Raut wajah wanita paruh baya itu terlihat menuntut penjelasan dari sang suami yang kini tengah membuka amplop dan mengeluarkan isinya.
Sebuah test pack yang menunjukan dua garis merah. Mata Darwis langsung terbelalak, begitu juga dengan Retno.
Emely tersenyum bahagia dan mengangguk pelan pada Darwis, memberi isyarat jika dia membenarkan apa yang diduga lelaki itu.
“Benar, Sayang. Aku hamil. Anak kamu,” bisiknya. Lalu mengalihkan pandangan pada Retno.
“Tante tidak perlu berterima kasih padaku, karena sudah bisa memberikan keturunan pada suamimu ini. Cukup ikhlaskan saja, jika suatu hari nanti anak ini juga harus memiliki posisi yang sama dengan anakmu itu!” tunjuk Emely pada Aline yang juga sama tengah terpaku tak percaya.
Retno menatap sang saumi yang kini menunduk dan memejamkan matanya. Tangan kanannya mencengkeram kuat amplop yang tadi dibukanya.<
Aline cemberut selama perjalanan. Rimba menyetir, sesekali melirik pada istrinya. Dia bisa merasakan kemarahan Aline tentu saja.Di kursi belakang, Hani duduk sambil menggendong bayinya dengan berurai air mata. Tersenyum miris, menyadari jika kehancuran rumah tangganya ternyata hanya menjadi bahan mainan Emely.Sesampainya di rumah, Rimba langsung mengejar istrinya yang berlari penuh amarah ke kamarnya. Aline membanting pintu tepat di saat Rimba berada di ambangnya. Beruntung laki-laki itu dengan sigap menahan dengan tangannya.Aline melempar tas dari tangannya ke atas kasur. Sementara, Rimba memperhatikannya dengan sabar.“Sayang,” panggil Rimba lirih.“Gak usah panggil sayang-sayang. Aku nggak sudi punya suami pembohong!” teriak Aline penuh amarah.Rimba coba mendekat, menyentuh pelan pundak istrinya dari belakang. Namun, Aline langsung menepisnya kasar.“Nggak usah pegang-pegang. Aku nggak mau deket-deket sama pembohong!” teriaknya lagi.“Aline, Sayang … denger dulu,” pinta Rim
Retno duduk di sofa kamarnya dengan wajah serius. Di depannya, Darwis juga duduk di kursi kayu, menatap sang istri dengan tatapan nanar.“Papa minta maaf, Ma. Semua ini bener-bener di luar kuasaku,” ucap Darwis dengan bibir gemetar. Retno bergeming, mencoba memberi kesempatan pada sang suami untuk menjelaskan. Bukan sekejap Retno menjalani hidup dengan lelaki di depannya itu. Retno hapal betul bagaimana sifat Darwis yang sebenarnya. Tak pernah sekali pun Darwis mengkhianati kepercayaannya.“Malam itu, saat aku tidak pulang ke rumah, kamu masih ingat?” tanya Darwis. Retno mengangguk tanpa suara.“Malam itu, aku bertemu Emely di parkiran kantor. Dia bilang sedang menunggu Ravi, tapi Ravi tidak ada karena sedang dinas luar. Emely mau pulang, dan dia tidak bawa kendaraan saat itu. Tanpa rasa curiga, aku tawari dia tumpangan. Kebetulannya lagi, malam itu hujan lebat, aku tidak tega menurunkannya
Emely mondar-mandir di kamarnya. Dia ingin melakukan rapid tesHIV, namun merasa takut untuk mengetahui hasilnya. Sudah jelas, jika Rangga adalah seorang ODHA. Emely merasa yakin, jika malam itu mereka memang melakukan hubungan intin yang beresiko.“Sial! Aku tetep harus ke dokter,” ucapnya lalu menyambar tas tangan yang senada dengan baju yang dipakainya.Maserati merah itu melesat membelah jalanan ibu kota. Pemilliknya terlihat galau, dengan berbagai pikiran berkecamuk di otaknya.Dia menelepon seseorang saat mobilnya berhenti di lampu merah.“Kamu harus segera jalankan semua rencana kita. Aku nggak mau nunggu terlalu lama untuk melihat kehancuran mereka. Orang-orangku akan bantuin kamu. Tenang aja,” ucapnya lalu menutup sambungan telepon dan melanjutkan perjalanannya ke sebuah rumah sakit.Emely duduk berhahdapan dengan seorang laki-laki berjas put
