Bab 150: Hei, Tunggu!
“Mana? Mana dia? Mana laki-laki bersepeda itu? Duh! Sudah beberapa hari ini aku menunggu dia. Ah, sayang sekali, aku tidak pernah lagi melihat laki-laki bersepeda yang biasanya sering berada di lampu merah ini. Padahal, aku merasa kangen dengan dia.”
“Oh, Ningsiiiih.., Ningsih! Kamu ini bagaimana sih?? Eh, iya,ya? Aku ini bagaimana sih, kok bisa-bisanya merasa kangen pada orang asing, yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. Dan lagi, aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya!”
“Entahlah, Mas Joko., entahlah.., entah apa yang aku rasakan sekarang. Kamu tahu? Hari ini adalah untuk yang kesekian kalinya aku turun dari bus metro, dan terus mengambil duduk di pinggir trotoar. Aku berharap lelaki bersepeda itu muncul di perempatan lampu m
Bab 151:Air Mata Mama Ini adalah catatan para pria dan ini juga adalah prinsip yang aku anut. Bahwa sebagai laki-laki, aku harus menjaga kehormatanku. Aku harus mempertahankan apa yang secara sah telah menjadi milikku. Sebab, laki-laki macam apa aku ini jika membiarkan istrinya dibawa lari oleh orang lain, dinikahi di tempat lain, dan, dan.., lalu ditiduri.., oh, betapa kisruhnya hatiku jika membayangkan hal itu.Maka bagiku, tidak ada kehormatan bagi seorang laki-laki yang telah membawa lari istri orang lain. Ajaran agama yang paling tua sekalipun telah melarang itu. Bahkan, melamar seorang gadis yang telah dilamar oleh pria lain juga tidak boleh.Saking geramnya, aku bahkan telah membuat perhitungan khusus dengan lelaki jahanam yang bernama Farel itu. Jika bertemu dan jika mem
Bab 152:Depresi“Sejak kapan Mas cinta aku?”“Aku tidak tahu, Resti.”“Kenapa tidak tahu?”“Misterius, rasa cinta itu datang diam-diam. Tahu-tahu, eee.., aku kangen saja.”“Sampai kapan?”“Maksud kamu?”“Mas sadar kan bahwa wanita akan mengalami banyak perubahan fisik..,”“Lalu?”&
Bab 153:Racun Tikus Minuman yang ketiga ini adalah.., racun tikus?? Iya! Benar, ada gambar tikusnya!“Silahkan, Ko, silahkan diminum,” kata Alex padaku.Lalu dengan sikap cueknya yang kali ini sedikit aneh ia menyelonjorkan kaki di lantai kamarku, mengambil ponsel dari saku celana, dan sebentar kemudian ia mendengus-dengus menahan geli, membaca-baca berita lucu yang mungkin ada di layar ponselnya itu.Aku melirik dia sekilas, lalu menelan ludah. Entahlah, entah apa maksud dia sekarang. Pikiran sinting si mantan gembala ini terkadang begitu sulit untuk aku terka. Teringat dia yang dulu pernah mengusik sarang tawon, yang membuat aku juga harus berlari pontang-panting menyelamatkan diriku dan juga dirinya yang tenggelam di sungai, beeuh, rasanya ingin sekali aku menguncir rambutnya yang keriting itu dengan seribu karet gelang. Biar makin keriting tentu saja.“Pergi ke toko membel
Bab 154:Berkat Kata Larangan Maka cepat kuambil botol racun tikus, membuka segel dan tutup lantas meminumnya.“Jangan, Ko! Yang itu asli!” “Aaaakh..!” pekikku spontan menjauhkan botol racun tikus dari mulutku. Fiuh, untung saja aku belum sempat meminumnya.“Semprul kamu, Lex!” makiku.“Hahaha..!” Alex tertawa. “Kunyuk kamu!” makiku lagi. “Kalau aku mati, bagaimana?”“Mati? Gitu aja kok repot. Ya dipendam!” 
