Bab 142: Di Dalam Kelambu
Akhirnya, tibalah saat yang paling bersejarah di dalam hidupku. Aku duduk berdampingan dengan Resti Amelia, seorang gadis yang sesaat lagi akan menjadi istriku yang sah. Pada momen ini aku mengenakan setelan teluk belanga khas Melayu berwarna putih, juga memakai kopiah dengan warna yang senada. Sementara Resti di sampingku, mengenakan busana terusan dengan corak dan model yang sama dengan setelanku.
Resti yang sehari-hari tidak memakai hijab, maka untuk keperluan akad nikah dan resepsi kami sekarang ini ia mengenakannya. Hijabnya juga berwarna putih, dihiasi aneka ronce dari manik-manik dan melati. Dia dirias dengan begitu sempurna hingga wajahnya tampak bersinaran bak pualam di bawah rembulan, dengan sedikit rona merah di kanan kiri pipinya yang bersemu bak jambu muda.
Resti tampak cantik lagi bestari, seumpama tuan p
Bab 143:Nah, Begitu Lalu, hal yang telah aku pertimbangkan berikutnya adalah, kuliahku dan Resti, kuliah kami berdua. Kami tetap akan melanjutkan kuliah kami seperti biasa. Tante Resmi juga.., maksudku, Mama juga yang mendorong kami berdua untuk menyelesaikan kuliah bersama.Sepertinya, ini unik, pikirku. Sepasang suami istri berkuliah di jurusan yang sama, di kelas yang sama, satu angkatan pula. Lalu aku dan Resti pun telah membayangkan kelak kami nanti akan diwisuda bersama. Mudah-mudahan bisa terlaksana. Pastinya, seru tentu saja.Kemudian, tentang pekerjaan. Resti akan beraktifitas seperti biasa, menjalankan bisnis laundry bersama ibunya. Iya, Tante Resmi itu. Hemm, maksudku, Mama. Ah, aku masih belum terbiasa dengan “mama-mama-an” ini.Lalu aku akan tetap melakoni pekerjaanku di Sinergi Laras juga sseperti biasa, sembari memikirkan rencana untuk membuka usaha sendiri. Dalam hal
Bab 144:Baby Face Karena sepertinya, aku merasa pernah bertemu atau paling tidak, pernah melihat pacar Mas Yadin ini. Di mana ya? Siapa dia ya? Tanyaku dalam hati. Di saat-saat aku sedang menduga dan mengingat-ingat ini, pacar Mas Yadin rupanya lebih dulu menyadari siapa diriku.“Lho? Mas ini, pemain voli di tim STMIK, kan?”“I.., iya, betul,” sahutku sedikit gugup.“Pemain nomor lima? Yang dulu kalau main voli rambutnya selalu dikuncir?”“Adik ini siapa ya?” susulku bertanya. “Kok perasaan saya, kita seperti pernah ketemu, di mana gitu.”Mas Yadin memandangi aku dan pacarnya berganti-gantian, dan demikian pula Resti istriku. Pacar Mas Yadin segera menjelaskan sesuatu yang membuat rasa penasaran kami semua segera terjawab.“Kalau pernah ketemu secara khusus sih, tidak. Tapi kalau pernah beberapa kali bertemu dan sal
Bab 145:Mimpi Yang Terputus Setelah lelaki berparas baby face itu turun dari panggung, dan tak lama sosoknya menghilang di ujung jalan sana..,Resti pingsan!Aku segera menyambar tubuh Resti sebelum jatuh dan terhempas. Syukurlah aku berhasil menangkapnya lalu membawanya turun dan meletakkan tubuhnya di pangkuanku. Seketika saja suasana menjadi heboh, riuh, dan gaduh. Ada pula yang menjerit-jerit histeris dan salah satunya adalah Mama.“Ada apa?”“Kenapa??”“Astagfirullahal adzim, Ya Allah, kenapa Mas Joko??”Entah siapa-siapa saja yang naik ke atas panggung, dan entah siapa-siapa saja yang melemparkan pertanyaan barusan. Aku merasa begitu panik sampai tidak menyadari Alex yang juga tiba-tiba sudah berada di sampingku.“Ada apa, Ko?? Resti kenapa??” tanya dia dengan paniknya.Dia, dan juga semua orang menanyakan s
Bab 146:Kasak-kusuk Aku bangkit perlahan, dan segera menoleh ke arah pintu kamar pengantin yang telah terbuka. Melihat itu, tiba-tiba saja hatiku berdebar. Aku merasa takjub, gembira, namun juga sekaligus merasa penasaran.Terbukanya pintu kamar Resti itu tidak lebar, sedikit saja, dan menampakkan seberkas cahaya dari lampu kamar yang seakan merasa bebas karena bisa keluar dari dalam sana. Secara perlahan aku lalu bangkit dari sofa yang aku tiduri tadi, lalu berjalan menuju kamar Resti, kamar istriku itu. Namun, ketika sampai di dalam kamar, aku tidak menemukan apa-apa selain kekosongan. Resti tidak ada di dalam kamar.“Oh, mungkin dia ada di dalam kamar mandi,” pikirku.Maka kuteruskan langkahku kembali menuju ke kamar mandi yang letaknya ada di pojok. Yang kudapati berikutnya adalah, pintu kamar mandi tidak terkunci. Setelah kudorong pintu itu dan melongok ke dalamnya, ternyata tidak ada
Bab 147:Luntur Ketika adzan Subuh berkumandang, sampailah kami semua pada satu kesimpulan yang membuatku merasa berada di awang-awang. Resti hilang!Apakah ia diculik? Jika benar diculik maka siapakah orang biadab itu yang tega menculik Resti? Apa dasarnya ia melakukan kejahatan itu? Apa motifnya? Dan bagaimana..,Duh, aku dan kami semua sekeluarga bahkan tidak berani menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sekarang ini aku hanya bisa pasrah.Ya Allah, malapateka apa lagi ini yang Engkau berikan kepadaku? Tidakkah sekarang ini Engkau sedang bercanda? Tidakkah sekarang ini Engkau sedang melakukan sebuah “prank” untuk aku?Aku terduduk lemas di sofa, menutupi wajahku dengan kedua tangan dan menumpukan siku di atas pahaku. Lalu dengan wajah yang tertutup telapak
Bab 148:Pengkhianatan “Susuk ini akan luntur atau musnah secara otomatis, tepat ketika kamu nanti mengucapkan ijab kabul waktu menikah.”Darahku mendesir, lalu seketika mampat hingga membuat aku tercekat. Kata-kata Ki Ageng Gemblung itu terus saja mengiang-ngiang di telingaku. Semakin kusimak kata perkatanya semakin terasa ada yang menikam di ulu hatiku. Sakit, sakit sekali.Ternyata, Resti tidak benar-benar mencintai aku! Ternyata semua perhatian dan rasa sayang yang ia berikan selama ini kepadaku adalah semu! Ia melakukan semua itu tidak dengan hati sanubarinya yang fitri. Karena sesungguhnya ia berada di bawah pengaruh susuk pemikat yang ada di diriku! Susuk yang bahkan telah kulupa pernah memilikinya! Susuk yang telah musnah sejak aku mengucapkan ijab kabul kemar
Bab 149:Yang Menyakitkan Benarkah pesan di ponselku ini berasal dari Resti?? Ah, bagaimana mungkin??Pada urutan terakhir pada daftar pesan yang belum kubaca, aku menemukan sebuah nomor asing yang tidak tersimpan di memori ponselku, dengan sedikit cuplikan isi pesan dari kata-katanya yang pertama. Cepat aku membuka pesan itu dan segera membaca keseluruhan isinya.“Mas Joko, maafkan aku. Maafkan jika kata-kataku ini menyakiti kamu.., dan percayalah, ini juga menyakiti aku. Pada akhirnya.., aku sadar bahwa kamu tidak pantas mendapatkan istri yang kotor macam aku ini. Sungguh, aku memohon padamu, maafkanlah diriku ini yang tidak sempurna untuk kamu.”“Kamu terlalu baik untuk aku, Mas Joko. Sangat, sangat.., kamu sangat baik. Aku yang sudah tidak suci ini merasa tidak layak untuk menjadi pendamping kamu. Sungguh, sekali lagi aku memohon maaf.., karena selama ini aku telah membohongi kamu
Bab 150: Hei, Tunggu! “Mana? Mana dia? Mana laki-laki bersepeda itu? Duh! Sudah beberapa hari ini aku menunggu dia. Ah, sayang sekali, aku tidak pernah lagi melihat laki-laki bersepeda yang biasanya sering berada di lampu merah ini. Padahal, aku merasa kangen dengan dia.”“Oh, Ningsiiiih.., Ningsih! Kamu ini bagaimana sih?? Eh, iya,ya? Aku ini bagaimana sih, kok bisa-bisanya merasa kangen pada orang asing, yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. Dan lagi, aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya!”“Entahlah, Mas Joko., entahlah.., entah apa yang aku rasakan sekarang. Kamu tahu? Hari ini adalah untuk yang kesekian kalinya aku turun dari bus metro, dan terus mengambil duduk di pinggir trotoar. Aku berharap lelaki bersepeda itu muncul di perempatan lampu m
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.