Siang ini aku sengaja menunggu di gerbang sekolah Azkia. Ya, beberapa hari ini aku ada membuntuti Ratih saat mengantar Azkia sekolah. Azkia di sekolahkan di sekolah terfavorit di sini. Ratih ternyata sangat mampu. Bagus sekali nasib dia. Sungguh sangat jauh berbeda dengan nasibku.Nasib Ratih bagus, karena dia dinikahi oleh Pak Maftuh. Jika tidak, mungkin sama-sama seperti nasibku ini. Kalau nasib Ratih tak bagus, tak mungkin dia mampu menyekolahkan Azkia di sekolah terfavorit. Jadi menyesal aku dulu meninggalkan Ratih, justru memilih Sukma. Karena faktanya, Sukma sama sekali tak setia denganku. Arrgghh ... kala itu aku hanya menuruti nafsu saja. Sungguh aku menyesal. Sangat menyesal. Jika waktu bisa diputar kembali, sungguh aku ingin memutarnya. Aku ingin setia kepada Ratih. Aku tak ingin juga bermain api dengan Sukma. Kesalahan terbodoh di masa lalu adalah, bermain api dengan Sukma. Aku memandang pintu gerbang sekolah. Masih sepi belum ada satu pun siswa yang keluar. Tapi seben
Bab 62Cerita Azkia"Menurutmu, bagaimana dengan Gibran? Dia baik?" tanyaku balik. Azkia manggut-manggut. Bingung mau ngomong apa lagi. "Sangat Baik, Ma, bahkan dia juga asyik kok. Nggak ngebosenin juga," balasnya. Kugigit bibir bawah ini. Sumpah aku menyesal rasanya nggak melihat mereka pendekatan. "Terus?" tanyaku untuk lebih tahu informasi lagi. Azkia melirikku. "Terus apanya?" dengan polosnya Azkia tanya seperti itu. Kutelan ludah ini sejenak. Hemm ... Azkia memang masih sangat polos."Ya terus apa yang kalian obrolkan?" jelasku. Azkia terlihat mengulas senyum, terlihat jelas kalau dia lagi malu-malu. "Ih, Mama kepo ...." balas Azkia dengan entengnya. Cukup membuatku sedikit menganga Azkia jawab seperti itu. Astaga ... sungguh aku nyesal sekali tadi terlalu lama ngobrol di dalam bersama Bu Putri. "Terus Mama nggak boleh tahu?" tanyaku balik. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya. "Kalau Kia cerita, Mama mau janji sesuatu nggak?" tanya balik Azkia. Seolah mengajukan syarat
Pagi ini aku sudah mempersiapkan untuk sarapan anak dan suami. Walau ada asisten rumah tangga, tapi aku tetap ikut terjun. Tak puas rasanya, kalau badan ini tak langsung ikut terjun. "Azkia ingin ke Malaysia," ucapku pagi ini seraya menikmati segelas teh hangat. Aku lihat keningnya melipat. Mungkin dia sedang mencerna. "Hah?" balasnya. Mungkin dia tak percaya dengan apa yang aku sampaikan. Ku seruput lagi teh hangat ini. Dia pun juga. Ekspresinya terlihat sedikit berbeda. "Iya, Azkia ingin tahu Malaysia," ucapku lagi, seraya meletakan gelas ini ke meja. "Kenapa dia ingin ke sana?" tanya balik Mas Maftuh. Kuhela sejenak napas ini. "Katanya sih di ceritain sama Gibran, eh, Gibran menawari untuk Kia main ke sana, dia tertarik. Menurut Mas gimana?" jelas dan tanyaku balik. Mas Maftuh terlihat menelan ludah sejenak. Kemudian dia menyeruput lagi teh hangatnya. "Kalau sama keluarga Bu Putri, Mas sangat percaya, karena mereka memiliki rasa tanggung jawab penuh, nggak akan mungkin bera
Bab 38Hama"Ngapain di sini?" tanya Ratih dengan nada suara yang terdengar sangat ketus. Kutelan ludah ini sejenak. Terus mengontrol diri sendiri."Emm, aku menunggu Azkia, aku sangat rindu dan ijinkan aku untuk ngobrol dengan Azkia sebentar saja!" jawabku. Terus berusaha merendah. Terus berusaha menundukkan kepala. Karena aku memang sudah berniat ingin mendekati Azkia terlebih dahulu.Bibirnya terlihat mengulas senyum menjatuhkan. Sungguh jika aku punya duit banyak, ingin sekali aku membalas senyuman menjatuhkan seperti yang ia lakukan itu saat ini. Sungguh menyebalkan sekali."Kamu mau ketemu Azkia? Hah? Aku nggak salah dengar?" ucapnya. Nada suaranya sangat terdengar meledek.Sedikit aku tarik napas ini sejenak. Terus mengontrol diri, karena degub jantung terasa berdegub tak menentu. Ingin sekali marah, tapi aku masih mati-matian menahan amarah."Aku tahu kamu marah sama aku, Ratih! Tapi kamu tak ada hak untuk memisahkan aku dengan Azkia. Azkia anakku, darah dagingku," balasku, be
Sellow Bima! Sellow! Jangan terpancing dan juga jangan nampak kalau kamu tak punya uang. Pokoknya sellow aja. Yakin itu hanya permainan dia."Luar Negeri itu jauh, jika rindu sama anak, harus keluar banyak dana, harus urus ini dan itu, tak mudah," jelasku sellow. Dia malah menyeringai menjatuhkan harga diriku lagi.Benar-benar keterlaluan ini orang. Kalau nggak mikir ada rencana yang mau aku jalankan, ingin sekali aku memakinya dengan kasar."Aku tahu dan aku nggak perduli," balasnya. Simpel tapi mematikan langkahku. Gini amat rasanya orang tak punya duit. Ingin sekali aku berkata kasar rasanya.Gimana tak mematikan langkah? Nampaknya dia sangat tahu bagaimana hidupku sekarang. Sialan!Kuatur napas ini sejenak. Agar bisa menguasai diri. Agar bisa mengontrol emosi. Kalau aku tak bisa meredam ego ini, entahlah apa yang terjadi sekarang ini. Mungkin sudah bertengkar hebat di sini. Saling adu mulut, kencang-kencangan otot."Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyaku. Tapi tetap aku bisa me
Bab 66Curhatan Gibran"Ma," sapa Gibran. Segera aku menoleh ke asal suara. Dia terlihat berdiri di pintu kamarku. Tangannya memegang pintu, pertanda dia memang baru saja membuka pintu kamar, yang memang aku tutup. Hanya ditutup saja tidak aku kunci. "Iya? Ada apa? Masuk sini!" balasku seraya memintanya untuk masuk. Melambaikan tangan agar dia segera melangkah mendekat. Gibran mengulas senyum seraya menganggukan kepalanya pelan. "Tutup lagi pintunya!" pintaku. Tanpa menanggapi Gibran langsung mengikuti apa yang aku minta. Setelah pintu ia tutup, ia segera melangkah mendekat. Gibran duduk di tepian ranjang kamarku. Telponku dengan Bang Thomas baru saja aku akhiri. Gawai juga sudah aku letakan diatas meja. Jadi sekarang aku bisa fokus dengan Gibran. Aku perhatikan ekspresinya, nampaknya dia memang sedang ada yang mau dia sampaikan. "Kenapa?" tanyaku. Karena dia kalau tak ditanya nanti akan diam terus. Ya, seperti itulah anakku. Gibran tak langsung menjawab, dia menatapku sejenak. K
"Emm ... dia kayaknya tertarik dengan cerita Gibran, kalau Gibran ajak Azkia ke Malaysia, Mama ijinkan nggak?" tanyanya balik. Aku sedikit melongo mendengarnya. Kugigit bibir bawah ini sejenak. Terus mencerna. Aku tak mau sampai salah ngomong. Kalau aku sampai salah ngomong, aku takut dia tak mau cerita apa-apa lagi denganku. Aku tak mau itu terjadi. "Kalau Mama ya suka-suka aja sih, kalau Azkia ikut kita. Karena Azkia sudah Mama anggap, seperti anak kandung Mama sendiri. Tapi kan nggak tahu, orang tuanya boleh apa nggak, Azkia kita ajak main ke Malaysia, kalau nggak boleh gimana? Kita nggak bisa memaksakan kehendak, Sayang," jelasku. Bibirnya terlihat mengulas senyum kemudian kepalanya manggut-manggut. Mungkin dia sudah merasa lega. Karena aku merasa welcome dengan ceritanya. "Iya, Ma, boleh minta tolong lagi nggak, Ma?" tanyanya lagi. Kening ini melipat. Dia sudah mulai semakin terbiasa dan mau meminta tolong lagi denganku. Aku suka itu. Karena memang itu yang aku harapkan, hubun
Bab 68Gemes Banget"Bang, boleh nggak aku ajak anaknya Ratih ke Malaysia, Azkia namanya," tanyaku kepada Bang Thomas. Suamiku. Setidaknya meminta saran dan pertimbangan suami dulu. Sebelum ngomong ke Ratih. Ya sambil siap-siap, aku telpon Bang Thomas dulu. Untuk sharing dengannya. Aku sekarang duduk di depan meja rias. Mengamati paras sendiri. Sudah semakin tua saja wajah ini. Yah, namanya anak juga sudah bujang ya. Bentar lagi juga akan punya mantu, kemudian punya cucu. Hi hi hi. Ah, mikirin apa aku ini? Halu banget akhir-akhir ini. Entahlah!"Emang orang tuanya boleh anak perempuannya di bawa ke sini? Jauh looo ...." tanya balik Bang Thomas. Kuhela panjang napas ini. Sambil terus make over wajah sendiri. Biar terlihat sedikit lebih muda. Tetap mengakui kok kalau memang sudah terlihat tua. Biar sedikit fresh gitu. "Nggak tau juga," jawabku. Bang Thomas tak langsung menanggapi. Dia diam dulu. Mungkin di sana dia lagi mencerna ucapanku ini. "Kenapa mau ngajak pulang anak orang? A
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda