Semua Bab Kamu Berulah, Waspadalah!: Bab 121 - Bab 130

224 Bab

Lanjutan Tak Terima. 45

Aku, Papa dan Gibran sudah meluncur ke rumah Emak. Papa yang mengemudikan mobil ini. Aku perhatikan Gibran, dia terlihat sedang memantau layar pipihnya. Sorot matanya terlihat fokus. Entah apa yang dia mainkan. Mungkin membuka akun sosial media yang dia punya. "Gibran, gimana di sini betah nggak?" tanya Papa Aksa. Kuperhatikan, Gibran terlihat nyengir mendapati pertanyaan seperti itu. Karena mendapatkan pertanyaan dari kakeknya, Gibran terlihat mematikan layar gawainya. Kemudian menatap ke arah kakeknya yang sedang mengemudi. "Emm, betah, Kek," jawab Gibran. Nada suaranya memang tak bisa dibohongi. Kalau dia memang nyaman tinggal di sini. "Serius?" Papa masih terus meyakinkan. "Iya. Enak kok di sini," jawab Gibran. Ya, selama dalam perjalanan, kami memang ngobrol santai. Sungguh hati ini sangat bahagia sekali. "Kalau betah di sini, tinggal di sini saja bersama Kakek," pinta Papa. Kutelan ludah ini sejenak. Kulirik Gibran dia terlihat menggigit bibir bawahnya. "Emm, kasihan Mama
Baca selengkapnya

46

Bab 46Mutlak Takdir"Mak, Bu Putri sudah di dalam perjalanan menuju ke sini," aku baru saja memberitahu Emak. Ya, aku dan anak-anak baru saja sampai. Emak mendengar itu, matanya terlihat membelalak."Serius?" tanya Emak memastikan. Kuanggukan kepala ini belah."Serius, Mak. Makanya Ratih ke sini," jawabku."Alhamdulillah, bagaimana keadaannya, sehat kan?" balas dan tanya balik Emak. Kuanggukan kepala ini cepat."Sangat sehat. Apalagi Gibran, besarnya Ganteng banget," jawabku."Syukurlah, Emak senang sekali dengarnya," jawab Emak. Kuanggukan kepala ini cepat. Karena aku sendiri juga sangat senang mereka datang. Bahkan aku tetap berharap, mereka lama di sini, atau bahkan tak kembali lagi."Iya, Mak. Ratih pun sangat senang," balasku."Assalamualaikum." Tiba-tiba terdengar suara salam. Segera aku menoleh ke arah pintu."Waalaikum salam, nah itu mereka," balasku seraya menjawab salam Bu Putri. Emak terlihat dengan cepat beranjak. Dengan langkah tergesa-gesa ia segera melangkah mendekati
Baca selengkapnya

Mutlak Takdir. 47

"Kamu nggak mau cerita-cerita masalahmu denganku? Atau memang nggak ada masalah? Nampaknya sih memang nggak ada masalah, ya?" tanya dan terka Bu Putri. Ditanya seperti itu kutelan ludah ini sejenak. Kemudian mengulas senyum.Kok bisa dia menerka hidupku tak ada masalah? Ah, Bu Putri ini ada-ada saja.Ya, kami sudah rebahan di ranjang. Hanya berdua. Jadi memang bisa leluasa untuk bercerita. Sungguh aku sangat menunggu sekali waktu-waktu ini. Kami sama-sama saling memandang langit-langit kamar. Benar-benar merasa punya kakak perempuan kandung."Apakah aku tampak sehat-sehat saja?" tanyaku balik. Bola mata kami saling beradu pandang. Bu Putri terlihat mencebikan bibirnya."Entahlah," balasnya pelan. Seketika kening ini mengerut. Dia kemudian menatap langit-langit kamar lagi. Aku masih menoleh ke arahnya."Hah?" Ya, aku bingung mencerna ucapan Bu Putri itu. Kenapa dia tak bisa menilaiku? Biasanya dia paling peka terhadap ekspresi wajahku ini."Aku tak bisa menilaimu lebih sekarang. Karena
Baca selengkapnya

