Home / Romansa / Susahnya Jadi Mas Joko / Chapter 131 - Chapter 140

All Chapters of Susahnya Jadi Mas Joko: Chapter 131 - Chapter 140

231 Chapters

Bab 131: Senyum, Salam dan Sapa

Bab 131: Senyum, Salam dan Sapa  Kemudian, aku menjalani hari-hariku seperti orang yang menyibak lembar demi lembar dari sebuah buku cerita, atau dongeng pengantar tidur yang dibacakan untuk anak-anak, atau juga novel romansa yang dibaca bersama oleh pasangan lansia di suatu senja.           Sret, sret, srett..! Rasanya begitu cepat waktu berlalu, diam-diam saja dan tidak terasa. Pagi hari aku membuka mata untuk memulai aktifitasku, tahu-tahu aku sudah berada di malam hari dan bersiap untuk kembali memejamkan mataku.           Aih, benarlah kata orang, bahwa waktu akan terasa lambat bagi mereka yang tidak disibukkan oleh pekerjaan. Sementara pada saat yang sama, waktu terasa sangat singkat bagi mereka-mereka yang mempunyai banyak hal untuk dikerjakan.        &n
Read more

Bab 132: Umroh

Bab 132: Umroh  “Sekarang, aku tidak perlu lagi datang ke indomxret atau alfamxret kalau hanya ingin mendapat 3S, yaitu senyum, salam dan sapa dari Mbak-mbak kasir yang cantik-cantik itu.”           “Hahaha..!” Alex tertawa.           Obrolanku dengan Alex pun berlanjut. Malam ini, giliran aku lagi yang menginap di rumah kontrakannya. Alex cukup mengerti, dan ia tidak perlu merasa tersinggung karena aku mengunjunginya sekarang ini sekalian untuk menyelam minum air. Maksudku, sekalian aku mengunjungi Resti. Ehem, maksudku, mengapeli.           Sedikit lucu sebenarnya, karena aku dan Resti selalu bertemu di setiap jam perkuliahan di hari Sabtu dan Minggu. Akan tetapi, hal semacam apel-apelan ini kurasa perlu untuk di
Read more

Bab 133: Pangeran Kodok

Bab 133: Pangeran Kodok “Sudah berapa lamakah aku tidak bicara dengan kamu, Mas Joko? Satu bulan? Dua bulan? Atau tiga bulan?” “Orang yang mau mendengar ceritaku, atau mereka yang mau membaca kisahku ini pasti akan segera mengetahui bahwa sudah berbulan-bulan aku tidak berbicara dengan kamu. Mereka juga tetap memahami bahwa cerita-cerita yang aku tuturkan ini adalah monologku kepada diriku sendiri.” “Sebagian besar dari monolog-monologku ini aku tulis di dalam buku diary, sebagian yang lain aku posting di media sosialku, dan sebagian sisanya aku simpan sendiri di dalam hatiku.” “Aku memang tidak selalu melakukan monolog ini. Aku hanya melakukannya jika ada faktor pemicu, di mana itu selalu mengingatkan aku kembali pada dirimu, Mas Joko. Seperti misalnya, barusan ini, ibuku menelepon aku.” “Seperti biasa, obrolan panjang pun tercipta antara aku dan ibu tiriku itu. Mula-mula ia menanyakan kabarku. Aku menjawab, bahwa kabarku baik-baik saja, d
Read more

Bab 134: Dongeng Pengantar Tidur

Bab 134: Dongeng Pengantar Tidur  Keterangan yang aku dapat dari Gofur tentang Ibu Joyce kemarin membuat aku terus saja memikirkan mantan atasanku itu. Dia pergi umroh, melaksanakan ibadah dan juga sekaligus melakukan perjalanan spiritual, untuk menjangkau Tuhan di tempat yang paling spesial, di pusat lingkaran orang-orang yang bersujud di seluruh dunia ini.           Ah, aku sampai merinding membayangkan itu!           Memang, hubungan antara manusia dengan Sang Khalik adalah hak azasi setiap orang, dan tidak ada satu pun yang boleh mencampurinya. Apa pun motivasi seseorang dalam melakukan ibadah bukanlah wilayah manusia untuk menghakiminya. Namun sungguh, berita ini sangat mengejutkan bagiku, seorang laki-laki yang pernah berhubungan dengannya secara intim, seorang laki-laki dengan pengamalan agama yang
Read more

Bab 135: Virgin

Bab 135: Virgin  Aku adalah seorang laki-laki korban fitnah yang..,    hemm, mengapa malam ini aku teringat pada Ningsih dan sekaligus pada Ibu Joyce?Pembahasanku dengan Resti tentang dongeng malam Minggu yang lalu membawa ingatanku pada sebuah mimpi yang pernah aku alami. Di dalam mimpi itu aku bertemu dengan Ningsih. Aku melihatnya sedang berbaring di ayunan pantai. Ia berleha-leha terayun hammock yang terikat di antara dua pohon, terbelai angin yang sepoi-sepoi, dan terlarung dalam sebuah imajinasi lewat sebuah buku yang sedang ia baca.Aku menghampiri Ningsih. Ia menyambutku dengan senyumnya, dan segera menjulurkan sebelah tangannya kepadaku. Buku yang sebelumnya ia baca ia letakkan di atas dadanya. Aku tersenyum, lalu melihat ke arah buku yang tertangkup di dadanya itu.Itu adalah sebuah novel romansa, dan aku ingin membaca judulnya. Nah, tepat ketika ingin membaca judul novel i
Read more

Bab 136: Cinta Yang Mengalir

Bab 136: Cinta Yang Mengalir Sadel sepeda, adalah benda yang—mungkin saja—merenggut keperawanan Resti, dan itu terjadi ketika ia masih duduk di kelas satu SMP. Ia bercerita tentang pengalaman buruknya itu sambil sesekali menahan isak tangis.Ketika itu, ia sedang bersepeda bersama beberapa temannya. Terus asyik berkejaran hingga membuatnya tidak awas dengan rutenya sendiri. Singkat cerita, ia terjatuh bersama sepedanya ke dalam selokan.Ia kemudian dibawa ke rumah sakit oleh kedua orang tuanya, ketika menyadari ada darah yang keluar dari area kewanitaannya. Dokter yang memeriksa menerangkan bahwa selaput dara Resti robek ketika jatuh dengan sepedanya itu. Dokter itu juga menuturkan resumenya, bahwa mungkin benturan dengan sadel sepeda ketika jatuh itulah yang mengakibatkan demikian. Cerita pun selesai. Namun Resti masih saja terisak-isak. “Sadel sepeda sialan!”
Read more

Bab 137: Seorang Umat di Depan Pintu Surga

Bab 137: Seorang Umat di Depan Pintu Surga  Beberapa bulan kemudian.., Kadang kala, aku merasa sudah melewati begitu banyak hal di dalam kehidupanku. Pahit getir dari kota kelahiran dan juga asam garam di kota perantauan. Bukan maksudku untuk mengeluh kepada Tuhan, akan tetapi bolehkah aku merasa demikian?           Lalu, bolehkah aku merasa letih? Bukan, bukan tubuhku yang letih, tetapi hatiku dan juga jiwaku inilah yang sesungguhnya letih. Benar, letih dalam menjalani “kutukan sebagai kodok” ini. Aku juga lelah dengan kesendirianku ini. Tak ada sanak tiada kadang, tak punya keluarga tak miliki saudara, tiada kerabat juga tanpa sepersukuan.           Jika mengenang diriku yang telah diusir oleh ibuku sendiri, bahkan aku merasa benar-benar hidup sebatang kara di dunia
Read more

Bab 138: Melamar?

Bab 138: Melamar? Sekali memantik, rokok pun menyala dan ia mengisap asapnya dalam-dalam. Hhussh..! Ia seperti sengaja mengembuskan asapnya ke arahku. Beberapa kali mengisap rokoknya, Alex tetap memandangi aku. Antara rela dan tidak rela, antara keberatan dan mengikhlaskan, tapi kuakui mimik wajah Alex seperti seorang ayah yang tak sudi menerima kenakalan anaknya. Aku mau jengkel sebenarnya, tapi segera kubatalkan. “Kamu sadar dengan keputusan kamu ini, Ko?” “Tentu saja, aku sadar.” “Sudah kamu pikirkan matang-matang?” “Sudah.” “Seberapa matang?” “Cukup, dan sangat matang.” “Selain aku, apakah ada orang lain yang sudah kamu beri tahu tentang rencana ini?” “Belum, Lex. Kamulah orang spesial bagi aku, dan kamulah orang pertama yang aku beri tahu tentang hal ini. Maka kamu jugalah orang pertama yang aku kehendaki pendapatnya tentang rencanaku ini.” Alex mengangguk-anggukkan kepa
Read more

Bab 139: Hadiah Dari Sang Mayor

Bab 139: Hadiah Dari Sang Mayor  Gayung pun bersambut. Rencana baik yang dibicarakan baik dengan orang-orang baik maka akan memberikan hasil yang juga baik. Ah, senangnya hatiku, karena mendapatkan solusi dari permasalahan yang sedang kuhadapi ini.           Ajaibnya lagi, seperti sudah ditakdirkan bahwa kebaikan akan berantai dan melahirkan kebaikan yang lain pula. Hal itu terjadi ketika aku dan Charles bermain voli di markas Yonif, sekaligus untuk mengantarkan beberapa ponsel milik personil Yonif yang telah kami perbaiki sebelumnya.           “Apa?” tanya Sertu Yadin yang terkejut seusai kami bermain voli. Sertu—Sersan Satu—Yadin yang biasa aku panggil Mas ini sampai memutar posisi duduknya kepadaku.           &l
Read more

Bab 140: Mahkota

Bab 140: Mahkota  “Mas Joko.., sore ini aku melihat lagi laki-laki bersepeda yang dulu sering kulihat di lampu merah. Dia sedang duduk di sana, di trotoar, di samping sepedanya yang berdiri persis di tepi jalan.”           “Dari dalam bus metro yang aku naiki, aku bisa melihat dengan jelas sosoknya yang memakai jaket hitam, celana jins warna biru, bersepatu, dan memakai tas punggung. Dia juga memakai helm sepeda, kaca mata sport, sarung tangan tanpa jari, juga kain buff yang ia turunkan sedikit di bawah hidungnya.”           “Dia duduk dengan santai. Sepertinya dia sedang melamun. Sayang sekali posisi duduknya dia di sana dan posisi bus metro yang berhenti di lampu merah ini tidak benar-benar sejajar, sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya itu.” 
Read more
PREV
1
...
1213141516
...
24
DMCA.com Protection Status