Bab 136: Cinta Yang Mengalir
Sadel sepeda, adalah benda yang—mungkin saja—merenggut keperawanan Resti, dan itu terjadi ketika ia masih duduk di kelas satu SMP. Ia bercerita tentang pengalaman buruknya itu sambil sesekali menahan isak tangis.
Ketika itu, ia sedang bersepeda bersama beberapa temannya. Terus asyik berkejaran hingga membuatnya tidak awas dengan rutenya sendiri. Singkat cerita, ia terjatuh bersama sepedanya ke dalam selokan.
Ia kemudian dibawa ke rumah sakit oleh kedua orang tuanya, ketika menyadari ada darah yang keluar dari area kewanitaannya. Dokter yang memeriksa menerangkan bahwa selaput dara Resti robek ketika jatuh dengan sepedanya itu. Dokter itu juga menuturkan resumenya, bahwa mungkin benturan dengan sadel sepeda ketika jatuh itulah yang mengakibatkan demikian.
Cerita pun selesai. Namun Resti masih saja terisak-isak.
“Sadel sepeda sialan!”
Bab 137:Seorang Umat di Depan Pintu Surga Beberapa bulan kemudian..,Kadang kala, aku merasa sudah melewati begitu banyak hal di dalam kehidupanku. Pahit getir dari kota kelahiran dan juga asam garam di kota perantauan. Bukan maksudku untuk mengeluh kepada Tuhan, akan tetapi bolehkah aku merasa demikian?Lalu, bolehkah aku merasa letih? Bukan, bukan tubuhku yang letih, tetapi hatiku dan juga jiwaku inilah yang sesungguhnya letih. Benar, letih dalam menjalani “kutukan sebagai kodok” ini. Aku juga lelah dengan kesendirianku ini. Tak ada sanak tiada kadang, tak punya keluarga tak miliki saudara, tiada kerabat juga tanpa sepersukuan.Jika mengenang diriku yang telah diusir oleh ibuku sendiri, bahkan aku merasa benar-benar hidup sebatang kara di dunia
Bab 138: Melamar? Sekali memantik, rokok pun menyala dan ia mengisap asapnya dalam-dalam. Hhussh..! Ia seperti sengaja mengembuskan asapnya ke arahku. Beberapa kali mengisap rokoknya, Alex tetap memandangi aku. Antara rela dan tidak rela, antara keberatan dan mengikhlaskan, tapi kuakui mimik wajah Alex seperti seorang ayah yang tak sudi menerima kenakalan anaknya. Aku mau jengkel sebenarnya, tapi segera kubatalkan. “Kamu sadar dengan keputusan kamu ini, Ko?” “Tentu saja, aku sadar.” “Sudah kamu pikirkan matang-matang?” “Sudah.” “Seberapa matang?” “Cukup, dan sangat matang.” “Selain aku, apakah ada orang lain yang sudah kamu beri tahu tentang rencana ini?” “Belum, Lex. Kamulah orang spesial bagi aku, dan kamulah orang pertama yang aku beri tahu tentang hal ini. Maka kamu jugalah orang pertama yang aku kehendaki pendapatnya tentang rencanaku ini.” Alex mengangguk-anggukkan kepa
Bab 139:Hadiah Dari Sang Mayor Gayung pun bersambut. Rencana baik yang dibicarakan baik dengan orang-orang baik maka akan memberikan hasil yang juga baik. Ah, senangnya hatiku, karena mendapatkan solusi dari permasalahan yang sedang kuhadapi ini.Ajaibnya lagi, seperti sudah ditakdirkan bahwa kebaikan akan berantai dan melahirkan kebaikan yang lain pula. Hal itu terjadi ketika aku dan Charles bermain voli di markas Yonif, sekaligus untuk mengantarkan beberapa ponsel milik personil Yonif yang telah kami perbaiki sebelumnya.“Apa?” tanya Sertu Yadin yang terkejut seusai kami bermain voli. Sertu—Sersan Satu—Yadin yang biasa aku panggil Mas ini sampai memutar posisi duduknya kepadaku.&l
Bab 140:Mahkota “Mas Joko.., sore ini aku melihat lagi laki-laki bersepeda yang dulu sering kulihat di lampu merah. Dia sedang duduk di sana, di trotoar, di samping sepedanya yang berdiri persis di tepi jalan.”“Dari dalam bus metro yang aku naiki, aku bisa melihat dengan jelas sosoknya yang memakai jaket hitam, celana jins warna biru, bersepatu, dan memakai tas punggung. Dia juga memakai helm sepeda, kaca mata sport, sarung tangan tanpa jari, juga kain buff yang ia turunkan sedikit di bawah hidungnya.”“Dia duduk dengan santai. Sepertinya dia sedang melamun. Sayang sekali posisi duduknya dia di sana dan posisi bus metro yang berhenti di lampu merah ini tidak benar-benar sejajar, sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya itu.” 
Bab 141: Godaan Dari Masa Lalu Mungkin, ada benarnya juga kata-kata orang dulu, bahwa mereka yang berniat untuk melangkahkan kakinya ke jenjang pernikahan akan mendapat godaan, baik itu dari mantan kekasih yang minta berbaikan, maupun dari orang lain yang tiba-tiba menjadi ramah dan ingin berdekatan. Bentuk godaan yang lain lagi adalah bayangan dari masa lalu, khususnya tentang seseorang yang pernah mempunyai kaitan khusus dengan kita. Dalam hal ini, pertama, aku ingin menyebut nama Joyce Angelique, atau Ibu Joyce. Mengapa dia? Karena, pengemudi mobil yang ramah di perempatan tadi, yang sengaja memberi kesempatan untuk aku lewat lebih dulu, sempat kusangka itu adalah dia. Dengan hati yang berdebaran aku sampai menghentikan sepedaku, lalu menoleh ke belakang. Aku menghirup satu nafas yang dalam setelah yakin bahwa itu bukanlah Ibu Joyce. Sampai di kosku, sebelum memasuki kamar, aku membuka sepatu. Ini adalah sepatu voli yang selalu kupakai secara gener
Bab 142:Di Dalam Kelambu Akhirnya, tibalah saat yang paling bersejarah di dalam hidupku. Aku duduk berdampingan dengan Resti Amelia, seorang gadis yang sesaat lagi akan menjadi istriku yang sah. Pada momen ini aku mengenakan setelan teluk belanga khas Melayu berwarna putih, juga memakai kopiah dengan warna yang senada. Sementara Resti di sampingku, mengenakan busana terusan dengan corak dan model yang sama dengan setelanku.Resti yang sehari-hari tidak memakai hijab, maka untuk keperluan akad nikah dan resepsi kami sekarang ini ia mengenakannya. Hijabnya juga berwarna putih, dihiasi aneka ronce dari manik-manik dan melati. Dia dirias dengan begitu sempurna hingga wajahnya tampak bersinaran bak pualam di bawah rembulan, dengan sedikit rona merah di kanan kiri pipinya yang bersemu bak jambu muda.Resti tampak cantik lagi bestari, seumpama tuan p
Bab 143:Nah, Begitu Lalu, hal yang telah aku pertimbangkan berikutnya adalah, kuliahku dan Resti, kuliah kami berdua. Kami tetap akan melanjutkan kuliah kami seperti biasa. Tante Resmi juga.., maksudku, Mama juga yang mendorong kami berdua untuk menyelesaikan kuliah bersama.Sepertinya, ini unik, pikirku. Sepasang suami istri berkuliah di jurusan yang sama, di kelas yang sama, satu angkatan pula. Lalu aku dan Resti pun telah membayangkan kelak kami nanti akan diwisuda bersama. Mudah-mudahan bisa terlaksana. Pastinya, seru tentu saja.Kemudian, tentang pekerjaan. Resti akan beraktifitas seperti biasa, menjalankan bisnis laundry bersama ibunya. Iya, Tante Resmi itu. Hemm, maksudku, Mama. Ah, aku masih belum terbiasa dengan “mama-mama-an” ini.Lalu aku akan tetap melakoni pekerjaanku di Sinergi Laras juga sseperti biasa, sembari memikirkan rencana untuk membuka usaha sendiri. Dalam hal
Bab 144:Baby Face Karena sepertinya, aku merasa pernah bertemu atau paling tidak, pernah melihat pacar Mas Yadin ini. Di mana ya? Siapa dia ya? Tanyaku dalam hati. Di saat-saat aku sedang menduga dan mengingat-ingat ini, pacar Mas Yadin rupanya lebih dulu menyadari siapa diriku.“Lho? Mas ini, pemain voli di tim STMIK, kan?”“I.., iya, betul,” sahutku sedikit gugup.“Pemain nomor lima? Yang dulu kalau main voli rambutnya selalu dikuncir?”“Adik ini siapa ya?” susulku bertanya. “Kok perasaan saya, kita seperti pernah ketemu, di mana gitu.”Mas Yadin memandangi aku dan pacarnya berganti-gantian, dan demikian pula Resti istriku. Pacar Mas Yadin segera menjelaskan sesuatu yang membuat rasa penasaran kami semua segera terjawab.“Kalau pernah ketemu secara khusus sih, tidak. Tapi kalau pernah beberapa kali bertemu dan sal