Permintaan maaf. 48

Bab 48Permintaan MaafAkhirnya aku bisa ketemu lagi dengan keluarga Emak. Sangat lama memang kami tak bertemu. Selama ini hanya lewat video call saja. Itu pun hanya cerita-cerita masalah sepele saja. Tak pernah cerita masalah yang berat. Karena tak mau menambahkan masalah yang telah ada. Aku dan Ratih sekarang ada di kamar. Rebahan diatas ranjang. Hanya berdua. Nostalgia sejenak. Mengenang dan membayangkan cerita masa lalu. Cukup asyik juga kalau di kenang. Terkadang kenangan masa lalu yang sangat buruk kala itu, jika sekarang di ceritakan ulang, justru malah tertawa terbahak-bahak. "Yakin nggak mau cerita?" tanyaku memastikan. Karena Ratih memang belum menanggapi pertanyaanku tadi, entah apa yang ia pikirkan. Ratih terlihat menghela napas panjang. Seolah sedang mencerna. Atau sedang mau mengalihkan pembicaraan. "Emm, sebelum aku jawab pertanyaan ibu tadi, aku boleh minta maaf dulu, Bu? Karena biar hati ini bisa plong gitu," sahutnya. Seketika kening ini melipat. Mencerna sejenak
Baca selengkapnya

Next 49

Kutarik napas ini sejenak. Sengaja aku sedikit membuang muka. Biar dia tambah kebingungan. Walau sebenarnya hati ini nggak tega. Ya, tega nggak tega pokoknya. "Kamu tadi ngomong apa? Coba diingat-ingat dan coba di cerna dan pahami!" pintaku. Aku kerjai dia dulu ajalah. Ekspresinya terlihat gugup. Kasihan banget. Tapi kapan lagi, kan? Mumpung ketemu. Kalau aku udah balik ke Malaysia, entah kapan lagi aku bisa pulang ke sini. Pun sebaliknya. Faktanya selama ini, nggak bisa kami saling menjenguk. Entah karena apa. Yang jelas garis dari Allah sudah begini. Manusia hanya wayang bukan? Yang siap di mainkan oleh dalangnya. "Emm, maaf selama Ibu di Malaysia, saya tak pernah ke sana. Sekali pun," ucap Ratih mengulang kata itu. Pengen aku ketawa rasanya. Dia nurut sekali dengan perintahku. Berarti dia benar-benar merasa tak enak hati denganku. Tapi aku masih bisa kok menahan rasa ingin ketawa ini. Sabar dulu bentar ya Ratih! Aku mau kerjai kamu dulu. "Paham nggak? Apa itu artinya kalau nggak
Baca selengkapnya

Jawaban Pertanyaan. 50

Bab 50Jawaban Pertanyaan"Panjang banget, sih, Bu, pertanyaannya? Aku sampai harus mengingat-ingat tapi akhirnya tak ingat juga, terus harus jawab apa aku ini? Pertanyaannya aja nggak ingat," ledekku. Sengaja biar keadaan tak menegangkan seperti ini. Karena memang niatnya ingin ngobrol santai. Tapi semakin ke sini kok ngobrol berat. Bu Putri menyeringai. Nampaknya gemes aku ngomong seperti itu. Matanya terlihat ia putar begitu saja. Aku tahu dia sudah tak sabar menunggu pertanyaan itu dijawab. "Aku itu udah kenal kamu lumayan lama. Kamu itu cerdas. Nggak mungkin nggak bisa mengingat, pertanyaanku juga nggak panjang," balas Bu Putri. Kutelan ludah ini sejenak. Kemudian manggut-manggut begitu saja. Lebih tepatnya sedikit meledek lagi. "Duh ... senang sekali aku dipuji seperti itu," balasku. Bu Putri mencebikan mulutnya. Aku sedikit mengulas senyum. "Kamu nggak usah nyelimur, Ratih! Aku kenal kamu. Jangan mengalihkan pembicaraan! Ayok cepet dijawab!" balas Bu Putri. Nampaknya dia me
Baca selengkapnya

Lanjutan. 51

"Saya kenal betul Pak Maftuh. Orangnya sangat baik dan tak tegaan. Mungkin dia tak tega melihat Bima tak kamu ijinkan untuk ketemu anaknya. Karen Pak Maftuh juga seorang ayah. Mungkin dia memposisikan diri. Bisa aku bayangkan, bagaimana nelangsanya wajah Bima. Jadi mungkin Pak Maftuh terkena itu," ucap Bu Putri sesuai dengan pemikiran dia. Ya, tapi ucapan Bu Putri memang ada benarnya juga. "Mungkin," lirihku. "Ya ... dan kamu sangat bersyukur bisa memiliki cinta Pak Maftuh," ledek Bu Putri. Ya, aku tahu dia meledekku. Karena dia iringi dengan kedipan mata sebelah. Apalagi kalau itu tidak meledekku?"Ibu ini ..." balasku seraya menepuk pelan pahanya. Yang ditepuk nampaknya puas banget. "Ha ha ha," akhirnya meledak juga tawa Bu Putri. "Ha ha ha," aku pun akhirnya ikut tertawa. Kami sama-sama saling melempar tawa. Ya, kurasa cukup sampai di sini bercerita masalah Mas Bima dan Azkia ini. Yang jelas, aku siap maju paling depan, demi kebahagiaan Azkia. Cukup dia menderita saat masih ke
Baca selengkapnya

