Bab 146: Kasak-kusuk
Aku bangkit perlahan, dan segera menoleh ke arah pintu kamar pengantin yang telah terbuka. Melihat itu, tiba-tiba saja hatiku berdebar. Aku merasa takjub, gembira, namun juga sekaligus merasa penasaran.
Terbukanya pintu kamar Resti itu tidak lebar, sedikit saja, dan menampakkan seberkas cahaya dari lampu kamar yang seakan merasa bebas karena bisa keluar dari dalam sana. Secara perlahan aku lalu bangkit dari sofa yang aku tiduri tadi, lalu berjalan menuju kamar Resti, kamar istriku itu. Namun, ketika sampai di dalam kamar, aku tidak menemukan apa-apa selain kekosongan. Resti tidak ada di dalam kamar.
“Oh, mungkin dia ada di dalam kamar mandi,” pikirku.
Maka kuteruskan langkahku kembali menuju ke kamar mandi yang letaknya ada di pojok. Yang kudapati berikutnya adalah, pintu kamar mandi tidak terkunci. Setelah kudorong pintu itu dan melongok ke dalamnya, ternyata tidak ada
Bab 147:Luntur Ketika adzan Subuh berkumandang, sampailah kami semua pada satu kesimpulan yang membuatku merasa berada di awang-awang. Resti hilang!Apakah ia diculik? Jika benar diculik maka siapakah orang biadab itu yang tega menculik Resti? Apa dasarnya ia melakukan kejahatan itu? Apa motifnya? Dan bagaimana..,Duh, aku dan kami semua sekeluarga bahkan tidak berani menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sekarang ini aku hanya bisa pasrah.Ya Allah, malapateka apa lagi ini yang Engkau berikan kepadaku? Tidakkah sekarang ini Engkau sedang bercanda? Tidakkah sekarang ini Engkau sedang melakukan sebuah “prank” untuk aku?Aku terduduk lemas di sofa, menutupi wajahku dengan kedua tangan dan menumpukan siku di atas pahaku. Lalu dengan wajah yang tertutup telapak
Bab 148:Pengkhianatan “Susuk ini akan luntur atau musnah secara otomatis, tepat ketika kamu nanti mengucapkan ijab kabul waktu menikah.”Darahku mendesir, lalu seketika mampat hingga membuat aku tercekat. Kata-kata Ki Ageng Gemblung itu terus saja mengiang-ngiang di telingaku. Semakin kusimak kata perkatanya semakin terasa ada yang menikam di ulu hatiku. Sakit, sakit sekali.Ternyata, Resti tidak benar-benar mencintai aku! Ternyata semua perhatian dan rasa sayang yang ia berikan selama ini kepadaku adalah semu! Ia melakukan semua itu tidak dengan hati sanubarinya yang fitri. Karena sesungguhnya ia berada di bawah pengaruh susuk pemikat yang ada di diriku! Susuk yang bahkan telah kulupa pernah memilikinya! Susuk yang telah musnah sejak aku mengucapkan ijab kabul kemar
Bab 149:Yang Menyakitkan Benarkah pesan di ponselku ini berasal dari Resti?? Ah, bagaimana mungkin??Pada urutan terakhir pada daftar pesan yang belum kubaca, aku menemukan sebuah nomor asing yang tidak tersimpan di memori ponselku, dengan sedikit cuplikan isi pesan dari kata-katanya yang pertama. Cepat aku membuka pesan itu dan segera membaca keseluruhan isinya.“Mas Joko, maafkan aku. Maafkan jika kata-kataku ini menyakiti kamu.., dan percayalah, ini juga menyakiti aku. Pada akhirnya.., aku sadar bahwa kamu tidak pantas mendapatkan istri yang kotor macam aku ini. Sungguh, aku memohon padamu, maafkanlah diriku ini yang tidak sempurna untuk kamu.”“Kamu terlalu baik untuk aku, Mas Joko. Sangat, sangat.., kamu sangat baik. Aku yang sudah tidak suci ini merasa tidak layak untuk menjadi pendamping kamu. Sungguh, sekali lagi aku memohon maaf.., karena selama ini aku telah membohongi kamu
Bab 150: Hei, Tunggu! “Mana? Mana dia? Mana laki-laki bersepeda itu? Duh! Sudah beberapa hari ini aku menunggu dia. Ah, sayang sekali, aku tidak pernah lagi melihat laki-laki bersepeda yang biasanya sering berada di lampu merah ini. Padahal, aku merasa kangen dengan dia.”“Oh, Ningsiiiih.., Ningsih! Kamu ini bagaimana sih?? Eh, iya,ya? Aku ini bagaimana sih, kok bisa-bisanya merasa kangen pada orang asing, yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. Dan lagi, aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya!”“Entahlah, Mas Joko., entahlah.., entah apa yang aku rasakan sekarang. Kamu tahu? Hari ini adalah untuk yang kesekian kalinya aku turun dari bus metro, dan terus mengambil duduk di pinggir trotoar. Aku berharap lelaki bersepeda itu muncul di perempatan lampu m
Bab 151:Air Mata Mama Ini adalah catatan para pria dan ini juga adalah prinsip yang aku anut. Bahwa sebagai laki-laki, aku harus menjaga kehormatanku. Aku harus mempertahankan apa yang secara sah telah menjadi milikku. Sebab, laki-laki macam apa aku ini jika membiarkan istrinya dibawa lari oleh orang lain, dinikahi di tempat lain, dan, dan.., lalu ditiduri.., oh, betapa kisruhnya hatiku jika membayangkan hal itu.Maka bagiku, tidak ada kehormatan bagi seorang laki-laki yang telah membawa lari istri orang lain. Ajaran agama yang paling tua sekalipun telah melarang itu. Bahkan, melamar seorang gadis yang telah dilamar oleh pria lain juga tidak boleh.Saking geramnya, aku bahkan telah membuat perhitungan khusus dengan lelaki jahanam yang bernama Farel itu. Jika bertemu dan jika mem
Bab 152:Depresi“Sejak kapan Mas cinta aku?”“Aku tidak tahu, Resti.”“Kenapa tidak tahu?”“Misterius, rasa cinta itu datang diam-diam. Tahu-tahu, eee.., aku kangen saja.”“Sampai kapan?”“Maksud kamu?”“Mas sadar kan bahwa wanita akan mengalami banyak perubahan fisik..,”“Lalu?”&
Bab 153:Racun Tikus Minuman yang ketiga ini adalah.., racun tikus?? Iya! Benar, ada gambar tikusnya!“Silahkan, Ko, silahkan diminum,” kata Alex padaku.Lalu dengan sikap cueknya yang kali ini sedikit aneh ia menyelonjorkan kaki di lantai kamarku, mengambil ponsel dari saku celana, dan sebentar kemudian ia mendengus-dengus menahan geli, membaca-baca berita lucu yang mungkin ada di layar ponselnya itu.Aku melirik dia sekilas, lalu menelan ludah. Entahlah, entah apa maksud dia sekarang. Pikiran sinting si mantan gembala ini terkadang begitu sulit untuk aku terka. Teringat dia yang dulu pernah mengusik sarang tawon, yang membuat aku juga harus berlari pontang-panting menyelamatkan diriku dan juga dirinya yang tenggelam di sungai, beeuh, rasanya ingin sekali aku menguncir rambutnya yang keriting itu dengan seribu karet gelang. Biar makin keriting tentu saja.“Pergi ke toko membel
Bab 154:Berkat Kata Larangan Maka cepat kuambil botol racun tikus, membuka segel dan tutup lantas meminumnya.“Jangan, Ko! Yang itu asli!” “Aaaakh..!” pekikku spontan menjauhkan botol racun tikus dari mulutku. Fiuh, untung saja aku belum sempat meminumnya.“Semprul kamu, Lex!” makiku.“Hahaha..!” Alex tertawa. “Kunyuk kamu!” makiku lagi. “Kalau aku mati, bagaimana?”“Mati? Gitu aja kok repot. Ya dipendam!”