Dia melengos pergi. Padahal kerjanya mulai jam sepuluh pagi, tetapi pukul delapan sudah berangkat. Menyisakkan Bian yang kini mulai merengek karena lapar. Kuusap pucuk kepala anak lelaki berusia lima belas bulan itu. Dia menatap penuh minat pada makanan mpasi milik Mesya.“Mamam … mamam …,” ucapnya polos.“Iya, Mas Bian nanti Tante buatin mamam, ya! Diam di sini dulu, ya!” ucapku sambil memberinya mainan. Kugendong Mesya ke dapur dan mencari makanan untuk Bian. Ada satu rak berisi makanan bayi dan susu formula yang Mbak Winda khususkan hanya untuk Bian.“Mia, itu kok di ruang tengah berantakan banget pakaian? Punya siapa?” Tanpa kukira, ibu mertuaku muncul dari dalam.“Eh, Ibu sudah pulang?” tanyaku sambil tersenyum. Sementara itu, tanganku mengaduk makanan untuk Bian.“Iya, sudah! Ini Ibu beli sayur juga sekalian! Kamu lagi buatin makanan Mesya?” tanyanya sambil meletakkan kantung belanja pada meja di dapur.“Ini buat Bian, Bu! Biasa Mbak Winda sudah pergi, gak kasih makan dulu, pada
Read more