamang."Itu Gio, kan?" gumamku ketika melihat seorang lelaki yang sedang berdiri di depan rumah.Entah kenapa aku malah meneruskan langkah, membuka pagar dan menatapnya penuh tanda tanya. Dia bersama perempuan yang sangat aku kenal dan tidak sukai."Gio, kamu ngapain di sini?"Gio memutar tubuh, menatapku sedikit terkejut, sementara perempuan di sampingnya tersenyum miring seperti sedang mengejek. Mona lah perempuan itu dan memang dia selalu menganggap remeh orang lain.Aku tidak habis pikir kenapa dia bisa menjadi sepupu Gio padahal mereka tidak ada kemiripan sama sekali. Mona juga tidak memakai jilbab dan suka memamerkan kecantikan
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj