Sellow Bima! Sellow! Jangan terpancing dan juga jangan nampak kalau kamu tak punya uang. Pokoknya sellow aja. Yakin itu hanya permainan dia."Luar Negeri itu jauh, jika rindu sama anak, harus keluar banyak dana, harus urus ini dan itu, tak mudah," jelasku sellow. Dia malah menyeringai menjatuhkan harga diriku lagi.Benar-benar keterlaluan ini orang. Kalau nggak mikir ada rencana yang mau aku jalankan, ingin sekali aku memakinya dengan kasar."Aku tahu dan aku nggak perduli," balasnya. Simpel tapi mematikan langkahku. Gini amat rasanya orang tak punya duit. Ingin sekali aku berkata kasar rasanya.Gimana tak mematikan langkah? Nampaknya dia sangat tahu bagaimana hidupku sekarang. Sialan!Kuatur napas ini sejenak. Agar bisa menguasai diri. Agar bisa mengontrol emosi. Kalau aku tak bisa meredam ego ini, entahlah apa yang terjadi sekarang ini. Mungkin sudah bertengkar hebat di sini. Saling adu mulut, kencang-kencangan otot."Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyaku. Tapi tetap aku bisa me
Bab 66Curhatan Gibran"Ma," sapa Gibran. Segera aku menoleh ke asal suara. Dia terlihat berdiri di pintu kamarku. Tangannya memegang pintu, pertanda dia memang baru saja membuka pintu kamar, yang memang aku tutup. Hanya ditutup saja tidak aku kunci. "Iya? Ada apa? Masuk sini!" balasku seraya memintanya untuk masuk. Melambaikan tangan agar dia segera melangkah mendekat. Gibran mengulas senyum seraya menganggukan kepalanya pelan. "Tutup lagi pintunya!" pintaku. Tanpa menanggapi Gibran langsung mengikuti apa yang aku minta. Setelah pintu ia tutup, ia segera melangkah mendekat. Gibran duduk di tepian ranjang kamarku. Telponku dengan Bang Thomas baru saja aku akhiri. Gawai juga sudah aku letakan diatas meja. Jadi sekarang aku bisa fokus dengan Gibran. Aku perhatikan ekspresinya, nampaknya dia memang sedang ada yang mau dia sampaikan. "Kenapa?" tanyaku. Karena dia kalau tak ditanya nanti akan diam terus. Ya, seperti itulah anakku. Gibran tak langsung menjawab, dia menatapku sejenak. K
"Emm ... dia kayaknya tertarik dengan cerita Gibran, kalau Gibran ajak Azkia ke Malaysia, Mama ijinkan nggak?" tanyanya balik. Aku sedikit melongo mendengarnya. Kugigit bibir bawah ini sejenak. Terus mencerna. Aku tak mau sampai salah ngomong. Kalau aku sampai salah ngomong, aku takut dia tak mau cerita apa-apa lagi denganku. Aku tak mau itu terjadi. "Kalau Mama ya suka-suka aja sih, kalau Azkia ikut kita. Karena Azkia sudah Mama anggap, seperti anak kandung Mama sendiri. Tapi kan nggak tahu, orang tuanya boleh apa nggak, Azkia kita ajak main ke Malaysia, kalau nggak boleh gimana? Kita nggak bisa memaksakan kehendak, Sayang," jelasku. Bibirnya terlihat mengulas senyum kemudian kepalanya manggut-manggut. Mungkin dia sudah merasa lega. Karena aku merasa welcome dengan ceritanya. "Iya, Ma, boleh minta tolong lagi nggak, Ma?" tanyanya lagi. Kening ini melipat. Dia sudah mulai semakin terbiasa dan mau meminta tolong lagi denganku. Aku suka itu. Karena memang itu yang aku harapkan, hubun
Bab 68Gemes Banget"Bang, boleh nggak aku ajak anaknya Ratih ke Malaysia, Azkia namanya," tanyaku kepada Bang Thomas. Suamiku. Setidaknya meminta saran dan pertimbangan suami dulu. Sebelum ngomong ke Ratih. Ya sambil siap-siap, aku telpon Bang Thomas dulu. Untuk sharing dengannya. Aku sekarang duduk di depan meja rias. Mengamati paras sendiri. Sudah semakin tua saja wajah ini. Yah, namanya anak juga sudah bujang ya. Bentar lagi juga akan punya mantu, kemudian punya cucu. Hi hi hi. Ah, mikirin apa aku ini? Halu banget akhir-akhir ini. Entahlah!"Emang orang tuanya boleh anak perempuannya di bawa ke sini? Jauh looo ...." tanya balik Bang Thomas. Kuhela panjang napas ini. Sambil terus make over wajah sendiri. Biar terlihat sedikit lebih muda. Tetap mengakui kok kalau memang sudah terlihat tua. Biar sedikit fresh gitu. "Nggak tau juga," jawabku. Bang Thomas tak langsung menanggapi. Dia diam dulu. Mungkin di sana dia lagi mencerna ucapanku ini. "Kenapa mau ngajak pulang anak orang? A
