Home / Romansa / Susahnya Jadi Mas Joko / Bab 145: Mimpi Yang Terputus

Share

Bab 145: Mimpi Yang Terputus

Author: Ayusqie
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bab 145: Mimpi Yang Terputus

Setelah lelaki berparas baby face itu turun dari panggung, dan tak lama sosoknya menghilang di ujung jalan sana.., 

Resti pingsan!

Aku segera menyambar tubuh Resti sebelum jatuh dan terhempas. Syukurlah aku berhasil menangkapnya lalu membawanya turun dan meletakkan tubuhnya di pangkuanku. Seketika saja suasana menjadi heboh, riuh, dan gaduh. Ada pula yang menjerit-jerit histeris dan salah satunya adalah Mama.

“Ada apa?”

“Kenapa??”

“Astagfirullahal adzim, Ya Allah, kenapa Mas Joko??”

Entah siapa-siapa saja yang naik ke atas panggung, dan entah siapa-siapa saja yang melemparkan pertanyaan barusan. Aku merasa begitu panik sampai tidak menyadari Alex yang juga tiba-tiba sudah berada di sampingku.

“Ada apa, Ko?? Resti kenapa??” tanya dia dengan paniknya.

Dia, dan juga semua orang menanyakan s

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 146: Kasak-kusuk

    Bab 146:Kasak-kusuk Aku bangkit perlahan, dan segera menoleh ke arah pintu kamar pengantin yang telah terbuka. Melihat itu, tiba-tiba saja hatiku berdebar. Aku merasa takjub, gembira, namun juga sekaligus merasa penasaran.Terbukanya pintu kamar Resti itu tidak lebar, sedikit saja, dan menampakkan seberkas cahaya dari lampu kamar yang seakan merasa bebas karena bisa keluar dari dalam sana. Secara perlahan aku lalu bangkit dari sofa yang aku tiduri tadi, lalu berjalan menuju kamar Resti, kamar istriku itu. Namun, ketika sampai di dalam kamar, aku tidak menemukan apa-apa selain kekosongan. Resti tidak ada di dalam kamar.“Oh, mungkin dia ada di dalam kamar mandi,” pikirku.Maka kuteruskan langkahku kembali menuju ke kamar mandi yang letaknya ada di pojok. Yang kudapati berikutnya adalah, pintu kamar mandi tidak terkunci. Setelah kudorong pintu itu dan melongok ke dalamnya, ternyata tidak ada

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 147: Luntur

    Bab 147:Luntur Ketika adzan Subuh berkumandang, sampailah kami semua pada satu kesimpulan yang membuatku merasa berada di awang-awang. Resti hilang!Apakah ia diculik? Jika benar diculik maka siapakah orang biadab itu yang tega menculik Resti? Apa dasarnya ia melakukan kejahatan itu? Apa motifnya? Dan bagaimana..,Duh, aku dan kami semua sekeluarga bahkan tidak berani menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sekarang ini aku hanya bisa pasrah.Ya Allah, malapateka apa lagi ini yang Engkau berikan kepadaku? Tidakkah sekarang ini Engkau sedang bercanda? Tidakkah sekarang ini Engkau sedang melakukan sebuah “prank” untuk aku?Aku terduduk lemas di sofa, menutupi wajahku dengan kedua tangan dan menumpukan siku di atas pahaku. Lalu dengan wajah yang tertutup telapak

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 148: Pengkhianatan

    Bab 148:Pengkhianatan “Susuk ini akan luntur atau musnah secara otomatis, tepat ketika kamu nanti mengucapkan ijab kabul waktu menikah.”Darahku mendesir, lalu seketika mampat hingga membuat aku tercekat. Kata-kata Ki Ageng Gemblung itu terus saja mengiang-ngiang di telingaku. Semakin kusimak kata perkatanya semakin terasa ada yang menikam di ulu hatiku. Sakit, sakit sekali.Ternyata, Resti tidak benar-benar mencintai aku! Ternyata semua perhatian dan rasa sayang yang ia berikan selama ini kepadaku adalah semu! Ia melakukan semua itu tidak dengan hati sanubarinya yang fitri. Karena sesungguhnya ia berada di bawah pengaruh susuk pemikat yang ada di diriku! Susuk yang bahkan telah kulupa pernah memilikinya! Susuk yang telah musnah sejak aku mengucapkan ijab kabul kemar

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 149: Yang Menyakitkan

    Bab 149:Yang Menyakitkan Benarkah pesan di ponselku ini berasal dari Resti?? Ah, bagaimana mungkin??Pada urutan terakhir pada daftar pesan yang belum kubaca, aku menemukan sebuah nomor asing yang tidak tersimpan di memori ponselku, dengan sedikit cuplikan isi pesan dari kata-katanya yang pertama. Cepat aku membuka pesan itu dan segera membaca keseluruhan isinya.“Mas Joko, maafkan aku. Maafkan jika kata-kataku ini menyakiti kamu.., dan percayalah, ini juga menyakiti aku. Pada akhirnya.., aku sadar bahwa kamu tidak pantas mendapatkan istri yang kotor macam aku ini. Sungguh, aku memohon padamu, maafkanlah diriku ini yang tidak sempurna untuk kamu.”“Kamu terlalu baik untuk aku, Mas Joko. Sangat, sangat.., kamu sangat baik. Aku yang sudah tidak suci ini merasa tidak layak untuk menjadi pendamping kamu. Sungguh, sekali lagi aku memohon maaf.., karena selama ini aku telah membohongi kamu

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 150: Hei, Tunggu!

    Bab 150: Hei, Tunggu! “Mana? Mana dia? Mana laki-laki bersepeda itu? Duh! Sudah beberapa hari ini aku menunggu dia. Ah, sayang sekali, aku tidak pernah lagi melihat laki-laki bersepeda yang biasanya sering berada di lampu merah ini. Padahal, aku merasa kangen dengan dia.”“Oh, Ningsiiiih.., Ningsih! Kamu ini bagaimana sih?? Eh, iya,ya? Aku ini bagaimana sih, kok bisa-bisanya merasa kangen pada orang asing, yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. Dan lagi, aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya!”“Entahlah, Mas Joko., entahlah.., entah apa yang aku rasakan sekarang. Kamu tahu? Hari ini adalah untuk yang kesekian kalinya aku turun dari bus metro, dan terus mengambil duduk di pinggir trotoar. Aku berharap lelaki bersepeda itu muncul di perempatan lampu m

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 151: Air Mata Mama

    Bab 151:Air Mata Mama Ini adalah catatan para pria dan ini juga adalah prinsip yang aku anut. Bahwa sebagai laki-laki, aku harus menjaga kehormatanku. Aku harus mempertahankan apa yang secara sah telah menjadi milikku. Sebab, laki-laki macam apa aku ini jika membiarkan istrinya dibawa lari oleh orang lain, dinikahi di tempat lain, dan, dan.., lalu ditiduri.., oh, betapa kisruhnya hatiku jika membayangkan hal itu.Maka bagiku, tidak ada kehormatan bagi seorang laki-laki yang telah membawa lari istri orang lain. Ajaran agama yang paling tua sekalipun telah melarang itu. Bahkan, melamar seorang gadis yang telah dilamar oleh pria lain juga tidak boleh.Saking geramnya, aku bahkan telah membuat perhitungan khusus dengan lelaki jahanam yang bernama Farel itu. Jika bertemu dan jika mem

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 152: Depresi

    Bab 152:Depresi“Sejak kapan Mas cinta aku?”“Aku tidak tahu, Resti.”“Kenapa tidak tahu?”“Misterius, rasa cinta itu datang diam-diam. Tahu-tahu, eee.., aku kangen saja.”“Sampai kapan?”“Maksud kamu?”“Mas sadar kan bahwa wanita akan mengalami banyak perubahan fisik..,”“Lalu?”&

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 153: Racun Tikus

    Bab 153:Racun Tikus Minuman yang ketiga ini adalah.., racun tikus?? Iya! Benar, ada gambar tikusnya!“Silahkan, Ko, silahkan diminum,” kata Alex padaku.Lalu dengan sikap cueknya yang kali ini sedikit aneh ia menyelonjorkan kaki di lantai kamarku, mengambil ponsel dari saku celana, dan sebentar kemudian ia mendengus-dengus menahan geli, membaca-baca berita lucu yang mungkin ada di layar ponselnya itu.Aku melirik dia sekilas, lalu menelan ludah. Entahlah, entah apa maksud dia sekarang. Pikiran sinting si mantan gembala ini terkadang begitu sulit untuk aku terka. Teringat dia yang dulu pernah mengusik sarang tawon, yang membuat aku juga harus berlari pontang-panting menyelamatkan diriku dan juga dirinya yang tenggelam di sungai, beeuh, rasanya ingin sekali aku menguncir rambutnya yang keriting itu dengan seribu karet gelang. Biar makin keriting tentu saja.“Pergi ke toko membel

Latest chapter

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 231: Sang Penari

    Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 230: Tamu Tak Diundang

    Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 229: Anak Menantu di Dalam Foto

    Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 228: Nama Asli Sahabat

    Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 227: Ampuni Aku, Ibu

    Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 226: Burung Bangau

    Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 225: Kabar dari Tetangga

    Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 224: Perbincangan di Jalan Tol

    Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 223: Tiket ke Surga

    Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.

DMCA.com Protection Status