Kelamaan. 52

Bab 52Kelamaan"Assalamualaikum." tiba-tiba terdengar suara salam. Seketika kami semua menoleh ke asal suara itu. "Hah? Kamu?" ucapku seraya telunjuknya menunjuk ke arah yang salam. Bukan hanya aku saja yang menganga, Ratih pun juga ikut menganga. Yang aku tunjuk wajahnya hanya terlihat nyengir saja. Kutelan ludah ini sejenak. Kemudian menggigit bibir bawah sejenak. Menata hati terlebih dahulu. Lagi aku bertemu dengan seseorang yang pernah hadir di masa laluku. Itu rasanya sangat berbeda. Rasanya tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Aku perhatikan seseorang yang pernah singgah di masa laluku. Alhamdulillah dia terlihat sangat sehat. Syukurlah!"Waalaikum salam," balas Ratih. Ya, Ratih yang menjawab. Karena aku masih sibuk dengan hati dan pikiran ini. "Loh kapan sampai Indonesia?" tanya Budi. Ya, yang adalah Budi. Kakak kandung Ratih. Ia datang sendirian. Tak ada aku melihat anak dan istrinya. "Hai," balasku seraya mengulurkan tangan. Sengaja aku belum menjawab pertanyaannya
Baca selengkapnya

Next. 53

"Ya Allah ... lelah sekali rasanya!" keluhku setelah sampai rumah Papa. Kurebahkan punggung ini di sofa. Bukan hanya aku saja nampaknya. Gibran juga mengikuti. Dia juga terlihat sangat lelah. Mengikuti ke mana pun aku pergi. Sungguh dia anak yang sangat baik. Ya, aku sudah berpindah-pindah tempat. Berpindah-pindah rumah. Sekarang sampai rumah sudah larut malam. Kutatap langit-langit. Meluruskan badan yang terasa keras. Bertemu dengan orang-orang di masa lalu, sungguh ada kebahagiaan tersendiri. Apalagi melihat kehidupan mereka jauh lebih baik dari pada yang lalu, cukup membuatku ikut senang. Ikut bersyukur dengan rejeki yang Allah berikan. "Udah malam ini, nggak ingin istirahat?" tanya Papa. Aku mengulas senyum memaksakan. Senyum lelah sebenarnya. Ya karena memang sangat lelah, tapi jujur hati ini memang belum ingin tidur. "Bentar lagi, Pa," jawabku. "Kamu, Bran?" tanya Papa juga seraya memandang kearah cucunya. Gibran mengulas senyum. Nampaknya sih juga senyum paksaan. Wajahnya
Baca selengkapnya

Syarat Dan Janji. 54

Bab 54Syarat dan Janji"Ma," sapa Azkia. Seketika aku menoleh ke anak gadisku. Dia terlihat berdiri tak jauh dariku. "Iya?" balasku. Azkia mendekat begitu saja. Kemudian dia memilih duduk tak jauh dariku. Terlihat dia sedang memainkan sepuluh jemarinya. Biasanya kalau dia begitu, ada hal yang ingin dia sampaikan. Kami sekarang ada ruang TV. Mas Maftuh sudah pulang, tapi karena terlihat sangat lelah, selesai mandi dan makan dia langsung memilih untuk tidur lebih cepat. Karena kerjaan hari ini, katanya cukup menyita semuanya. Baik menyita waktu dan juga badan pikiran. Semoga lelahnya menjadi berkah untuknya. "Mama belum ngantuk?" tanya Azkia. Kepala ini menggeleng pelan. Karena aku memang belum ngantuk. Masih asyik nonton drama di Youtube. "Belum, ada apa?" jawab dan tanyaku balik. Karena Mas Maftuh sudah tidur, akhirnya Farel pun juga ikut tidur lebih cepat. Jadi tinggal aku dan Azkia yang masih belum memejamkan mata. Farel memang begitu. Tapi kalau papanya belum tidur, dia juga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1112131415
...
23
DMCA.com Protection Status