"Kamu sudah siap?" tanyaku pada Gibran. Aku berangkat berdua saja sama Gibran. Tadi aku tanya sama Papa katanya tak mau ikut. Jadi aku juga tak bisa memaksakan kehendak. Mungkin Papa capek. Maklum lah, usia beliau memang sudah tak muda lagi. "Emm, bagus nggak, Ma, pakai baju ini?" tanya Gibran. Emm, sebenarnya dia hanya pakai kaos hitam dan celana Levis. Sederhana, biasanya juga pakai begitu. Tumben dia tanya bagus apa nggak. Biasanya juga cuek-cuek saja. Bahkan tak begitu memperhatikan penampilan. Mungkin cinta monyet sedang dia rasakan. Hi hi hi. Tapi, biar dia puas, kuperhatikan dari atas sampai bawah tubuh dia. Biar dia puas tanya seperti itu. Dengan kening melipat dan mata menyipit. "Bagus, ganteng, cocok. Anak siapa dulu! Anak Mama!" balasku. Wajahnya terlihat memerah. Karena memang dia tak pernah tanya seperti itu padaku. Ini kok sampai meminta perhatian. Apa karena mau ketemu sama Azkia? Ah, nampaknya iya memang seperti itu. "Ish ... Mama!" balas Gibran. Aku mengulas senyu
Bab 70Terngiang-ngiang"Kamu hanya boleh melihatnya dari jauh, tapi nggak usah mendekat apalagi sok kenal. Lihatlah dia puas-puas, karena sebentar lagi akan aku kirim dia ke luar negeri. Tak perlu khawatir, aku tak meminta sepeser pun uang untuk biaya dia pindah sekolah, jangan pikirkan itu!" ucapnya lagi. Cukup membuatku syok. Sangat syok. Setelah ngomong seperti itu, Ratih segera berlalu. Melangkah mendekat ke arah Azkia. Ingin sekali aku ikut mendekati, tapi nyaliku ciut juga dengan semua ucapan Ratih barusan. Sialan! Dia seolah tahu isi kepalaku! Apa yang harus aku lakukan? Aku harus menggagalkan cara Ratih untuk memindahkan Azkia. Harus! Kalau tidak, bisa berantakan rencanaku, bisa semakin mati langkah untuk bertahan hidup!Tapi, apa yang harus aku lakukan?***************************Ucapan Ratih tadi, cukup membuatku kepikiran. Ucapannya terngiang-ngiang. Hati ini benar-benar merasakan sakit dengan ucapannya. Aku merasa dia menginjak-injak harga diriku sebagai seorang laki-l
"Bima bukan?" tiba-tiba telinga ini mendengar suara yang menerka namaku. Aku seketika menoleh ke asal suara. Mata ini melihat ada sosok laki-laki memakai baju santai. Kaos putih dan celana pendek. Terlihat santai tapi modis. Ah, kalau aku berduit dan ke mana-mana naik mobil, jelas style baju seperti itu juga yang aku pakai. Aku amati orang itu. Aku merasa asing. Karena penampilannya dia sangat keren. Memakai kaca hitam juga. Badannya terlihat bersih. Nampaknya aku tak kenal. Apa karena dia penampilan dia seperti itu, jadi aku yang pangling. Kalau uangku banyak, jelas aku juga terlihat tampan. "Iya saya Bima, maaf siapa?" jawab dan tanyaku balik. Karena walau sudah aku amati tetap asing di mataku. Aku tetap tak mengenali siapa dia di masa laluku. Atau mungkin dia operasi plastik, jadi aku tak bisa mengenali dia lagi. Lelaki itu mengulas senyum. Kemudian mengeluarkan tangannya. Walau agak ragu, aku tetap membalas uluran tangannya. Kami saling berjabat tangan. Ia meremas tanganku kuat
Bab 72Jalan KeluarGibran sama Azkia lagi duduk santai di teras belakang rumah. Biarlah, lagian di belakang juga ada Bibi yang sedang bersih-bersih di sana. Jadi meraka aman.Mas Maftuh belum pulang. Jadi aku bisa ngobrol santai berdua dengan Bu Putri. Kami sekarang santai di ruang TV. Aku siapkan minuman dingin dan camilan, untuk menemani kami ngobrol. Bukan hanya aku saja, Azkia dan Gibran juga disiapkan Bibi minuman dingin dan camilan. Biarkan mereka saling mengenal lebih. Biar semakin akrab. Kalaupun kelak tak berjodoh untuk menjadi suami istri, bisa menjadi saudara pun tak masalah. Karena jodoh itu mutlak kuasa Allah. Jodoh mutlak takdir dari Allah. Tak bisa dipaksakan. "Ratih, bagaimana dengan Bima?" tanya Bu Putri tiba-tiba menanyakan Mas Bima. Padahal dari tadi kami hanya ngobrol santai saja. Ngobrol ringan lah, tak ada membahas masa lalu. Yang ada bahas-bahas kerjaan di sana dan bagaimana Malaysia. Kalau ditanya Mas Bima, rasanya hati ini sesak. Nggak tahu kenapa. Terasa
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda