Kami pulang bersama, karena persidangan akan ditunda. Mama dan Hesti sudah pulang lebih dulu, mereka ingin mencari keberadaan Mas Gerry. Entahlah apa yang mereka ingin perbuat, yang terpenting korban dan saksi yang tadi sudah hadir bisa menjadi pertimbangan hakim, meskipun vonisnya nanti tidak menyenangkan hati, sebab setahuku pengacara yang digandeng oleh Kiara adalah pengacara terbaik, dan selalu memenangkan perkara. Di parkiran, aku bertemu dengan Pak Denis, pengacaranya Kiara, ia menyunggingkan senyuman semringah. Kami masuk tanpa bicara lagi dengannya. Pikiran ini berkecamuk, bercampur aduk, apa mereka akan bebas tanpa dihukum? Bukankah sudah jelas bahwa mereka semua bersalah? Penusukan yang dilakukan anak buahnya Danang, seharusnya memberatkan hukuman mereka. "Sudahlah, jangan pikirin masalah ini, hukuman mereka biar hakim yang putuskan, kalau tidak memuaskan, biar Tuhan yang menghukumnya nanti," ungkap papa sambil mengelus rambutku. "Iya, kamu fokus dengan bayi kita aja," k
"Mas, Mbak Calista kan tenggelam karena musibah," sanggahku menolak disalahkan. Mas Gerry terdiam sejenak tapi setelah itu langsung menutup kaca mobilnya dan melaju begitu saja. Astaga, baru kali ini ada orang yang tak peduli dengan ucapanku dan meninggalkan aku tanpa permisi lagi.Mana keluar dari rumah untuk mencariku, ia menghampiri dengan langkah setengah berlari. "Kamu ini ngapain sih ngejar mobil orang?" tanya mama. "Itu Mas Gerry, Mah, entahlah dia kenapa sampai seperti itu," ucapku padanya. Mata ini masih tertuju ke arah mobil yang masih terlihat dari kejauhan. Sesekali aku mengalihkan pandangan ke rumah berlantai dia yang dihadiahkan Kiara untuk Mbak Dila. "Sudah, masuk yuk! Nggak usah mikirin macam-macam, pokoknya kamu lagi hamil jangan mudah stress," perintah mama. Kami masuk dan kembali membuat rujak. Aku tidak boleh memikirkan masalah berat oleh mama. Namun, tetap saja kepikiran dengan nama kakak ipar. Aku termenung, masih terlintas kata-kata yang dilontarkan Mas Ge
"Ada apa, Mah?" tanya Mas Arlan. Aku coba menebak dari sini, sepertinya memang ada sesuatu terjadi. "Rumah disita oleh anteknya Kiara dan Rifat, mereka bilang rumah ini miliknya," ucap mama mertuaku membuat kami terperangah. Bagaimana bisa rumah warisan almarhum papanya Mas Arlan disita oleh Kiara dan Rifat? "Mah, kita harus lapor polisi, ini tidak bisa seenaknya begitu," jelas Mas Arlan. "Nggak akan menang, Lan, ini salah Mama, dulu perjanjian dengan Rifat adalah menikah dengannya, kalau Mam melanggar maka rumah ini jadi jaminannya, sudah tertulis di surat perjanjian," jawab Mama Desti membuat Mas Arlan menepuk keningnya. "Kalau gitu, biarkan antek-antek Rifat sita rumah itu," sahut Mas Arlan kemudian telepon pun terputus. Aku terkejut melihat Mas Arlan yang tanpa basa-basi langsung menutup telepon. Apalagi mamanya belum selesai bicara, ia berlagak cuek si hadapanku. Tangannya berada di kepala, ia menunduk dan terdiam. "Mas, kamu kenapa? Mama belum selesai bicara," ucapku pad
"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
"Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen
"Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo
Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,