Bab 154: Berkat Kata Larangan
Maka cepat kuambil botol racun tikus, membuka segel dan tutup lantas meminumnya.
“Jangan, Ko! Yang itu asli!”
“Aaaakh..!” pekikku spontan menjauhkan botol racun tikus dari mulutku. Fiuh, untung saja aku belum sempat meminumnya.
“Semprul kamu, Lex!” makiku.
“Hahaha..!” Alex tertawa.
“Kunyuk kamu!” makiku lagi. “Kalau aku mati, bagaimana?”
“Mati? Gitu aja kok repot. Ya dipendam!”  
Bab 155:Champion Cup Lain dari usaha Alex itu, ternyata Charles juga telah menginisiasi sebuah rencana untuk membantuku bangkit dari keterpurukanku ini. Charles tidak sendiri. Bersama dia juga ada Hengky dan Mas Yadin. Bertepatan sekali momen itu dengan sebuah gelaran turnamen voli akbar nan megah, yang diselenggarakan oleh dua institusi, dan sekaligus dengan sokongan dana dari sebuah perusahaan minyak dan gas yang sangat ternama di Indonesia ini.Singkatnya, dalam rangka kampanye anti narkoba, Kepolisian Daerah dan sebuah dinas kepemudaan telah bekerjasama untuk menyelenggarakan sebuah turnamen voli, dengan sponsorship penuh dari perusahaan Migas—minyak dan gas—tadi. Sebagai gambaran, perusahaan Migas yang aku maksud di sini adalah pemilik sumur-sumur minyak di provinsi Riau di mana salah satunya adalah penghasil minyak menta
Bab 156:Zahyuh, Rasakan Ini! Sayup-sayup di antara gemuruh ribuan penonton, aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku! “Joko! Jokoooo..!”Aku menoleh-noleh mencari asal suara. Siapakah dia? Batinku bertanya-tanya. Oh, tidak, ternyata tidak ada. Sekali lagi aku menoleh mencari-cari untuk memastikan. Ternyata memang tidak ada. Mungkin ini hanya halusinasiku saja, sebagai imbas dari sugesti yang diberi Charles beberapa waktu yang lalu bahwa aku mungkin saja menemukan jodoh di sini.Halah! Siapalah aku ini?! Hanya seorang perantau di kota Bandar Baru yang tak memiliki kerabat ataupun saudara. Siapa juga yang akan mengenal aku di antara ribuan penonton ini? Selain sahabat kampus, atau teman di eks tempat pekerjaan, baik Sinergi Laras maupun Benua Trada, aku rasa tidak ada.Aku tampil di ajang Champion Cup ini dengan wajah yan
Bab 157:Onde Mande Dia segera turun dari tribun penonton, lalu berlari-lari kecil menuju ke arahku. Tidak salah lagi, dia adalah.., Lucious Renata, alias Ibu Lusi, alias Lo Rena!Untuk beberapa detik aku hanya bisa terperangah, mendapati si tuan putri nan cantik anak bungsu dari Bapak Sugih Singadimeja sang pemilik Benua Trada Group yang telah sampai di depanku ini. Aku gugup pada todongan mata orang-orang yang datang dari berbagai arah, di mana ujung dari semua itu mengerucut pada sosok Lo Rena, yang dengan begitu sumringahnya dia.., “Hai, Joko. Apa kabar?” Ia menyapaku, dan suaranya samar-samar lindap di antara gemuruh ribuan penonton yang sebagiannya mulai berduyun-duyun keluar gedung.
Bab 158:Trofi “Ngomong-ngomong, istri kamu tidak ikut ke sini?”Jleb! Begitu rasanya di dalam hatiku ini. Dadaku langsung sesak, jiwaku langsung mobat-mabit, dan keceriaan di wajahku segera sirna. Ada jeda satu atau dua detik antara aku dan Lo Rena. Dan untunglah aku tidak harus menjawab pertanyaannya yang terakhir itu. Karena kemudian, dua orang bule sahabat Lo Rena yang ada di tribun tadi ternyata telah turun, dan sekarang sedang berjalan ke arah kami berdua.“Heii..! Come here!” sambut Lo Rena dengan ceria pada sahabatnya itu, satu laki-laki dan satu perempuan. Beberapa saat mereka berbincang dengan sangat antusias, tentu saja menggunakan bahasa asing yang sayangnya aku hanya paham di bagian ujungnya saja; wesewess!Lo Rena kemudian saling memperkenalkan kami. Sedikit kikuk aku pun menyalami mereka satu persatu.“Jessica,” sebut si bule p
Bab 159:Yang Galau di Lampu Merah “Hari ini, entah untuk yang ke berapa kalinya aku duduk lagi di trotoar, di sebuah bangku di bawah pohon peneduh, tidak jauh dari perempatan lampu merah yang biasa dilalui oleh laki-laki bersepeda misterius yang membuatku penasaran dan juga ingin berkenalan itu.”“Kadang-kadang aku merasa jengkel. Karena penampakan dia di perempatan lampu merah ini seperti.., apa namanya? Penjual pulsa? Maksudku begini, ketika aku sedang dalam perjalanan entah kemana dan sedang tidak ingin membeli pulsa, aku melihat banyak sekali penjual pulsa yang bertebaran di sepanjang tepi jalan.”“Tetapi, suatu ketika aku ingin membeli pulsa, eeeh.., aku tidak melihat satu konter pun yang menjual pulsa. Nah, begitu. Sama juga ceritanya dengan tukang tambal ban, penjual bensin eceran, tukang siomay kelil
Bab 160:Kisah Si Duran Tanpa terasa, hari terus berganti. Tujuh sekawan si Senin, si Selasa, si Rabu sampai si Minggu datang dan pergi. Sudah pun pergi, eee.., tahu-tahu datang lagi, dan terus begitu silih berganti. Kemudian datanglah minggu, disusul dengan minggu yang lain. Tak ingin ketinggalan datang juga bulan.Sudah berapa lamakah ini? Sejak aku meninggalkan kota kelahiranku? Sejak aku dipecat dari pekerjaanku di Sinergi Laras? Sejak aku ditinggalkan Resti?Usiaku belum lagi genap dua puluh lima, dan aku sudah menyandang status sebagai duda.Mengenaskan sebenarnya. Tetapi, acapkali aku merasa tersanjung dengan sebutan dari Alex yang ia tujukan kepadaku. “Hei, Duren!”
Bab 161:Antara Ciputat dan Tangerang BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..,Walaupun sisa kontrak kamar kosku masih menyisakan beberapa bulan, tetapi aku sudah tidak tinggal di kos jalan Ikhlas itu lagi. Sekarang aku tinggal di sebuah ruko dua lantai yang tergolong sederhana di bilangan Pasir Emas. Jauh, lumayan jauh dari pusat kota Bandar Baru, tetapi tidak terlalu jauh dari tempat kerja Alex. Ini artinya, semakin jauh dari rumah mantan ibu mertuaku, Tante Resmi itu.Sebenarnya, secara administratif lokasi ruko yang aku kontrak ini sudah termasuk wilayah kabupaten Kampar. Namun secara jarak justru lebih dekat dengan kotamadya Bandar Baru. Ini seperti Ciputat yang dimiliki Tangerang walaupun kenyataannya lebih dekat dengan Jakarta Selatan. Entah ya, aku belum pernah ke Jakarta. Tetapi kata orang sih, begitu.Rukoku ini terletak
Bab 162:Pertemuan Yang Mengharukan Tiba-tiba saja, aku mendengar sebuah panggilan yang sayup-sayup sampai di telingaku. Suaranya timbul tenggelam di antara deru aneka kendaraan yang melintas di jalan raya.“Mas!”“Maaass..!”“Mas Joko..!”Serentak aku hentikan langkah, dan balikkan badan untuk melihat seseorang yang memanggilku barusan. Siapakah dia? Tanyaku dalam hati. Aku mengerutkan dahi dan juga menyipitkan mata. Sorot matahari yang kemerahan membuat aku sedikit tersilaukan.Aku melihat seorang perempuan yang berlari-lari kecil ke arahku. Dia memakai celana training, bersepatu kets warna putih dan berkaos oblong. Rambutnya sebahu, dikuncir kuda, dan bergoyang kanan-kiri seirama dengan langkah kakinya yang tergesa