[Trx.Rek 110113322123543
20211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]“Alhamdulilah, Mas!” pekikku pelan.Kutatap deretan angka itu dengan mata lebar-lebar. Seumur hidup baru merasakan punya penghasilan sendiri, rasanya luar biasa banget.“Kenapa?”Mas Hafid yang sudah bersandar pada dipan di samping Mesya melihat heran ke arahku. Aku berjalan mendekat dan menunjukkan sms banking yang ada di tanganku.“Mas, ini lihat uang komisiku sudah masuk! Besok kita bisa ke dokter, Mas! Kita periksa luka kamu dan beli obat yang bagus! Mesya juga,” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba menghangat.Disaat kami sedang kesulitan. Rasanya bahagia banget melihat sejumlah uang yang kini sedang kubutuhkan.“Mas sudah baikan, gak usah ke dokter lagi! Uangnya simpan saja pakai buat kebutuhan kita! Takut-takut Mas lagi gak dapet pemasukan di parkiran!” ucapnya.“Empat jutanya mau aku belikan cincin saja kalau gitu, Mas! Bisa dapet dua, jadi itung-itung nyimpen … nanti kalau dapat komisi lagi kita pindah rumah, ya, Mas! Kita ngontrak saja!” rengekku.Dia mangangguk. Malam ini akhirnya berakhir dengan indah. Senyum tak henti mengembang seiring dengan syukur yang kuucap dalam-dalam.***Nasi goreng yang merupakan menu andalan untuk sarapan pagi sudah tersaji. Seperti kesepakatan kemarin, aku hanya memasak untukku, Mas Hafid dan Ibu. Masih teringat bagaimana dia melarang Mas Hafid makan pizzanya, karena itu sama sekali nasi goreng hari ini gak ada kulebihkan sedikitpun.Maaf, Mas! Hatiku masih julid. Belum bisa mengikuti seperti yang kamu ajarkan. Aku belum bisa menjadi lembut, shaliha dan tidak melawan sama Mbakmu itu. Dia selalu keterlaluan padaku.“Mia! Hasan nangis pengen nasi goreng! Kamu di mana simpan sisanya?” teriak Mbak Winda dari dapur.Beruntung aku dan Mas Hafid sudah selesai sarapan. Begitu pun dengan Ibu Mertuaku. Wanita sepuh itu baru saja meneguk teh manis hangat yang kubuatkan. Meskipun dia tidak berpihak padaku, tapi setidaknya wanita tua itu tidak memihak Mbak Winda dan menjadi mertua jahat seperti dalam cerita. Dia selalu berada di tengah-tengah dan tetap menjadi nenek yang baik untuk cucu-cucunya.Aku tak menyahut. Lanjut aku menyuapi Mpasi untuk Mesya. Kondisinya sudah sedikit membaik, tetapi tetap saja aku harus memberinya obat.“Mia! Kamu tuli!” bentak Mbak Winda yang baru saja muncul di ruang tengah.“Apa sih, Mbak?” tanyaku santai. Kumelirik sekilas ke arahnya yang tampak kesal.“Itu Hasan pengen nasi goreng, kamu simpan sisanya di mana?” tanyanya dengan nada kesal. Sementara itu terdengar rengekan Hasan yang baru saja muncul dari dapur.“Lah, aku kira Mbak mau beli pizza atau Mcd lagi buat mereka! Jadi dari pada nanti kebuang nasinya ‘kan sayang … aku cuma buat dikit saja! Lagian ‘kan Mbak Winda juga sudah setuju kalau aku gak akan masakin buat keluarga Mbak Winda lagi! Ya, tinggal masak lagi saja sih, Mbak!” ujarku santai. Kulirik sekilas hanya untuk memastikan jika wajahnya memang kesal.Mia dilawan! Batinku sambil tersenyum miring dalam diam.“Kamu itu, ya! Kamu tuh mikir, Mbak itu kerja, mana sempat buatkan mereka nasi goreng! Harusnya kamu punya empati sedikit! Dasar adik ipar perhitungan!” gerutunya.“Sudah! Sudah! Pagi-pagi sudah bikin ribut saja! Kamu masak lagi saja, Winda!” ucap Ibu Mertuaku sambil berdiri.“Ibu itu masih saja belain si Mia! Mantu gak ada guna juga masih saja dipelihara! Sama kayak kamu tuh, Hafid hafidun, buta gak tahu mana wanita cantik dan berkelas dan gak tahu mana sampah!” ujarnya.Masih saja diungkit. Mbak Winda memang ingin mengenalkan Mas Hafid pada teman kerjanya waktu itu. Katanya orangnya baik dan cantik, tetapi Mas Hafid menolak dan malah menikahiku.Mbak Winda tampak masuk ke dalam kamar dan keluar lagi sambil menenteng kunci motor miliknya. Lalu berteriak pada Hasan yang masih terdengar merengek.“Udah diem! Ayo ikut mama, kita beli saja di luar! Nasi gorengnya lebih enak dari pada yang di rumah!” ujarnya pada Hasan.Anak lelaki itu segera mengikuti langkah Mbak Winda. Aku menatapnya sambil mengelus dada.“Maafin Tante ya, Hasan! Tante buat gini hanya untuk ngasih pelajaran ke mama kamu!” batinku.Drama awal pagi selesai. Rasanya semakin lelah dan bosan saja ketika setiap pagi selalu saja diawali dengan keributan. Ada saja hal dari yang Mbak Winda sampaikan yang seringkali membuatku kesal. Aku segera merapikan bekas sarapan. Mencuci piring dan bergegas menyiangi sayuran. Hari ini Mas Hafid aku minta libur dulu jaga parkiran. Selain karena kondisi wajahnya yang masih bengkak, aku juga mau minta di antar ke ATM. Benda itu sudah kupegang sejak lama. Ya, Mas Hafid tidak membiasakan diri ATM itu dipegang olehnya. Dia berikan padaku bersama pinnya.Jam delapan pagi, aku berangkat ke ATM. Lalu Mas Hafid mengantarku ke pasar untuk membeli cincin. Setelah itu, kami membeli beberapa helai pakaian juga. Aku membeli beberapa untukku, untuk Mas Hafid, Mesya dan Ibu.Aku juga membeli kebutuhan dapur untuk beberapa hari ke depan. Sengaja aku membeli agak banyak stock sayuran karena di sini harganya lebih murah. Nanti bisa disimpan saja dalam lemari es.Kami sudah tiba kembali pukul setengah sepuluh. Aku masuk dan menurunkan barang belanjaan. Hasan dan Bian sedang berkejar-kejaran di ruang tengah. Sementara itu, Ibu Mertuaku tengah menjaga Mesya.“Wah kamu belanja banyak, Mia?” tanyanya sambil menatap heran.“Iya, Bu! Alhamdulilah ada rejeki! Oh iya, ini daster buat Ibu!” Aku mengeluarkan dua potong daster dari plastik. Lalu menyodorkannya pada wanita itu.“Wah alhamdulilah Ibu kebagian,” ucapnya sambil tersenyum merekah.“Aku mau simpan sayuran dulu, Bu! Lumayan harganya murah-murah kalau di sana! Tadi beli ayam juga, biar kita bisa makan enak sesekali!” ucapku sambil berjalan ke dapur. Lemari es memang di simpan di sana.Baru saja aku membuka pintu lemari es dan hendak menata sayuran milikku. Terdengar suara lantang Mbak Winda.“Eh, Mia! Mulai hari ini, kamu jangan sentuh kulkas milik saya! Simpan saja sayuranmu diluar biar pada busuk sekalipun Mbak gak peduli!”Baru saja aku membuka pintu lemari es dan hendak menata sayuran milikku. Terdengar suara lantang Mbak Winda. “Eh, Mia! Mulai hari ini, kamu jangan sentuh kulkas milik saya! Simpan saja sayuranmu di luar biar pada busuk sekalipun Mbak gak peduli!” Astagfirulloh! Aku mengelus dada. Lalu menoleh padanya yang berdiri beberapa langkah dari tempatku. “Mbak Winda, ini sayuran juga aku simpan buat makan Ibunya Mbak Winda juga! Jadi orang jangan pelit amet, Mbak! Nanti kena karma! Lagian aku yang bayar listriknya!” ketusku sambil menatapnya kesal. Ya, aku tidak suka diperlakukan semena-mena olehnya. Meskipun berulang kali Mas Hafid selalu menasihatiku untuk mengalah. Malu katanya ribut terus. Rasanya keterlaluan sekali sikapnya, susah sekali aku mengimbanginya.Dia melirik sinis ke arah dua cincin baru yang melingkar di jemariku. Lalu dengan wajah angkuhnya dia berkata. “Beli cincin saja mampu, masa beli kulkas gak bisa! Atau jangan-jangan kamu cuma beli cincin imitasi biar kelihatan kere
