"Itukan masalah umur, Ma. Kalau masalah wajah dan body, wajah Mama itu nggak banyak berubah. Tetap saja kelihatan muda di mata Kia," jelas Kia. Cukup membuatku tertawa mendengarnya. "Kamu bisa aja ... ini muji Mama, pasti kamu ada mau, mau minta sesuatu kan?" terkaku lagi, seraya sedikit meledeknya. Azkia terlihat sedikit memonyongkan bibirnya. Mungkin memang ada yang ingin disampaikan. Tapi mungkin malu atau tak berani. Atau bisa juga dia masih merancang dan merangkai kata-kata. "Hayo, ngaku sama Mama! Kamu kenapa? Mau minta apa?" tanyaku lagi. Azkia terlihat menghela napas panjang. Kemudian semakin terlihat nyengir. "Emm, anaknya Bu Putri baik, ya, Ma," balas Azkia. Benar-benar nggak nyambung dengan pertanyaanku. Nggak tahu apa maksudnya. Mungkin dia ingin membahas Gibran? Tapi susah dan malu untuk memulai. Bisa jadi, kan?Tapi, ok, lah. Aku harus menanggapinya. Aku tahu dan merasa kalau dia mengalihkan pembicaraan. Tapi biarlah. Dari pada nanti dia malah menjauh dan tak mau ber
Bab 56Terkejut"Gimana caranya aku bisa dapat uang dengan cepat?" gerutuku ngomong sendiri. Karena memang tak ada teman. Di saat kere seperti ini, benar-benar tak ada orang yang mau mendekat. Seolah pada pura-pura tak kenal. Ya, aku benar-benar merasa sendiri. Sungguh sangat sepi. Pusing dengan kehidupanku sekarang. Miris sekali. Aku pusing memikirkan bagaimana caraku untuk membayar hutang ke Mami Marka. Hanya itu sebenarnya. Sungguh dunia ini aku rasakan tak adil. Sangat tak adil. Kenapa hidup orang lain enak-enak saja. Sedangkan hidupku seperti ini rasanya? Nelangsa. Untuk bertahan hidup saja, harus minjem ke rentenir. Astaga ... sungguh aku benar-benar kesal. Sangat kesal. Kesal dengan takdir hidupku ini. Ingin marah tapi nggak tahu mau marah sama siapa. Cukup membuat semakin sesak. Tapi, sebenarnya aku sangat ingin marah dengan Ratih. Gara-gara dia aku tak bisa ketemu dengan anakku. Andaikan aku bisa ketemu Azkia, mungkin aku bisa sedikit memanfaatkan dia. Setidaknya bisa aku
Aku tinggal di rumah lama. Rumah yang sangat kusam karena sama sekali tak pernah tersentuh renovasi. Warna cat dinding sudah sangat kusam. Karena memang belum pernah aku cat ulang lagi. Jangankan mikir untuk renovasi rumah, untuk makan saja aku bingung. Harus berhutang dan berhemat sedemikian rupa. Karena kalau tak punya duit sama sekali, benar-benar tak enak sama sekali. Rumah yang dulu terlihat bagus, sekarang seperti rumah tak berpenghuni. Dulu di rumah ini, walau hanya nasi putih selalu ada. Sekarang? Perabotan dapur sebagian sudah pada berkarat. Jadi tak bisa di gunakan lagi. Rumah ini sekarang hampa, sepi dan senyap. Tak ada kepulan asap masakan dapur. Tak ada suara gesekan lantai dan sapu. Tiba-tiba aku merindukan itu. Rindu? Ya aku sangat merindukan kenangan di masa lalu. Ingin sekali aku putar kembali. Sekarang aku hidup sendiri. Terkadang jika malam datang, hanya di temani oleh suara-suara hewan yang di rumah ini. ********************************Waktunya makan malam. A
Bab 58Permintaan"Bran, yakin nggak ingin tinggal sama kakek di sini? Yakin nggak mau kenal lebih dekat lagi sama cewek secantik Azkia? Beneran yakin?" ledek Papa. Cukup membuatku terkejut Papa bertanya seperti itu ke cucunya. Kuperhatikan Gibran. Yang ditanya terlihat nyengir. Nampaknya dia sedang menutupi rasa malu. Karana wajahnya terlihat memerah. Tak seperti biasanya. "Ish ... Kakek ini apaan, lah ...." sahut Gibran. Kemudian dia membenahi posisinya. Kemudian ekspresinya terlihat berbeda. "Loh, bukanya tadi kalian sangat ....""Kakek! Please!" potong Gibran gitu saja. Cukup membuatku penasaran akut. "Ok! ok!" balas Papa. Ekspresinya memang terlihat berbeda. Jelas dia seolah sedang meledek cucunya. Tapi masalah apa?Hah? Ada apa? Ada apa antara Gibran dengan Azkia? Aku nampaknya ketinggalan info. Apa karena aku tadi kelamaan di kamar Ratih? Jadi aku tau tahu bagaimana keadaan di luar kamar. Aku asyik dengan Ratih. Aku asyik dengan diriku sendiri. Masa' iya begitu?"Ada apa, s
Bang Thomas itu emang baik, tapi dia memang seperti itu. Memang harus sering-sering diarahkan, agar bisa saling berbasa-basi sejenak. Karena dia tipikal orang yang langsung to the point saja. "Papa sehat," jawabku singkat, seraya aku menatap ke cermin. Mihat wajahku sendiri. Kutempelkan gawia ini di telingaku. "Kalau Gibran, dia baik-baik saja, kan?" tanyanya lagi. Dia memang sangat perlu untuk diajarkan berbasa-basi terlebih dahulu. Memang ada sebagian orang tak suka basa-basi. Tapi tidak denganku sekarang."Alhamdulillah sehat juga. Aku sendiri juga sehat, Abang sendiri bagaimana keadaannya? Sudah makan?" jawab dan tanyaku balik. Dia memang belum ada tanya kabar dan keadaanku. Tapi biarlah seperti itu. "Sudah tadi," jawabnya singkat. Kuhela panjang napas ini. Manusia di dunia ini memang tak ada yang sempurna. Kalau menginginkan suami yang baik, pengertian, romantis, perhatian, tampan dan tajir, mungkin seribu satu. Itu pun belum tentu ada juga. Begitu juga dengan Bang Thomas.
Bab 60SyaratTanpa buang waktu lagi, aku segera melangkah mendekati perempuan yang aku bilang mirip dengan Sukma. Tapi aku sangat yakin kalau perempuan itu adalah sukma. Siapa tau ketemu dia, hidupku tak sengsara banget. Walau tak bisa dia membayari hutang-hutangku, setidaknya aku bisa lepas untuk makan. Tak memikirkan bagaimana untuk terus bisa mengganjal perut. Bisa nebeng makan dengan dia. Walau hidup Sukma miris, tapi nampaknya tak semiris hidupku lah. Dia masih tetap bisa makan tanpa harus berhutang. Tak seperti denganku ini?Sabar! Sebentar lagi aku tak pusing mikirin masalah makan. Secara aku tahu kelemahan Sukma. Semoga perempuan yang aku lihat ini, benar-benar Sukma. Jadi aku bisa sedikit beraksi untuk melancarkan rencana yang masih tertunda ini. "Sukma?" sapaku terlebih dahulu. Ya aku sudah ada didekatnya sekarang. Seketika perempuan itu menoleh ke arahku. Matanya terlihat membelalak. Matanya sangat terlihat membulat sempurna. "Kamu???" balasnya dengan telunjuk tangan,
Siang ini aku sengaja menunggu di gerbang sekolah Azkia. Ya, beberapa hari ini aku ada membuntuti Ratih saat mengantar Azkia sekolah. Azkia di sekolahkan di sekolah terfavorit di sini. Ratih ternyata sangat mampu. Bagus sekali nasib dia. Sungguh sangat jauh berbeda dengan nasibku.Nasib Ratih bagus, karena dia dinikahi oleh Pak Maftuh. Jika tidak, mungkin sama-sama seperti nasibku ini. Kalau nasib Ratih tak bagus, tak mungkin dia mampu menyekolahkan Azkia di sekolah terfavorit. Jadi menyesal aku dulu meninggalkan Ratih, justru memilih Sukma. Karena faktanya, Sukma sama sekali tak setia denganku. Arrgghh ... kala itu aku hanya menuruti nafsu saja. Sungguh aku menyesal. Sangat menyesal. Jika waktu bisa diputar kembali, sungguh aku ingin memutarnya. Aku ingin setia kepada Ratih. Aku tak ingin juga bermain api dengan Sukma. Kesalahan terbodoh di masa lalu adalah, bermain api dengan Sukma. Aku memandang pintu gerbang sekolah. Masih sepi belum ada satu pun siswa yang keluar. Tapi seben
Bab 62Cerita Azkia"Menurutmu, bagaimana dengan Gibran? Dia baik?" tanyaku balik. Azkia manggut-manggut. Bingung mau ngomong apa lagi. "Sangat Baik, Ma, bahkan dia juga asyik kok. Nggak ngebosenin juga," balasnya. Kugigit bibir bawah ini. Sumpah aku menyesal rasanya nggak melihat mereka pendekatan. "Terus?" tanyaku untuk lebih tahu informasi lagi. Azkia melirikku. "Terus apanya?" dengan polosnya Azkia tanya seperti itu. Kutelan ludah ini sejenak. Hemm ... Azkia memang masih sangat polos."Ya terus apa yang kalian obrolkan?" jelasku. Azkia terlihat mengulas senyum, terlihat jelas kalau dia lagi malu-malu. "Ih, Mama kepo ...." balas Azkia dengan entengnya. Cukup membuatku sedikit menganga Azkia jawab seperti itu. Astaga ... sungguh aku nyesal sekali tadi terlalu lama ngobrol di dalam bersama Bu Putri. "Terus Mama nggak boleh tahu?" tanyaku balik. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya. "Kalau Kia cerita, Mama mau janji sesuatu nggak?" tanya balik Azkia. Seolah mengajukan syarat
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda