All Chapters of KUBELI KESOMBONGAN IPARKU: Chapter 71 - Chapter 80

87 Chapters

Bab 71. Mata Hati Dila Tertutup

Aku pernah mendapatkan satu pelajaran, dimana membicarakan perihal balasan di dunia. Tuhan punya cara untuk membuat manusia tersadar dengan membenturkan satu masalah yang setidaknya menjadikan seseorang berkaca. Saat ini Mas Gerry merasa ini adalah buah dari apa yang pernah ia lakukan selama ini, adiknya mengalami hal yang serupa dengan wanita yang dipermainkan olehnya. Meskipun sejujurnya aku tidak menyukai kepribadian Mbak Dila, dan merasakan pantas ia diperlakukan seperti itu dengan suaminya, tapi aku tidak membenarkan juga dengan apa yang dilakukan oleh Mas Gerry. Alasan apa pun, selingkuh itu tetap dilarang karena jatuhnya perzinahan. Namun, setiap manusia berhak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Mungkin pilihan Calista dan Hesti sudah benar, menjalani hidup masing-masing dan mencari laki-laki yang benar-benar tulus mencintai bukan karena darah daging mereka yang tumbuh dalam rahim perempuan. Dikarenakan sudah ada Mas Gerry di rumah sakit, akhirnya aku pamit untuk me
Read more

Bab 72. Peristirahatan Terakhir

"Pah, ada apa ini? Jangan buat aku penasaran," timpalku dengan tangan bergetar. "Eyang meninggal dunia, Nilam," jawab papa membuatku lemas seketika. Memang eyang sudah tua, sering sakit-sakitan, tapi aku belum sempat jenguk semenjak papa ke sana. Air mata tak terasa berlinang, teringat pesannya sewaktu aku kecil dulu. "Nilam, kalau kamu nanti hidup berumah tangga, jangan lupa bersosialisasi dengan tetangga, kalau ada yang sakit kamu jenguk. Kita hidup di tengah-tengah lingkungan mereka, harus tahu jika ada salah seorang yang sakit bahkan meninggal," kata eyang seperti itu. "Nilam," panggil papa membuyarkan lamunanku. "Ya, Pah," sahutku. "Arlan gimana? Apa kamu bisa terbang ke sini untuk antar Eyang ke peristirahatan terakhirnya?" tanya papa. Aku nggak mungkin melewatkan hal ini, jadi memang harus izin pada Mas Arlan untuk terbang ke Kalimantan. "Iya, Pah. Aku ke sana, Om Farhan gimana?" tanyaku lagi. "Kamu sudah dibelikan tiket oleh Farhan, nanti dia jemput di rumah sakit, set
Read more

Bab 73. Ada Apa dengan Pengacara Kiara?

"Lupa, ya? Aku Dimas, mantan suaminya Kiara." Dia memperkenalkan dirinya lebih dulu. Aku benar-benar lupa dengan wajahnya, jauh berbeda saat kulihat dia melalui foto di sosial media. Dimana laki-laki itu masih terlihat culun sekali. "Eh bukan lupa, tapi kita kan memang belum pernah jumpa, aku pernah tahu kabar Kiara cerai juga dari pemberitaan sosial media," sanggahku padanya. "Tapi, kok kamu kenal aku?" tanyaku gantian. "Kenal dari Kiara, aku sempat bantuin dia neror kamu, maaf ya," celetuknya membuatku menghela napas sambil geleng kepala. Ternyata selama ini Kiara neror aku dibantu olehnya, mantan suaminya. "Aku laporin polisi juga ya, mau?" tanyaku agak mengancam. "Jangan, aku sadar hanya dimanfaatkan oleh Kiara dan Om Rifat, makanya kusudahi semuanya, untung tidak terlampau jauh aku ikut dalam kejahatan yang ia buat," jelasnya lagi. "Terus, kamu ngapain di sini? Lari dari masalah atau gimana? Aku lapor ya," ancamku lagi. Sebenarnya ancaman ini hanya menutupi rasa takutku, kha
Read more

Bab 74. Permintaan Maaf Palsu

"Angkat, Nilam," suruh papa. "Tapi jangan bilang macam-macam, Papa sudah sewa pengacara juga kok," kata papa lagi. Aku segera mengangkat telepon darinya, mungkin ada hal penting yang harus orang itu katakan. "Halo," ucapku padanya. "Halo, Nilam, apa kabar?" timpal orang yang di seberang sana, suara itu ternyata suara Kiara. Berati pengacara itu sedang berada di penjara. "Hemm, tentu baik, ngapain Anda telepon saya?" tanyaku heran. "Aku ingin minta maaf, Nilam, maafkan segala kesalahanku, jujur saja aku khilaf," ungkap Kiara membuatku tambah keheranan. Sebab kami tidak saling bertatap muka, jadi tidak tahu sebenarnya Kiara tulus atau tidak. "Khilaf? Tapi dua kali loh, apa papamu juga khilaf?" cecarku merasa aneh. "Aku benar-benar nggak tahu kalau papa melakukan hal yang sama, tolong maafkan aku ya," lirih Kiara. Aku terdiam bertanya pada papa dan Mas Arlan dengan bahasa isyarat bibir dikomat-kamit. "Kalau aku sudah maafkan, lalu apa lagi?" tanyaku seperti menantang. "Nggak ad
Read more

Bab 75. End Season 1

Bab 75Aku mengubah posisi yang tadinya santai menyandar, kini duduk tegak sambil membaca isi berita yang dikirim salah satu kerabat dari Calista. Di layar ponsel ditulis di sosial media berwarna biru bahwa Calista dan Mas Hendra dikabarkan meninggal dunia ketika hendak menyebrang kapal laut ke arah Lampung. Berita duka kapal tenggelam yang diberitakan kemarin sore ternyata ada Calista dan Mas Hendra dalam daftar penumpang. "Inalilahiwainnailaihi rojiun, apa Mas Gerry tahu kabar ini?" tanyaku bicara sendirian sambil terus mencari kebenarannya. Aku scroll kolom komentar, ternyata berita duka itu benar, jasad masih dalam pencarian tim SAR. Ternyata Calista berniat mau tinggal di kampung dengan sang kakak. Kemungkinan karena jika di Jogjakarta, Mas Gerry masih dengan mudah mengunjunginya. Mas Arlan menghampiri, lalu menanyakan kenapa aku kelihatan shock. Ia tahu betul raut wajah sang istri. Lalu aku ceritakan semuanya, ia sempat tidak percaya, tapi di kolom komentar, sanak saudara ba
Read more

Bab 76. Season 2 Telah Dimulai

Kami pulang bersama, karena persidangan akan ditunda. Mama dan Hesti sudah pulang lebih dulu, mereka ingin mencari keberadaan Mas Gerry. Entahlah apa yang mereka ingin perbuat, yang terpenting korban dan saksi yang tadi sudah hadir bisa menjadi pertimbangan hakim, meskipun vonisnya nanti tidak menyenangkan hati, sebab setahuku pengacara yang digandeng oleh Kiara adalah pengacara terbaik, dan selalu memenangkan perkara. Di parkiran, aku bertemu dengan Pak Denis, pengacaranya Kiara, ia menyunggingkan senyuman semringah. Kami masuk tanpa bicara lagi dengannya. Pikiran ini berkecamuk, bercampur aduk, apa mereka akan bebas tanpa dihukum? Bukankah sudah jelas bahwa mereka semua bersalah? Penusukan yang dilakukan anak buahnya Danang, seharusnya memberatkan hukuman mereka. "Sudahlah, jangan pikirin masalah ini, hukuman mereka biar hakim yang putuskan, kalau tidak memuaskan, biar Tuhan yang menghukumnya nanti," ungkap papa sambil mengelus rambutku. "Iya, kamu fokus dengan bayi kita aja," k
Read more

Bab 77. Disumpahin Dila

"Mas, Mbak Calista kan tenggelam karena musibah," sanggahku menolak disalahkan. Mas Gerry terdiam sejenak tapi setelah itu langsung menutup kaca mobilnya dan melaju begitu saja. Astaga, baru kali ini ada orang yang tak peduli dengan ucapanku dan meninggalkan aku tanpa permisi lagi.Mana keluar dari rumah untuk mencariku, ia menghampiri dengan langkah setengah berlari. "Kamu ini ngapain sih ngejar mobil orang?" tanya mama. "Itu Mas Gerry, Mah, entahlah dia kenapa sampai seperti itu," ucapku padanya. Mata ini masih tertuju ke arah mobil yang masih terlihat dari kejauhan. Sesekali aku mengalihkan pandangan ke rumah berlantai dia yang dihadiahkan Kiara untuk Mbak Dila. "Sudah, masuk yuk! Nggak usah mikirin macam-macam, pokoknya kamu lagi hamil jangan mudah stress," perintah mama. Kami masuk dan kembali membuat rujak. Aku tidak boleh memikirkan masalah berat oleh mama. Namun, tetap saja kepikiran dengan nama kakak ipar. Aku termenung, masih terlintas kata-kata yang dilontarkan Mas Ge
Read more

Bab 78. Desti dan Hesti Kembali Sesat

"Ada apa, Mah?" tanya Mas Arlan. Aku coba menebak dari sini, sepertinya memang ada sesuatu terjadi. "Rumah disita oleh anteknya Kiara dan Rifat, mereka bilang rumah ini miliknya," ucap mama mertuaku membuat kami terperangah. Bagaimana bisa rumah warisan almarhum papanya Mas Arlan disita oleh Kiara dan Rifat? "Mah, kita harus lapor polisi, ini tidak bisa seenaknya begitu," jelas Mas Arlan. "Nggak akan menang, Lan, ini salah Mama, dulu perjanjian dengan Rifat adalah menikah dengannya, kalau Mam melanggar maka rumah ini jadi jaminannya, sudah tertulis di surat perjanjian," jawab Mama Desti membuat Mas Arlan menepuk keningnya. "Kalau gitu, biarkan antek-antek Rifat sita rumah itu," sahut Mas Arlan kemudian telepon pun terputus. Aku terkejut melihat Mas Arlan yang tanpa basa-basi langsung menutup telepon. Apalagi mamanya belum selesai bicara, ia berlagak cuek si hadapanku. Tangannya berada di kepala, ia menunduk dan terdiam. "Mas, kamu kenapa? Mama belum selesai bicara," ucapku pad
Read more

Bab 79. Kekacauan

"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus
Read more

Bab 80. Ketika Sang Papa Sakit

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status