“Waduh, Om … kamu sepertinya rindu berat padaku. Aku jadi nggak enak diliatin kayak gitu. Tenang saja, hari ini aku akan minta ijin pada Tante Retno agar kita bisa menghabiskan mala mini bersama. Aku jamin, Om pasti puas.“Aku tau, kalau Tante Retno sudah tidak bisa melayani Om, karena dia sudah menopause. Pasti sakit rasanya, kan, Tante?” ujar Emely menatap sayu pada wanita di seberangnya.“Aku jamin, Om akan puas mendapat pelayanan dariku. Tenang saja,” ucapnya lagi dengan suara yang mendayu manja.Sungguh demi apapun, jika saat ini Retno tidak ingat pada perkataan Rimba, dia sudah pasti menjambak dan menendang ke luar wanita berpakaian seksi itu. Tapi, dia ingat, jika menghadapi wanita ini harus dengan tenang. Membuatnya kecewa dengan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.“Oh, ya? Apa benar kamu puas dengan pelayanan wanita ini, Pa?” tanya
Emely menekan bel apartementnya berulang kali. Emosi di dadanya sudah memuncak. Dia sudah tak sanggup lagi melihat keluarga yang diharapkannya hancur, malah terlihat baik-baik saja.Rangga yang tengah menikmati cemilan dan kopinya, bangkit dengan malas. Dia sudah tahu jika yang datang pastinya adalah Emely.“Lama amat kamu buka pintu!” umpat wanita bergaun merah itu saat pintu terbuka.Rangga hanya tertawa kecil dengan sebelah tangan berkacak pinggang.“Kamu kenapa? Kayak ada kebakaran aja?” balas Rangga sambil menutup pintu.“Nggak perlu becanda. Candaanmu nggak lucu!” Emely berbalik, matanya melotot dengan napas tersengal, dan berkacak pinggang.“Pokooknya, kamu harus segera menjalankan misi kamu secepatnya. Aku nggak mau tau!” teriak Emely dengan bola mata seolah mau keluar.“Ok, aku akan lakukan secepatnya. Tapi … aku minta kamu keluarkan juga Leony dari penjara,” ucap Rangga dengan santai.“Wow, rupanya kamu meminta bayaran di depan, hah?”“Terserah kamu mau menagnggapnya apa. T
Setelah kepergian Rimba ke kantor papanya, Aline pun bersiap untuk pergi ke mall. Dia menitipkan si Kembar juga Reynand pada sang Mama. Darwis pun ada, karena atas permintaan Rimba, dia untuk sementara tidak pergi ke kantor.Aline memilih untuk mengendarai mobil sang Papa. Walaupun sudah lama tidak menyetir, tapi kemampuannya tak berkurang.Aline langsung menuju mall, yang memang baru buka pukul 10 pagi. Tujuan utamanya toko perhiasan. Sederet anting, cincin juga kalung. Niat Aline memang ingin memberikan sebuah kalung untuk hadiah ulang tahun mamanya yang hanya beberapa hari lagi.Pilihannya jatuh pada sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk hati. Sederhana, namun terlihat sangat cantik.Setelah membayaranya, Alilne pun segera menuju sebuah butik yang masih berada di mall yang sama. Setelah berkeliling, tetapi tak juga dia menemukan gaun yang cocok uantuk sang Mama.
Rimba menuju rumah Emely, tapi tidak ada wanita itu di sana. Hanya pembantu yang membukakan pintu dan mengatakan jika majikannya belum pulang dari kemarin.Rimba menghela napas panjang dan mengusap wajahnya kasar. Kembali ke dalam mobil dan mencoba menghubungi nomor Aline walaupun tetap tak ada jawaban. Wajahnya sudah terlihat frustrasi.Kemudian, dia menghubungi nomor yang selama ini selalu dihindarinya. Beberapa kali nada sambung, baru terdengar suara yang begitu dihapalnya.“Halo, Sayang. Maaf, aku baru beres mandi. Kenapa? Kangen?” tanya Emely dengan suara yang mendayu.“Di mana Aline?” bentak Rimba dengan rahang yang mengeras.Terdengar suara tawa dari mulut Emely.“Aku kira ada apa. Ternyata kamu malah menanyakan perempuan itu,” jawab Emely malas.“Mel, tolong … apa lagi yang ak
“Kamu belum lihat sesuatu, Rimba.” Emely berjalan mendekati lelaki yang menempatkan sang istri di pangkuannya. Lalu, dia membuka layar ponsel dan menunjukan sebuah foto yang dengan jelas menunjukan wajah Rangga berada di atas Aline.“Apa kamu masih mau memungut wanita yang sudah dijangkiti virus terkutuk itu? Hahaha ….” Suara tawa Emely bagai suara bom yang menghancurkan segenap harapan yang masih ada.Rimba memejamkan matanya. Dia bahkan mencium kening Aline yang masih tak sadarkan diri.Tangannya terkepal, berusaha menyalurkan emosi yang entah untuk apa. Apakah amarahnya terhadap Emely? Ataukah karena tahu nasib sang istri yang kini telah hancur.Tubuhnya luruh bersamaan dengan air matanya yang tak bisa dibendung lagi. Hatinya menjerit dan menyesali. Seandainya saja dia menyerah, tidak mungkin Aline yang menjadi korban.“Bagaimana, Rimba? Masih mau
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi