Bab 70Terngiang-ngiang"Kamu hanya boleh melihatnya dari jauh, tapi nggak usah mendekat apalagi sok kenal. Lihatlah dia puas-puas, karena sebentar lagi akan aku kirim dia ke luar negeri. Tak perlu khawatir, aku tak meminta sepeser pun uang untuk biaya dia pindah sekolah, jangan pikirkan itu!" ucapnya lagi. Cukup membuatku syok. Sangat syok. Setelah ngomong seperti itu, Ratih segera berlalu. Melangkah mendekat ke arah Azkia. Ingin sekali aku ikut mendekati, tapi nyaliku ciut juga dengan semua ucapan Ratih barusan. Sialan! Dia seolah tahu isi kepalaku! Apa yang harus aku lakukan? Aku harus menggagalkan cara Ratih untuk memindahkan Azkia. Harus! Kalau tidak, bisa berantakan rencanaku, bisa semakin mati langkah untuk bertahan hidup!Tapi, apa yang harus aku lakukan?***************************Ucapan Ratih tadi, cukup membuatku kepikiran. Ucapannya terngiang-ngiang. Hati ini benar-benar merasakan sakit dengan ucapannya. Aku merasa dia menginjak-injak harga diriku sebagai seorang laki-l
"Bima bukan?" tiba-tiba telinga ini mendengar suara yang menerka namaku. Aku seketika menoleh ke asal suara. Mata ini melihat ada sosok laki-laki memakai baju santai. Kaos putih dan celana pendek. Terlihat santai tapi modis. Ah, kalau aku berduit dan ke mana-mana naik mobil, jelas style baju seperti itu juga yang aku pakai. Aku amati orang itu. Aku merasa asing. Karena penampilannya dia sangat keren. Memakai kaca hitam juga. Badannya terlihat bersih. Nampaknya aku tak kenal. Apa karena dia penampilan dia seperti itu, jadi aku yang pangling. Kalau uangku banyak, jelas aku juga terlihat tampan. "Iya saya Bima, maaf siapa?" jawab dan tanyaku balik. Karena walau sudah aku amati tetap asing di mataku. Aku tetap tak mengenali siapa dia di masa laluku. Atau mungkin dia operasi plastik, jadi aku tak bisa mengenali dia lagi. Lelaki itu mengulas senyum. Kemudian mengeluarkan tangannya. Walau agak ragu, aku tetap membalas uluran tangannya. Kami saling berjabat tangan. Ia meremas tanganku kuat
Bab 72Jalan KeluarGibran sama Azkia lagi duduk santai di teras belakang rumah. Biarlah, lagian di belakang juga ada Bibi yang sedang bersih-bersih di sana. Jadi meraka aman.Mas Maftuh belum pulang. Jadi aku bisa ngobrol santai berdua dengan Bu Putri. Kami sekarang santai di ruang TV. Aku siapkan minuman dingin dan camilan, untuk menemani kami ngobrol. Bukan hanya aku saja, Azkia dan Gibran juga disiapkan Bibi minuman dingin dan camilan. Biarkan mereka saling mengenal lebih. Biar semakin akrab. Kalaupun kelak tak berjodoh untuk menjadi suami istri, bisa menjadi saudara pun tak masalah. Karena jodoh itu mutlak kuasa Allah. Jodoh mutlak takdir dari Allah. Tak bisa dipaksakan. "Ratih, bagaimana dengan Bima?" tanya Bu Putri tiba-tiba menanyakan Mas Bima. Padahal dari tadi kami hanya ngobrol santai saja. Ngobrol ringan lah, tak ada membahas masa lalu. Yang ada bahas-bahas kerjaan di sana dan bagaimana Malaysia. Kalau ditanya Mas Bima, rasanya hati ini sesak. Nggak tahu kenapa. Terasa
Tapi kalau aku tak segera mengambil keputusan, aku takut jika duluan Mas Bima yang bergerak. "Emm ... harus yakin demi kebaikan Azkia. Walau aku sendiri selama ini belum pernah pisah jauh dengan Azkia. Tapi itu pun kalau Ibu tak keberatan. Tapi kalah Bu Putri keberatan, tak usah di paksakan, Bu," jelasku. Bu Putri terlihat menarik napasnya sejenak. Kemudian meraih tanganku ini. Ia meremas tanganku dengan lembut. Sungguh aku merasakan sentuhan seorang kakak perempuan. Aku memang mempun kakak ipar. Mbak Luna. Tapi dia tentu saja tak seperti aku dengan Bu Putri. Kalau sama Mbak Luna hanya sekedar saja. Yang penting dia sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan yang dulu. "Kamu tahu kan, aku sangat menyayangi Azkia? Azkia sudah aku anggap seperti anak kandungku sendiri. Bahkan asal kamu tahu, aku memang menginginkan dia kelak berjodoh dengan Gibran. Kita selalu begurau kalau mereka anak mantu kita, tapi faktanya aku terbawa perasaan Ratih. Aku memang ingin mereka kelak menikah," uca
Bab 74Sweet Moment"Emm, kamu nggak ingin mengajakku main-main di sini?" tanyaku kepada Azkia. Yang ditanya nyengir aja. Dia terlihat sangat lugu dan polos. Selain itu dia juga cantik. "Emm ... pengen sih ngajak Kak Gibran main-main, tapi kalau hanya berdua saja, jelas nggak boleh sama Mama," balas Azkia. Aku mengulas senyum. Owh ... itu artinya dia ingin keluar bedua saja denganku. Kalau hanya berdua saja, tentu saja juga tak diijinkan oleh mamaku. "Emm, ya ngajak mamamu juga nggak apa-apa. Terus ngajak mamaku juga. Nanti kalau dibolehkan kamu ke Malaysia, akan aku ajak kamu keliling tempat wisata di sana, pokoknya aku janji kamu nggak nyesal untuk main ke sana," ucapku. Azkia mengulas senyum. Hem ... dia kalau senyum manis juga. Kami duduk santai di teras belakang. Sengaja. Karena katanya Mama mau ngobrol empat mata saja sama Tante Ratih. Makanya Mama ngirim aku pesan ke WA, untuk ajak Azkia ke teras belakang. Karena aku juga tahu, kalau Mama memang mau ngomong serius sama Tant
"Gibran, pulang yok!" ajak Mama. Seketika aku dan Azkia menoleh ke arah suara. Bukan hanya Mama saja ternyata, ternyata juga Tante Ratih ikut ke teras belakang rumah ini. Mungkin ingin memastikan anaknya baik-baik saja. Diajak Mama pulang kok rasanya males ya? Pokoknya kalau sudah sama Azkia, waktu terasa benar-benar berputar dengan cepat. Padahal masih betah banget di sini. "Nggak mau pulang?" tanya Mama, Karana aku memang belum menanggapi. Ditanya seperti itu, seketika bibir ini nyengir. Kulirik Azkia seketika. "Ya maulah, Ma ...." balasku cepat. "Kok lemes gitu diajak pulang?" ledek Mama. Asyem ... aku yakin Mama ini meledekku. Mama ini bikin aku malu aja di depan Azkia. Mana Azkia nahan senyum lagi. Ah, jadi malu ...."Ish ... apaan sih, Ma?" balasku. Kemudian aku segera beranjak. Segera melangkah mendekati Mama dan Tante Ratih. Pun Azkia. "Nginap di sini juga nggak apa-apa, Bran!" balas Tante Ratih. Amsyooong ... malu sekali rasanya. Kuhela panjang napas ini. "Makasih Tante
Bab 76Kerjaan Yang diberikan"Emm ... yakin? Nggak pekerjaan kantor lo ini," tanyanya, mungkin untuk lebih memastikan dirinya. Seketika aku manggut-manggut cepat saja. Karena aku memang sangat amat butuh pekerjaan saat ini. Karena bulan depan untuk bayar hutang Mami Marka saja aja aku sudah sangat pusing. Tak ada gambaran sama sekali. "Yakin, Li ... sangat yakin ... yang penting bisa untuk menyambung hidup," balasku. Ali terlihat mengulas senyum. "Ok," balasnya, ia terlihat mengusap wajahnya. "Apa? Pekerjaan apa yang bisa aku kerjakan?" tanyaku balik. Karena penasaran juga, kerjaan apa yang akan Ali berikan padaku. Kalau dia tak memberikan pekerjaan aku di kantor, bisa jadi dia memberikan pekerjaan aku di rumah. Jadi sopir pribadi misalnya. Hanya untuk antar jemput dia, dan mengantar dia, kemanapun dia mau pergi. "Emm ... nggak enak mau ngomongnya aku itu, takut nanti dikira meremehkan," ucap Ali. Semakin mengerut saja kening ini. Apa sih kira-kira pekerjaan yang akan di berikan
Akhirnya pelayan itu berlalu. Kuedarkan pandang. Sudah lama aku tak makan di tempat seperti ini. Setelah keluar dari penjara, aku hanya mampu beli makanan di pinggir jalan. Itu pun aku membeli makanan yang harganya sangat murah tapi bisa bikin perut kenyang. Ya, aku sudah tak memikirkan makanan enak lagi. Yang penting aku bisa berhemat dan perut kenyang. Miris sekali pokoknya. Sumpah aku ingin kembali seperti dulu lagi. Sudah tak aku enakkan lagi lidah ini. Pokoknya perut tak melilit saja. Lambung tak merasa perih. "Lama kita tak berjumpa, ya?" ucap Ali. Aku mengulas senyum. Mungkin dia hanya ingin berbasa basi. Dari pada diam saja. "Iya memang sudah lama sekali," balasku. "Selama ini kerja di mana?" tanya Ali. Nggak tahu ini hanya sekedar basa-basi, atau ada niat lain. Atau ... ah entahlah."Aku lama tak bekerja," balasku. Keningnya terlihat melipatkan. Mungkin dia sedang mencerna. "Lama tak bekerja, lalu untuk bertahan hidup gimana? Apa sudah ada uang yang datang dengan sendir
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda