Share

Bab 3

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dia melengos pergi. Padahal kerjanya mulai jam sepuluh pagi, tetapi pukul delapan sudah berangkat. Menyisakkan Bian yang kini mulai merengek karena lapar. Kuusap pucuk kepala anak lelaki berusia lima belas bulan itu. Dia menatap penuh minat pada makanan mpasi milik Mesya.

“Mamam … mamam …,” ucapnya polos.

“Iya, Mas Bian nanti Tante buatin mamam, ya! Diam di sini dulu, ya!” ucapku sambil memberinya mainan. Kugendong Mesya ke dapur dan mencari makanan untuk Bian. Ada satu rak berisi makanan bayi dan susu formula yang Mbak Winda khususkan hanya untuk Bian.

“Mia, itu kok di ruang tengah berantakan banget pakaian? Punya siapa?” Tanpa kukira, ibu mertuaku muncul dari dalam.

“Eh, Ibu sudah pulang?” tanyaku sambil tersenyum. Sementara itu, tanganku mengaduk makanan untuk Bian.

“Iya, sudah! Ini Ibu beli sayur juga sekalian! Kamu lagi buatin makanan Mesya?” tanyanya sambil meletakkan kantung belanja pada meja di dapur.

“Ini buat Bian, Bu! Biasa Mbak Winda sudah pergi, gak kasih makan dulu, padahal Bian sudah kelaperan sepertinya,” ucapku.

“Ya sudah biar ibu saja yang suapi, kamu tidurkan dulu Mesya terus siangi sayur,” ucapnya.

“Iya, Bu!” jawabku.

Aku memberikan mangkuk berisi makanan Bian yang sudah kesuduh. Lalu ke dalam sebentar mengumpulkan pakaian Mbak Winda yang berantakan. Kumasukkan ke dalam keranjang lalu kubawa kedepan dan langsung kujemur saja. Eits, kok gak dicuci lagi? Jawabannya adalah gak perlu karena apa? Karena kemarin sudah kucuci.

Lalu lanjut aku menidurkan Mesya dan meninabobokannya.

“Tante, aku lapar!” Hasan yang baru keluar dari dalam kamarnya menghampiriku.

Aku mengisyaratkan agar anak berusia lima tahun itu diam. Namun menyebalkan memang Hasan malah merengek sambil menangis di tepi Mesya. Alhasil semuanya berantakan. Aku menggendong Mesya kembali lalu mengambilkan nasi goreng di dapur dan menyimpannya di depan Hasan. Kuputarkan televisi agar anak itu makan sambil nonton tivi.

“Hasan makannya sambil diam, ya! Jangan lari-lari … Tante mau menidurkan Dedek Mesya, jangan berisik!” titahku.

Anak itu mengangguk. Aku mengusap pucuk kepalanya. Ada rasa iba pada kedua anak Mbak Winda yang tampaknya kesepian itu. Bagaimana tidak, setiap hari Mbak Winda selalu abai pada mereka. Bahkan Bian sering sekali ikut tidur di kamarku karena kadang Mbak Winda pulang larut.

Aku menidurkan Mesya sambil membacakan shalawat nabi agar dia tenang. Alhamdulilah akhirnya dia terlelap juga. Lalu kupergi ke dapur dan menyiangi sayuran yang tadi dibawa ibu.

“Paket! Paket, Mbak!” Terdengar dari luar suara tukang paket yang berteriak.

Aku bergegas ke depan, melewati Ibu yang sedang menunggui cucu-cucunya di ruang tengah. Dia sedang mengajak Bian bermain dan memperhatikan Hasan yang tengah asik makan.

“Atas nama Winda Sulistiawati, Mbak!” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan paketan itu.

“Oh, makasih, ya, Mas!” Aku menerimanya. Mengulas senyum dan mengangguk pada lelaki itu.

“Bayar, Mbak! Ini COD!” ucapnya tanpa kusangka.

“Bayar?” Aku membuang napas kasar.

“Mas, bisa langsung sama orangnya saja nanti, gak?” Aku mengulurkan kembali barang itu.

“Aduh, Mbak … bisa tolong bantu ringankan pekerjaan saya? Sudah seharian muter nyari-nyari alamat, masa giliran ketemu malah gak diterima, cuma lima puluh ribu kok, Mbak!” ucapnya memelas.

Aku akhirnya tidak tega dengan wajahnya yang tampak kelelahan. Meski dengan enggan, akhirnya aku melangkah masuk ke dalam dan mengambil uang yang kusimpan. Ya, setiap hari aku menyisihkan lima ribu rupiah dari hasil Mas Hafid jaga parkiran. Lima puluh ribu itu uang yang sudah sepuluh hari kukumpulkan.

“Ini, Mas!” Aku memberikan uang itu pada tukang paket.

“Makasih, Mbak! Semoga semua urusan Mbaknya juga dimudahkan, maaf ya, Mbak!” ujarnya tampak tidak enak.

Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Sebetulnya malas kalau menalangi paket COD miliknya itu. Yang satu bulan lalu pun belum dia ganti padaku. Padahal cuma tiga puluh ribu. Waktu itu dia membeli lipstick online kalau gak salah. Namun meskipun bagi Mbak Winda itu kecil, bagiku itu uang yang kukumpulkan selama seminggu.

Yang membuatku kesal itu bukan apa-apa. Mbak Winda selalu lelet pada hutang meskipun hanya recehan, akan tetapi giliran pergi ke salon, smoothing atau rebonding rambut yang harganya ratusan ribu dia lakukan. Kalau kutagih, alasannya selalu gak ada uang, sudah habis buat belanja ini dan itu. Gimana gak tekanan batin coba?

Belum aku masuk. Suara klakson motor kembali terdengar.

Tin!Tin!

“Mbak Windanya ada, Mbak?” sapa seorang lelaki berjaket.

“Bapak siapa, ya?” Aku menatapnya.

“Saya tukang Bank keliling, Mbak! Minggu lalu Mbak Winda ngambil di saya dua juta rupiah! Sekarang harus sudah mulai bayar,” ujarnya menjelaskan.

“Maaf, Pak … kalau mau nagih Mbak Winda hari senin, soalnya dia kerja di rumah makan, kebagian liburnya setiap senin, Pak!” tukasku.

“Bisa talangin dulu mungkin, Mbak! Gak besar cuma enam puluh ribu rupiah kok setoran mingguannya!” ujarnya sambil mematung.

“Maaf, Pak … saya tidak ada uang lagi!” Aku menangkupkan tangan di depan dada.

Lelaki itu tampak masih mematung. Lalu diambilnya gawai dari sakunya dan menelpon seseorang.

“Hallo!” sapanya. Dia tampak berbincang dengan orang di seberang sana.

Aku sudah melangkah meninggalkannya. Namun baru juga beberapa langkah, dia memanggilku kembali.

“Mbak, Mbak Mia, ya?” tanyanya. Aku menoleh sambil mengangguk.

Dia tergopoh membawakan benda pipih itu padaku.

“Ini Mbak Winda mau bicara,” ucapnya.

Aku menerimanya. Mungkin dia punya uang yang disimpan di rumah dan minta tolong dikasihkan sama si Bapak ini. Lagian sudah dua-duanya kerja juga masih suka utang sana-sini. Kadang heran dengan pola hidupnya Mbak Winda.

“Hallo, Mbak!” sapaku padanya.

“Mia, kamu itu, ya! Sama saudara sendiri juga perhitungan banget, itu cicilan utang, Mbak Cuma enam puluh ribu rupiah! Kamu masa gak ada uang cuma segitu doang juga! Bayarin dulu dong, tolong! Mbak uangnya masih di ATM juga belum ambil!” ucapnya penuh penekanan.

“Maaf, Mbak … aku ada uang lima puluh ribu rupiah juga, sudah dipakai nalangin paketan, Mbak! Mbak belanja COD tapi gak nitipin uang!” ucapku.

“Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepn dari seberang sana.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Partinah Partinah
kakak ipar bangsat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 4

    “Alesan mulu kamu itu, ya! Dasar ipar miskin!” hardiknya. Disambung dengan terputusnya panggilan telepen dari seberang sana.Nyesss!Ada rasa nyeri dalam dada ini. Padahal kurang baik apa aku padanya selama ini? Mungkin karena sudah keseringan ngalah dan nurut akhirnya dia jadi merasa di atas angin. Padahal awalnya aku seperti itu karena aku merasa orang baru di rumah ini. Aku berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga dari suamiku.Aku memberikan kembali gawai milik orang Bank keliling yang masih menunggu itu. Dia menatapku penuh harap.“Gimana, Mbak?” tanyanya. Menyebalkan memang.Aku hanya mengedik tanpa menjawab sepatah katapun. Berjalan ke dalam dan menyimpan paketan milik Mbak Winda di atas meja tivi. Lalu kembali ke dapur dan memasak untukku dan ibu. Ya, mulai hari ini aku sudah mendeklarasikan jika tidak akan memasak untuk Mbak Winda. Jadi masakan ini hanya untukku dan ibu.Namun tetap saja, jika Hasan merengek minta makan, aku pun tidak tega juga. Masa kesal sama orang tuanya

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 5

    Menjelang ashar aku keluar dari kamar. Cucian milik Mbak Winda tampak menggunung di sofa ruang tengah. Sepertinya dia sudah angkatin pakaian yang hanya kujemur saja itu.Suasana di ruang tengah sepi. Padahal aku mau menitipkan Mesya dulu pada Ibu sebentar. Jika Mesya sudah bangun, aku gak bisa ngapa-ngapain soalnya. Aku akan menyiapkan masakan untuk sore nanti. Mungkin ibu sedang membawa main kedua cucunya ke rumah tetangga.Aku kembali lagi ke kamar dan menggendong Mesya pada akhirnya. Belum sempat lagi aku pergi ke dapur terdengar orang yang memanggil dari teras.“Permisi! Go food, Mbak!” pekiknya.Aku membukakan pintu. Tampak seorang pengemudi ojek online tengah menenteng beberapa box makanan.“Cari siapa, Pak?” tanyaku.“Ini, Mbak … dari go food! Anter pizza!” ucapnya.“Atas nama siapa, Pak?” tanyaku lagi, tidak merasa memesan makanan langka itu. Ya, langka bagiku yang kondisi kantong pas-pasan. Sayang duitnya kalau membeli makanan mahal seperti itu.“Eh, itu pizza atas nama Winda

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 6

    Namun alangkah kagetnya aku, ketika dari kejauhan tampak Mas Hafid tengah dihajar oleh dua orang. Tubuhnya terhuyung membentur trotoar.“Mas Hafid!” pekikku sambil berlari memburunya.Kedua lelaki itu melepaskan Mas Hafid ketika melihatku berjalan tergopoh memburu ke arahnya. Kupegang luka yang ada pada sudut bibirnya.“Ya Allah, Mas … kamu ada masalah apa sama mereka?”Aku meraih tangannya dan membantunya untuk bangun. Kulirik sekilas pada dua orang yang tengah berjalan menjauh itu.“Biasa, Mi … rebutan wilayah! Kebetulan Bang Azhar lagi ada urusan, jadi dia leluasa melampiaskan kekesalan pada kita-kita yang ada di lapangan!”“Kita beli obat luka saja ke apotek kalau gitu, Mas! Mau ke dokter uangnya juga gak ada. Ini Mesya saja panas. Aku cuma punya uang tiga puluh ribu, Mas. Tadinya ke sini mau minta tambah sama kamu.”Tidak terasa ada yang menggenang pada pelupuk mataku. Rasa sedih menyeruak memaksa butiran bening ini berjatuhan perlahan.“Astagfirulloh, Mesya panas, Mi? Mas gak pu

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 7

    [Trx.Rek 11011332212354320211015:22 xxx21277 Rp. 5.000.000,- 10.10.202115.01.32]“Alhamdulilah, Mas!” pekikku pelan.Kutatap deretan angka itu dengan mata lebar-lebar. Seumur hidup baru merasakan punya penghasilan sendiri, rasanya luar biasa banget.“Kenapa?”Mas Hafid yang sudah bersandar pada dipan di samping Mesya melihat heran ke arahku. Aku berjalan mendekat dan menunjukkan sms banking yang ada di tanganku. “Mas, ini lihat uang komisiku sudah masuk! Besok kita bisa ke dokter, Mas! Kita periksa luka kamu dan beli obat yang bagus! Mesya juga,” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba menghangat.Disaat kami sedang kesulitan. Rasanya bahagia banget melihat sejumlah uang yang kini sedang kubutuhkan. “Mas sudah baikan, gak usah ke dokter lagi! Uangnya simpan saja pakai buat kebutuhan kita! Takut-takut Mas lagi gak dapet pemasukan di parkiran!” ucapnya. “Empat jutanya mau aku belikan cincin saja kalau gitu, Mas! Bisa dapet dua, jadi itung-itung nyimpen … nanti kalau dapat ko

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 8

    Baru saja aku membuka pintu lemari es dan hendak menata sayuran milikku. Terdengar suara lantang Mbak Winda. “Eh, Mia! Mulai hari ini, kamu jangan sentuh kulkas milik saya! Simpan saja sayuranmu di luar biar pada busuk sekalipun Mbak gak peduli!” Astagfirulloh! Aku mengelus dada. Lalu menoleh padanya yang berdiri beberapa langkah dari tempatku. “Mbak Winda, ini sayuran juga aku simpan buat makan Ibunya Mbak Winda juga! Jadi orang jangan pelit amet, Mbak! Nanti kena karma! Lagian aku yang bayar listriknya!” ketusku sambil menatapnya kesal. Ya, aku tidak suka diperlakukan semena-mena olehnya. Meskipun berulang kali Mas Hafid selalu menasihatiku untuk mengalah. Malu katanya ribut terus. Rasanya keterlaluan sekali sikapnya, susah sekali aku mengimbanginya.Dia melirik sinis ke arah dua cincin baru yang melingkar di jemariku. Lalu dengan wajah angkuhnya dia berkata. “Beli cincin saja mampu, masa beli kulkas gak bisa! Atau jangan-jangan kamu cuma beli cincin imitasi biar kelihatan kere

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 9

    “A Hafidnya ada, Mbak?” Lagi-lagi dia mengulang pertanyaannya. Aku mengangguk. “Suamiku lagi sakit, ada perlu apa, Mbak?” tanyaku datar. “Ini, saya hanya mau mengantarkan bingkisan sedikit buat dia, Mbak!” ucapnya sambil mengulurkan tentengan yang berisi makanan. Aku tidak serta merta menerimanya, kubiarkan tangannya menggantung saja. “Mbak ini siapanya suami saya?” tanyaku masih menatap lekat. Wajah menor dan rambut pirang itu masih berada di depanku. “Saya hanya temannya Mbak Winda, Mbak! Dia ada mengabarkan kalau A Hafid lagi sakit. Ini Mbak Mia 'kan? Mbak Mia gak mau nyuruh saya masuk ke dalam dulu, Mbak? Tamu ‘kan harus dihormati!” tukasnya dengan penuh percaya diri. Haish, yang tuan rumah siapa? Yang tamu siapa? “Mia siapa? Ada tamu?” terdengar suara ibu mertuaku dari dalam.“Iya, Bu!” tukasku setengah enggan. Malas menyuruh wanita dengan gaya selangit itu untuk masuk.“Suruh masuk dulu, masa tamu didiemin di luar!” Suara Ibu Mertuaku membuat senyum pada bibir wanita itu

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 10

    "Mia! Mia!” “Mia! Mia!” Aku menoleh ke asal suara. Mbak Winda dan Mbak Wilda tampak sudah datang dan berada di belakangku yang tengah menyiapkan makan malam. Mas Hafid sedang berada di kamar menjaga Mesya yang memang tadi belum tidur. Bruk!Aku belum bersiap ketika Mbak Winda mendorongku. Dia melotot penuh amarah ke arahku. Mbak Wilda berdiri di sampingnya sambil melipat tangan di dada. Aku berusaha kembali bangkit. Ada rasa ngilu pada siku yang kupakai untuk menopang tubuhku tadi. Kutatap kedua kakak beradik itu satu persatu.“Ada apa, sih, Mbak? Salahku apa?!” “Kamu masih bertanya salah kamu apa, hah?!” Mbak Winda maju kembali dan hendak menoyor kepalaku. Namun dengan sigap kutepis. Enak saja, dikira ini kepala gak ada harganya apa?Namun ternyata aku lengah pada sisi lainnya, bagaimanapun dua lawan satu.Byurr!Tanpa kusangka, Mbak Wilda kali ini menyiramkan air dari teko yang ada di meja makan ke arahku. Basah sebagian pakaianku. Astagaaaa! Beraninya main keroyokan ternyata.

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 11

    “Mas, Akim! Winda tuh seneng banget, akhirnya bisa jadian sama kamu! Makasih sudah bikin aku puas, Mas!”Rekaman mulai kuputar. Wajah Mbak Winda sudah tampak menegang.“Ya, aku itu memang jago bikin wanita puas. Kamu tinggal pijit nomorku saja, bisa melayani kamu kapan saja! Asal timbal baliknya sepadan!”“Tenang, Mas! Ini aku sudah dapat rejeki nomplok. Sebagian sudah aku belikan perhiasan, ini sisanya buat kamu. Nanti kita janjian lagi, ya besok malam! Suamiku itu sibuk terus kerja, sampai lupa ada ladang yang butuh disiram!”“Siap Bebeb!”“Aku pamit dulu, ya! Mau telepon Mbak Wilda buat minta dukungan usir si Mia dari rumah! Makin hari makin nyebelin saja sikapnya! Kamu do'ain aja si Hafid mau sama Mince, biar aku punya pohon uang!"Aku mematikan rekaman yang dikirimkan oleh temanku yang bekerja di sebuah café. Ziza memang pernah sekali bermain ke sini. Dia minta kuajari berjualan property. Akhirnya kami menjadi dekat juga, dan dia tahu seperti apa perlakuan Mbak Winda padaku di ru

Bab terbaru

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 37 - End

    Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 36

    Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 35

    Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 34

    “Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 33

    Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 32

    “Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 31

    Arman pemilik konter aksesoris ponsel itu menyetujui permintaan Mia. Dia segera memijit nomor yang Mia berikan. Tidak berapa lama panggilan terhubung, lalu terdengar suara seorang perempuan di seberang telepon.“Hallo, ini siapa?” sapanya. Mia mendengarkan dengan seksama. Memorinya mulai merangkai kemiripan suara itu dengan yang pernah dia dengar. Rasanya suara itu familiar. “Ini Ferdi, kamu Santi ‘kan?” ucap Arman dengan santai. Modelan pengguna telepon salah sambung yang professional. “Ferdi? Santi? Salah sambung kali, Mas?” ucap suara dari seberang telepon yang memang sengaja di loudspeaker oleh Arman. Terdengar jelas suara itu mirip dengan siapa. Mia mengisyaratkan agar Arman kembali memancing pembicaraan. Arman mengangguk sambil mengangkat satu alisnya. Menjadi seorang duda di usia muda memang membosankan. Karenanya ketika mendapat pekerjaan seperti ini baginya merupakan hiburan juga. “Masa kamu lupa sama aku, coba kamu tebak aku siapa? Aku orang yang dulu kamu cintai banget

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 30

    Sudah beberapa hari ini Mbak Winda mulai kerja di tempat Mince. Seperti halnya dulu, berangkat awal pagi dan pulang sudah larut. Terlebih tempat karaoke Mince itu terkenal dengan karaoke plus plusnya. Jadi banyak singer jadi-jadian yang sebetulnya memiliki profesi terselubung. Hanya namanya saja karaoke keluarga. Rencana Mbak Winda yang hendak membuang Putri ke panti asuhan dia tunda dulu. Hal ini tidak lain karena dia masih membutuhkan bayi itu untuk menarik simpatik dari Hafid. Seperti halnya hari itu, dia sudah menelpon Hafid meminta di jemput. Dengan berbagai alasan. Padahal tujuannya agar Hafid bertemu dengan Teta---seorang singer yang sudah terbiasa melayani Om-Om. Penampilannya tampak polos dan lugu akan tetapi sebetulnya Teta sudah sangat berpengalaman.“Fid, cepetan jemput ke sini! Kasihan Putri harus nungguin Mbak lama!” Mbak Winda berbicara pada Hafid memalui gawainya.“Iya bentar, Mbak! Aku masih di jalan habis jualan keliling!” ucap Hafid dari seberang telepon. Ya, kondi

  • MEMBALAS KESOMBONGAN IPARKU   Bab 29

    Pov WindaRasa sakit setelah melaksanakan operasi secar membuatku tidak bisa bergerak bebas. Hanya tiduran sambil menatap bayi yang tergeletak tidak jauh dariku. Hari ini aku sudah pulang dan tinggal kembali di rumah Mbak Wilda. Tetesan air mata tiba-tiba tak bisa kutahan. Entah, menatap bayi itu aku menjadi sangat benci pada Mia. Kalau bukan gara-gara dia, aku dan Mas Ardi mungkin belum bercerai dan bayi itu masih memiliki ayah. Kini, semua menjadi tidak jelas, bayi ini anak siapa? Mas Akim atau Mas Ardi? “Mbak, ini beberapa pakaian waktu Mesya kecil dulu!” Mia menyodorkan satu plastik kantong berisi pakaian bayi sepertinya. Dia jadi sering sekali ke sini sepulangnya aku dari rumah sakit. Mungkin menebus perasaan bersalahnya atas nasibku. Tak ada keinginan untuk membalas ucapannya. Kulirik sekilas wajahnya yang kini tampak sedikit lebih bersih. Makin benci saja aku melihatnya. Mungkin hatinya kini tengah bersorak atas segala kekacauan yang kualami. Lihat saja Mia, aku akan membuat

DMCA.com Protection Status