Home / Romansa / TERNODA DI MALAM PERTAMA / Chapter 161 - Chapter 170

All Chapters of TERNODA DI MALAM PERTAMA: Chapter 161 - Chapter 170

197 Chapters

Bab 161

Raut wajah wanita paruh baya itu terlihat  menuntut penjelasan dari sang suami yang kini tengah membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Sebuah test pack yang menunjukan dua garis merah. Mata Darwis langsung terbelalak, begitu juga dengan Retno. Emely tersenyum bahagia dan mengangguk pelan pada Darwis, memberi isyarat jika dia membenarkan apa yang diduga lelaki itu. “Benar, Sayang. Aku hamil. Anak kamu,” bisiknya. Lalu mengalihkan pandangan pada Retno. “Tante tidak perlu berterima kasih padaku, karena sudah bisa memberikan keturunan pada suamimu ini. Cukup ikhlaskan saja, jika suatu hari nanti anak ini juga harus memiliki posisi yang sama dengan anakmu itu!” tunjuk Emely pada Aline yang juga sama tengah terpaku tak percaya. Retno menatap sang saumi yang kini menunduk dan memejamkan matanya. Tangan kanannya mencengkeram kuat amplop yang tadi dibukanya.
Read more

Bab 162

Aline cemberut selama perjalanan. Rimba menyetir, sesekali melirik pada istrinya. Dia bisa merasakan kemarahan Aline tentu saja.Di kursi belakang, Hani duduk sambil menggendong bayinya dengan berurai air mata. Tersenyum miris, menyadari jika kehancuran rumah tangganya ternyata hanya menjadi bahan mainan Emely.Sesampainya di rumah, Rimba langsung mengejar istrinya yang berlari penuh amarah ke kamarnya. Aline membanting pintu tepat di saat Rimba berada di ambangnya. Beruntung laki-laki itu dengan sigap menahan dengan tangannya.Aline melempar tas dari tangannya ke atas kasur. Sementara, Rimba memperhatikannya dengan sabar.“Sayang,” panggil Rimba lirih.“Gak usah panggil sayang-sayang. Aku nggak sudi punya suami pembohong!” teriak Aline penuh amarah.Rimba coba mendekat, menyentuh pelan pundak istrinya dari belakang. Namun, Aline langsung menepisnya kasar.“Nggak usah pegang-pegang. Aku nggak mau deket-deket sama pembohong!” teriaknya lagi.“Aline, Sayang … denger dulu,” pinta Rim
Read more

Bab 163

Retno duduk di sofa kamarnya dengan wajah serius. Di depannya, Darwis juga duduk di kursi kayu, menatap sang istri dengan tatapan nanar. “Papa minta maaf, Ma. Semua ini bener-bener di luar kuasaku,” ucap Darwis dengan bibir gemetar. Retno bergeming, mencoba memberi kesempatan pada sang suami untuk menjelaskan. Bukan sekejap Retno menjalani hidup dengan lelaki di depannya itu. Retno hapal betul bagaimana sifat Darwis yang sebenarnya. Tak pernah sekali pun Darwis mengkhianati kepercayaannya. “Malam itu, saat aku tidak pulang ke rumah, kamu masih ingat?” tanya Darwis. Retno mengangguk tanpa suara. “Malam itu, aku bertemu Emely di parkiran kantor. Dia bilang sedang menunggu Ravi, tapi Ravi tidak ada karena sedang dinas luar. Emely mau pulang, dan dia tidak bawa kendaraan saat itu. Tanpa rasa curiga, aku tawari dia tumpangan. Kebetulannya lagi, malam itu hujan lebat, aku tidak tega menurunkannya
Read more

Bab 164

Emely mondar-mandir di kamarnya. Dia ingin melakukan rapid tesHIV, namun merasa takut untuk mengetahui hasilnya. Sudah jelas, jika Rangga adalah seorang ODHA. Emely merasa yakin, jika malam itu mereka memang melakukan hubungan intin yang beresiko. “Sial! Aku tetep harus ke dokter,” ucapnya lalu menyambar tas tangan yang senada dengan baju yang dipakainya. Maserati merah itu melesat membelah jalanan ibu kota. Pemilliknya terlihat galau, dengan berbagai pikiran berkecamuk di otaknya. Dia menelepon seseorang saat mobilnya berhenti di lampu merah. “Kamu harus segera jalankan semua rencana kita. Aku nggak mau nunggu terlalu lama untuk melihat kehancuran mereka. Orang-orangku akan bantuin kamu. Tenang aja,” ucapnya lalu menutup sambungan telepon dan melanjutkan perjalanannya ke sebuah rumah sakit. Emely  duduk berhahdapan dengan seorang laki-laki berjas put
Read more

Bab 165

“Waduh, Om … kamu sepertinya rindu berat padaku. Aku jadi nggak enak diliatin kayak gitu. Tenang saja, hari ini aku akan minta ijin pada Tante Retno agar kita bisa menghabiskan mala mini bersama. Aku jamin, Om pasti puas. “Aku tau, kalau Tante Retno sudah tidak bisa melayani Om, karena dia sudah menopause. Pasti sakit rasanya, kan, Tante?” ujar Emely menatap sayu pada wanita di seberangnya. “Aku jamin, Om akan puas mendapat pelayanan dariku. Tenang saja,” ucapnya lagi dengan suara yang mendayu manja. Sungguh demi apapun, jika saat ini Retno tidak ingat pada perkataan Rimba, dia sudah pasti menjambak dan menendang ke luar wanita berpakaian seksi itu. Tapi, dia ingat, jika menghadapi wanita ini harus dengan tenang. Membuatnya  kecewa dengan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. “Oh, ya? Apa benar kamu puas dengan pelayanan wanita ini, Pa?” tanya
Read more

Bab 166

Emely menekan bel apartementnya berulang kali. Emosi di dadanya sudah memuncak. Dia sudah tak sanggup lagi melihat keluarga yang diharapkannya hancur, malah terlihat baik-baik saja.Rangga yang tengah menikmati cemilan dan kopinya, bangkit dengan malas. Dia sudah tahu jika yang datang pastinya adalah Emely.“Lama amat kamu buka pintu!” umpat wanita bergaun merah itu saat pintu terbuka.Rangga hanya tertawa kecil dengan sebelah tangan berkacak pinggang.“Kamu kenapa? Kayak ada kebakaran aja?” balas Rangga sambil menutup pintu.“Nggak perlu becanda. Candaanmu nggak lucu!” Emely berbalik, matanya melotot dengan napas tersengal, dan berkacak pinggang.“Pokooknya, kamu harus segera menjalankan misi kamu secepatnya. Aku nggak mau tau!” teriak Emely dengan bola mata seolah mau keluar.“Ok, aku akan lakukan secepatnya. Tapi … aku minta kamu keluarkan juga Leony dari penjara,” ucap Rangga dengan santai.“Wow, rupanya kamu meminta bayaran di depan, hah?”“Terserah kamu mau menagnggapnya apa. T
Read more

Bab 167

Setelah kepergian Rimba ke kantor papanya, Aline pun bersiap untuk pergi ke mall. Dia menitipkan si Kembar juga Reynand pada sang Mama. Darwis pun ada, karena atas permintaan Rimba, dia untuk sementara tidak pergi ke kantor. Aline memilih untuk mengendarai mobil sang Papa. Walaupun sudah lama tidak menyetir, tapi kemampuannya tak berkurang. Aline langsung menuju mall, yang memang baru buka pukul 10 pagi. Tujuan utamanya toko perhiasan. Sederet anting, cincin juga kalung. Niat Aline memang ingin memberikan sebuah kalung untuk  hadiah ulang tahun mamanya yang hanya beberapa hari lagi. Pilihannya jatuh pada sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk hati. Sederhana, namun terlihat sangat cantik. Setelah membayaranya, Alilne pun segera menuju sebuah butik yang masih berada di mall yang sama. Setelah berkeliling, tetapi tak juga dia menemukan gaun yang cocok uantuk sang Mama. 
Read more

Bab 168

Rimba menuju rumah Emely, tapi tidak ada wanita itu di sana. Hanya pembantu yang membukakan pintu dan mengatakan jika majikannya belum pulang dari kemarin. Rimba menghela napas panjang dan mengusap wajahnya kasar. Kembali ke dalam mobil dan mencoba menghubungi nomor Aline walaupun tetap tak ada jawaban.  Wajahnya sudah terlihat frustrasi. Kemudian, dia menghubungi nomor yang selama ini selalu dihindarinya. Beberapa kali nada sambung, baru terdengar suara yang begitu dihapalnya. “Halo, Sayang. Maaf, aku baru beres mandi. Kenapa? Kangen?” tanya Emely dengan suara yang mendayu. “Di mana Aline?” bentak Rimba dengan rahang yang mengeras. Terdengar suara tawa dari mulut Emely. “Aku kira ada apa. Ternyata kamu malah menanyakan perempuan itu,” jawab Emely malas. “Mel, tolong … apa lagi yang ak
Read more

Bab 169

“Kamu belum lihat sesuatu, Rimba.” Emely berjalan mendekati lelaki yang menempatkan sang istri di pangkuannya. Lalu, dia membuka layar ponsel dan menunjukan sebuah foto yang dengan jelas menunjukan wajah Rangga berada di atas Aline. “Apa kamu masih mau memungut wanita yang sudah dijangkiti virus terkutuk itu? Hahaha ….” Suara tawa Emely bagai suara bom yang menghancurkan segenap harapan yang masih ada. Rimba memejamkan matanya. Dia bahkan mencium kening Aline yang masih tak sadarkan diri.Tangannya terkepal, berusaha menyalurkan emosi yang entah untuk apa. Apakah  amarahnya terhadap Emely? Ataukah karena tahu nasib sang istri yang kini telah hancur. Tubuhnya luruh bersamaan dengan air matanya yang tak bisa dibendung lagi. Hatinya menjerit dan menyesali. Seandainya saja dia menyerah, tidak mungkin Aline yang menjadi korban. “Bagaimana, Rimba? Masih mau
Read more

Bab 170

Aline membuka matanya perlahan. Ruangan serba putih langsung memenuhi pandangannya. Matanya mengerjap beberapa kali, hingga Rimba menyadari kalau sang istri sudah sadar.“Sayang, kamu sudah sadar? Minum dulu ya?” tanya Rimba bergegas mendekati ranjang.Aline yang teringat dengan kejadian yang menimpanya langsung menjerit ketakutan, bahkan memukuli sang suami yang berusaha menenangkannya.“Pergi! Pergiiii!” jeritnya kalap.Rimba berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Aline yang berontak.“Sstt, Sayang. Tenang dulu. ini aku,” bisiknya, sekuat tenaga berusaha menenangkan, tetapi Aline tetap berontak.“Pergi! Aku kotor, Mas. Aku mau mati saja. Aku udah nggak pantes sama kamu.” Ucapan Aline bercampur isak tangis.“Sayang, jangan bilang begitu. Kata siapa kamu kotor? Kamu selalu suci di mataku,” jawab Rimba lirih seraya mengelus punggung sang istri perlahan.Aline tak bisa menghentikan tangisnya.“Mas, kamu tau kalau kakakmu itu mengidap penyakit kotor. Dia sudah melecehkan aku, Mas. Aku koto
Read more
PREV
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status