“A Hafidnya ada, Mbak?” Lagi-lagi dia mengulang pertanyaannya. Aku mengangguk. “Suamiku lagi sakit, ada perlu apa, Mbak?” tanyaku datar. “Ini, saya hanya mau mengantarkan bingkisan sedikit buat dia, Mbak!” ucapnya sambil mengulurkan tentengan yang berisi makanan. Aku tidak serta merta menerimanya, kubiarkan tangannya menggantung saja. “Mbak ini siapanya suami saya?” tanyaku masih menatap lekat. Wajah menor dan rambut pirang itu masih berada di depanku. “Saya hanya temannya Mbak Winda, Mbak! Dia ada mengabarkan kalau A Hafid lagi sakit. Ini Mbak Mia 'kan? Mbak Mia gak mau nyuruh saya masuk ke dalam dulu, Mbak? Tamu ‘kan harus dihormati!” tukasnya dengan penuh percaya diri. Haish, yang tuan rumah siapa? Yang tamu siapa? “Mia siapa? Ada tamu?” terdengar suara ibu mertuaku dari dalam.“Iya, Bu!” tukasku setengah enggan. Malas menyuruh wanita dengan gaya selangit itu untuk masuk.“Suruh masuk dulu, masa tamu didiemin di luar!” Suara Ibu Mertuaku membuat senyum pada bibir wanita itu
"Mia! Mia!” “Mia! Mia!” Aku menoleh ke asal suara. Mbak Winda dan Mbak Wilda tampak sudah datang dan berada di belakangku yang tengah menyiapkan makan malam. Mas Hafid sedang berada di kamar menjaga Mesya yang memang tadi belum tidur. Bruk!Aku belum bersiap ketika Mbak Winda mendorongku. Dia melotot penuh amarah ke arahku. Mbak Wilda berdiri di sampingnya sambil melipat tangan di dada. Aku berusaha kembali bangkit. Ada rasa ngilu pada siku yang kupakai untuk menopang tubuhku tadi. Kutatap kedua kakak beradik itu satu persatu.“Ada apa, sih, Mbak? Salahku apa?!” “Kamu masih bertanya salah kamu apa, hah?!” Mbak Winda maju kembali dan hendak menoyor kepalaku. Namun dengan sigap kutepis. Enak saja, dikira ini kepala gak ada harganya apa?Namun ternyata aku lengah pada sisi lainnya, bagaimanapun dua lawan satu.Byurr!Tanpa kusangka, Mbak Wilda kali ini menyiramkan air dari teko yang ada di meja makan ke arahku. Basah sebagian pakaianku. Astagaaaa! Beraninya main keroyokan ternyata.
“Mas, Akim! Winda tuh seneng banget, akhirnya bisa jadian sama kamu! Makasih sudah bikin aku puas, Mas!”Rekaman mulai kuputar. Wajah Mbak Winda sudah tampak menegang.“Ya, aku itu memang jago bikin wanita puas. Kamu tinggal pijit nomorku saja, bisa melayani kamu kapan saja! Asal timbal baliknya sepadan!”“Tenang, Mas! Ini aku sudah dapat rejeki nomplok. Sebagian sudah aku belikan perhiasan, ini sisanya buat kamu. Nanti kita janjian lagi, ya besok malam! Suamiku itu sibuk terus kerja, sampai lupa ada ladang yang butuh disiram!”“Siap Bebeb!”“Aku pamit dulu, ya! Mau telepon Mbak Wilda buat minta dukungan usir si Mia dari rumah! Makin hari makin nyebelin saja sikapnya! Kamu do'ain aja si Hafid mau sama Mince, biar aku punya pohon uang!"Aku mematikan rekaman yang dikirimkan oleh temanku yang bekerja di sebuah café. Ziza memang pernah sekali bermain ke sini. Dia minta kuajari berjualan property. Akhirnya kami menjadi dekat juga, dan dia tahu seperti apa perlakuan Mbak Winda padaku di ru
Sudah beberapa minggu Mas Hafid keliling cari pekerjaan, tetapi nasib belum berpihak juga pada kami. Sementara itu, parkiran dia sudah tidak jaga lagi. Setiap hari kuping ini harus ditebalkan karena mendengarkan cemoohan dan hinaan dari Mbak Winda. Sudah beberapa hari ini juga Minarti alias Mince---wanita yang kegatelan itu selalu mengunjungi Ibu Mertuaku. Rupanya dia sudah gak waras lagi, terang-terangan mengibarkan bendera perang di hadapanku. Jika dia datang, tak pernah dia menyapaku. Namun langsung yang dicarinya Ibu. Wanita sepuh yang sudah kelelahan mengurus cucunya itu seolah mendapat angin segar dengan keberadaan Minarti yang katanya kaya raya. Sikapnya yang dulu netral kini semakin condong kepada Mbak Winda dan Minarti. Beberapa kali bahkan mereka pergi bersama menggunakan mobil wanita itu. Berjalan-jalan mengajak Hasan dan Bian juga. Jika pulang, Ibu dibelikannya baju baru dan berbagai makanan. Dijanjikannya akan diberikan rumah tinggal yang nyaman sehingga bisa hidup ter
Kami pergi meninggalkan rumah yang terasa penuh duri ini. Semoga besok lusa, kehidupan kami lebih menyenangkan dan penuh dengan keberkahan. Biar besok saja kuberi tahu tentang komisi yang akan cair. Malam ini, biarlah Mas Hafid hanya tahu jika kami akan menumpang tidur di rumah Mbak Nindi.Mbak Winda, aku akan membuktikan jika aku yang selalu kau hina akan segera menemui sukses dengan jalanku ini.Menjelang Isya, kami tiba di sebuah perumahan. Ini alamat yang Mbak Nindi berikan waktu itu. Dengan menebalkan muka, akhirnya kuketuk pintu rumah minimalis dua lantai miliknya. “Assalamu’alaikum, Mbak!” Tidak berapa lama terdengar daun pintu yang terbuka. Wanita cantik berkacamata itu menatapku sambil menjawab salam. Dia mengerutkan dahi karena memang inilah pertama kalinya kami bertatap muka. Selama ini kami hanya bersua lewat virtual saja. “Mbak, ini Mia!” Aku tersenyum.“Ya ampuuun! Beda banget kamu Mia. Beda banget kalau pas video meeting. Cantikan aslinya!” kekehnya sambil membukakan
“Mbak Mia? Kamu beneran Mbak Mia ‘kan?” ucap suara yang kudengar berasal dari sebelah kanan.Aku menoleh ke asal suara. Terdiam sejenak sambil mencerna siapa sebenarnya yang menyapa? “Irna?”“Iya inin‘kan Mbak Mia, ya?” Gadis itu mendekat ke arahku. Rupanya dia Irna---anak kedua dari Paman. Waktu aku menikah dulu, dia baru saja mau lulus SMA. Rupanya kini dia sudah memakai seragam kerja. “Mbak Mia sekarang jualan nasi goreng?” tanyanya.“Iya Irna. Kamu sudah kerja?” Aku menatapnya.“Iya, Mbak! Oh iya, kenapa gak pernah maen ke rumah?” tanyanya.“Iya nanti kapan-kapan maen,” jawabku datar.Padahal bukan apa-apa. Di rumah itu yang menganggapku manusia hanya Irna. Selebihnya aku seolah dianggap keset dan benalu yang numpang hidup saja.Paman dan Bibi hanya kerap memeras tenagaku. Sedangkan Saskia---kakaknya Irna malah lebih parah. Aku bahkan seolah menjadi orang yang tidak ada harga di matanya. Usianya yang satu tahun lebih tua dariku menjadikannya semena-mena. “Pesan nasi gorengnya
“Winda! Apa maksud semuanya ini?” Mas Ardi yang baru saja menerima pesan WA dari Mia gemetar menahan kesal. Jelas sekali dalam rekaman itu Mbak Winda memang terang-terangan menyebutkan jika Mas Akim bisa membuat Mbak Winda puas.“Apa sih, Mas?”Mbak Winda tergagap. Dia sudah lupa perihal rekaman file yang dimiliki Mia. Pikirannya sudah terlalu disibukkan dengan Mince dan uangnya. Beruntung wanita jadi-jadian itu baru saja pergi meninggalkan kediamannya. Jadi tidak sempat menyaksikan keributannya dengan Mas Ardi. “Kamu ada main sama si Akim?” Mas Ardi mencengkeram pipi Mbak Winda kuat-kuat. Wanita mengaduh kesakitan lalu menepis tangan Mas Ardi. “Mas dapet rekaman itu dari mana? Itu fitnah, Mas!” Mbak Winda mencoba menepis tangan Mas Akim. Pipinya terasa sakit karena itu.“Kamu gak perlu tahu aku dapet dari mana? Kamu beneran maen serong di belakangku, Winda?” Mas Akim mendorong tubuh Mbak Winda hingga membentur ujung dipan. Mbak Winda mengaduh sambil mengelus sikunya yang dipakai
Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam
Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl
Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H
“Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc
Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka
“Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera
Arman pemilik konter aksesoris ponsel itu menyetujui permintaan Mia. Dia segera memijit nomor yang Mia berikan. Tidak berapa lama panggilan terhubung, lalu terdengar suara seorang perempuan di seberang telepon.“Hallo, ini siapa?” sapanya. Mia mendengarkan dengan seksama. Memorinya mulai merangkai kemiripan suara itu dengan yang pernah dia dengar. Rasanya suara itu familiar. “Ini Ferdi, kamu Santi ‘kan?” ucap Arman dengan santai. Modelan pengguna telepon salah sambung yang professional. “Ferdi? Santi? Salah sambung kali, Mas?” ucap suara dari seberang telepon yang memang sengaja di loudspeaker oleh Arman. Terdengar jelas suara itu mirip dengan siapa. Mia mengisyaratkan agar Arman kembali memancing pembicaraan. Arman mengangguk sambil mengangkat satu alisnya. Menjadi seorang duda di usia muda memang membosankan. Karenanya ketika mendapat pekerjaan seperti ini baginya merupakan hiburan juga. “Masa kamu lupa sama aku, coba kamu tebak aku siapa? Aku orang yang dulu kamu cintai banget
Sudah beberapa hari ini Mbak Winda mulai kerja di tempat Mince. Seperti halnya dulu, berangkat awal pagi dan pulang sudah larut. Terlebih tempat karaoke Mince itu terkenal dengan karaoke plus plusnya. Jadi banyak singer jadi-jadian yang sebetulnya memiliki profesi terselubung. Hanya namanya saja karaoke keluarga. Rencana Mbak Winda yang hendak membuang Putri ke panti asuhan dia tunda dulu. Hal ini tidak lain karena dia masih membutuhkan bayi itu untuk menarik simpatik dari Hafid. Seperti halnya hari itu, dia sudah menelpon Hafid meminta di jemput. Dengan berbagai alasan. Padahal tujuannya agar Hafid bertemu dengan Teta---seorang singer yang sudah terbiasa melayani Om-Om. Penampilannya tampak polos dan lugu akan tetapi sebetulnya Teta sudah sangat berpengalaman.“Fid, cepetan jemput ke sini! Kasihan Putri harus nungguin Mbak lama!” Mbak Winda berbicara pada Hafid memalui gawainya.“Iya bentar, Mbak! Aku masih di jalan habis jualan keliling!” ucap Hafid dari seberang telepon. Ya, kondi
Pov WindaRasa sakit setelah melaksanakan operasi secar membuatku tidak bisa bergerak bebas. Hanya tiduran sambil menatap bayi yang tergeletak tidak jauh dariku. Hari ini aku sudah pulang dan tinggal kembali di rumah Mbak Wilda. Tetesan air mata tiba-tiba tak bisa kutahan. Entah, menatap bayi itu aku menjadi sangat benci pada Mia. Kalau bukan gara-gara dia, aku dan Mas Ardi mungkin belum bercerai dan bayi itu masih memiliki ayah. Kini, semua menjadi tidak jelas, bayi ini anak siapa? Mas Akim atau Mas Ardi? “Mbak, ini beberapa pakaian waktu Mesya kecil dulu!” Mia menyodorkan satu plastik kantong berisi pakaian bayi sepertinya. Dia jadi sering sekali ke sini sepulangnya aku dari rumah sakit. Mungkin menebus perasaan bersalahnya atas nasibku. Tak ada keinginan untuk membalas ucapannya. Kulirik sekilas wajahnya yang kini tampak sedikit lebih bersih. Makin benci saja aku melihatnya. Mungkin hatinya kini tengah bersorak atas segala kekacauan yang kualami. Lihat saja Mia, aku akan membuat