Bab 155:Champion Cup Lain dari usaha Alex itu, ternyata Charles juga telah menginisiasi sebuah rencana untuk membantuku bangkit dari keterpurukanku ini. Charles tidak sendiri. Bersama dia juga ada Hengky dan Mas Yadin. Bertepatan sekali momen itu dengan sebuah gelaran turnamen voli akbar nan megah, yang diselenggarakan oleh dua institusi, dan sekaligus dengan sokongan dana dari sebuah perusahaan minyak dan gas yang sangat ternama di Indonesia ini.Singkatnya, dalam rangka kampanye anti narkoba, Kepolisian Daerah dan sebuah dinas kepemudaan telah bekerjasama untuk menyelenggarakan sebuah turnamen voli, dengan sponsorship penuh dari perusahaan Migas—minyak dan gas—tadi. Sebagai gambaran, perusahaan Migas yang aku maksud di sini adalah pemilik sumur-sumur minyak di provinsi Riau di mana salah satunya adalah penghasil minyak menta
Bab 156:Zahyuh, Rasakan Ini! Sayup-sayup di antara gemuruh ribuan penonton, aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku! “Joko! Jokoooo..!”Aku menoleh-noleh mencari asal suara. Siapakah dia? Batinku bertanya-tanya. Oh, tidak, ternyata tidak ada. Sekali lagi aku menoleh mencari-cari untuk memastikan. Ternyata memang tidak ada. Mungkin ini hanya halusinasiku saja, sebagai imbas dari sugesti yang diberi Charles beberapa waktu yang lalu bahwa aku mungkin saja menemukan jodoh di sini.Halah! Siapalah aku ini?! Hanya seorang perantau di kota Bandar Baru yang tak memiliki kerabat ataupun saudara. Siapa juga yang akan mengenal aku di antara ribuan penonton ini? Selain sahabat kampus, atau teman di eks tempat pekerjaan, baik Sinergi Laras maupun Benua Trada, aku rasa tidak ada.Aku tampil di ajang Champion Cup ini dengan wajah yan
Bab 157:Onde Mande Dia segera turun dari tribun penonton, lalu berlari-lari kecil menuju ke arahku. Tidak salah lagi, dia adalah.., Lucious Renata, alias Ibu Lusi, alias Lo Rena!Untuk beberapa detik aku hanya bisa terperangah, mendapati si tuan putri nan cantik anak bungsu dari Bapak Sugih Singadimeja sang pemilik Benua Trada Group yang telah sampai di depanku ini. Aku gugup pada todongan mata orang-orang yang datang dari berbagai arah, di mana ujung dari semua itu mengerucut pada sosok Lo Rena, yang dengan begitu sumringahnya dia.., “Hai, Joko. Apa kabar?” Ia menyapaku, dan suaranya samar-samar lindap di antara gemuruh ribuan penonton yang sebagiannya mulai berduyun-duyun keluar gedung.
Bab 158:Trofi “Ngomong-ngomong, istri kamu tidak ikut ke sini?”Jleb! Begitu rasanya di dalam hatiku ini. Dadaku langsung sesak, jiwaku langsung mobat-mabit, dan keceriaan di wajahku segera sirna. Ada jeda satu atau dua detik antara aku dan Lo Rena. Dan untunglah aku tidak harus menjawab pertanyaannya yang terakhir itu. Karena kemudian, dua orang bule sahabat Lo Rena yang ada di tribun tadi ternyata telah turun, dan sekarang sedang berjalan ke arah kami berdua.“Heii..! Come here!” sambut Lo Rena dengan ceria pada sahabatnya itu, satu laki-laki dan satu perempuan. Beberapa saat mereka berbincang dengan sangat antusias, tentu saja menggunakan bahasa asing yang sayangnya aku hanya paham di bagian ujungnya saja; wesewess!Lo Rena kemudian saling memperkenalkan kami. Sedikit kikuk aku pun menyalami mereka satu persatu.“Jessica,” sebut si bule p
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.