Home / Fantasi / The North Compass / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of The North Compass: Chapter 21 - Chapter 30

47 Chapters

Catatan Kedua Puluh Satu: Abandoro (5)

Api merah tampak membumbung tinggi di sepanjang pinggiran hutan rindang. Baranya ganas seperti perwujudan murka dari sesosok makhluk berukuran raksasa dan berbahaya. Tak salah lagi, detik berikutnya raungan menggelegar yang mampu mengguncang langit terdengar dari balik api setinggi sepuluh meter itu.“Hati-hati!” Vice lekas menarik tangan Alvi guna menjauhkan wanita itu dari sebatang pohon yang roboh akibat sebagian batangnya dilahap sang api merah. Batang pohon yang cukup besar itu jatuh menutupi jalan di depan mereka. “Lewat sini.” Vice kemudian membawa Alvi melewati jalan lain dengan tetap memegang erat pergelangan tangan sang Putri Kematian.Alvi tidak sempat bereaksi banyak. Jika dalam kondisi normal, ia tentu saja akan menepis kasar dan melemparkan tatapan tajam penuh aura tak ber
Read more

Catatan Kedua Puluh Dua: Abandoro (6)

Pertarungan antara Acridian—sang naga tulang—dengan Nega—sang naga api—telah mencapai puncaknya. Setelah bergulat panjang dan saling melukai baik menggunakan cakar masing-masing ataupun deretan taring runcing, Nega akhirnya mendominasi pertarungan. Kedua tungkai depan bercakar tajam tampak mencengkeram kasar tulang-tulang rusuk di dada Acridian. Dengan sangat kasar Nega langsung menarik tulang-tulang itu hingga patah. Potongan daging berselaput bening yang berisi cairan serta Claudia En Lacia Ishlindisz di dalamnya tersibak. Setelah itu Nega pun menarik napas dalam-dalam sebelum menyembur ganas napas api dari mulutnya.Api dengan suhu panas derajat tinggi yang mampu melelehkan apa saja dalam sekejap mata tampak melahap rakus keseluruhan raga raksasa Acridian yang ukurannya sedikit lebih besar dibanding sosok Nega. Namun sesaat sebe
Read more

Catatan Kedua Puluh Tiga: Setelah Pertarungan Dua Naga (1)

Semburan napas api Nega yang menyerupai lava panas mendidih tidak hanya meratakan rumah pertanian Nicholas Pele, tapi juga membunuh secara instan seluruh penghuninya tanpa memberi mereka kesempatan untuk merasakan penderitaan akan kematian. Tak hanya itu, tiga perempat dari Abandoro harus ikut terkena dampak dari amukan api yang berwujud sedikit menyerupai cairan itu! Bau gosong yang keluar dari gelimpang mayat di tanah membuat indra penciuman hampir mati rasa. Berbeda sekali dengan api kematian Alvi, api milik Nega tidak melahap mangsanya hingga habis tak bersisa. Api tersebut hanyalah api-yang-tampak-normal dengan perpaduan warna merah, jingga, kuning namun memiliki tingkatan suhu tinggi hingga lebih dari 2000 derajat Celsius.  Di tengah kobaran api yang masih membara, seseorang tampak berjalan di antara sisa-sisa pertarungan dua ekor naga yang kini te
Read more

Catatan Kedua Puluh Empat: Setelah Pertarungan Dua Naga (2)

Sebuah gereja tua tampaknya cukup beruntung karena menjadi satu-satunya bangunan utuh yang lolos dari amukan api Nega. Lokasinya ada di pinggir Abandoro dan sedikit terasing dari jalan utama, maka tak heran jika hanya dia yang memiliki kondisi layak sementara rumah-rumah lain di Abandoro mengalami kerusakan yang cukup parah. Bangunan sakral ini memiliki aula luas yang memang diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Di sana ada beberapa kursi kayu panjang yang diatur berderet menghadap ke arah salib kayu besar yang digantung pada dinding di seberang pintu utama. Walau sudah ada sekian waktu ditelantarkan, namun bagian dalam gereja bisa dikatakan masih layak huni. Lapisan debu yang menutupi perabotan tidak menghalangi kehangatan yang diberikan saat orang-orang pertama kali menginjakkan kaki ke bagian dalam gereja. Di sana tersedia beberapa kamar tidur yan
Read more

Catatan Kedua Puluh Lima: Setelah Pertarungan Dua Naga (3)

Sinar matahari pagi yang terik tampaknya menembus masuk melalui setiap jendela yang dimiliki oleh bangunan gereja tua. Suhu ruangan pun mulai naik, sementara cahaya menyinari setiap inci dari interior ruangan yang malam sebelumnya terlihat remang-remang. Salah satunya adalah kamar tempat Vania dan Claudia beristirahat. Claudia En Lacia Ishlindisz menjadi yang pertama terbangun. Kaget bercampur panik sekejap melanda kala ia mendapati dirinya lagi-lagi berada di lingkungan asing. Namun rasa inferior itu sekejap sirna sewaktu melihat kakaknya, Vania En Laluna Ishlindisz, berbaring tepat di sebelah kanan di ranjang yang terpisah. Lalu di ujung kamar terlihat Vice Kyle yang sedang berdiri mematung dengan posisi memunggungi mereka. Laki-laki itu menghadap keluar jendela seolah sedang serius memikirkan sesuatu.“Vice,” panggil Claudia, dan Vice langsung berbalik. Senyum khas yang terkesan jahil tampak mengembang di wajah pria itu.“Halo, apa kabar Ishlindisz kecil pagi ini?’ tanyanya sambil
Read more

Catatan Kedua Puluh Enam: Setelah Pertarungan Dua Naga (4)

Suara tembakan beruntun dari halaman gereja tua mengusik ketenangan di pagi-pagi buta. Derap langkah cepat dan teratur menyusul berseling dengan suara-suara yang dilepas oleh senapan laras panjang tersebut. Peluru demi peluru tampak melesat gesit menembus kepala mayat hidup dan menumbangkan makhluk tanpa jiwa itu dalam kedipan mata. Dari segala arah, muncullah kelompok besar prajurit berseragam militer hijau lumut yang terus bergerak maju hingga mengepung total sekeliling bangunan gereja tua tanpa menyisakan satu pun mayat hidup. Kecuali Kirra Anggriawan yang disangka adalah manusia.Setelah wilayah itu dipastikan aman, sebuah mobil limosin hitam pun masuk ke halaman dan berhenti persis di depan pintu utama gereja. Pintu penumpang belakang dibuka oleh salah seorang prajurit dan dari dalam seorang laki-laki berusia sekitar pertengahan 30 tahun keluar. Paka
Read more

Catatan Kedua Puluh Tujuh: Keluarga Heitann (1)

Pandangan Vice dan Alvi langsung saling bertemu ketika wanita itu keluar dari gereja bersamaan dengan rombongan Fhillipe De Baron Heitann. Pintu mobil limosin terbuka lebar mempersilakan Fhillipe dan Vania masuk pertama. Tentu saja sang Tuan Putri ada dalam gendongan sang putra tunggal keluarga Heitann. Di belakang tampak Kim Hana dan Claudia. Lalu Alvi menyusul dan diikuti Lily serta Nega di paling terakhir. Kim Hana segera memutuskan kontak matanya dengan Vice. Wanita pengawal itu merasa tak berdaya terutama karena hal ini bukanlah sesuatu yang bisa ia ambil sendiri keputusannya secara Fhillipe sudah pasti tidak mengharapkan kehadiran Vice di kediaman Heitann. Tapi bukan berarti kedua Tuan Putri tak menghendakinya.“Biar aku yang bicara dengannya.” Alvi akhirnya mengambil inisiatif sekaligus ingin memanfaatkan kesempatan untuk menghentikan k
Read more

Catatan Kedua Puluh Delapan: Keluarga Heitann (2)

“Kau tidak berencana menyetujui tawaran Fhil, kan?” Vania bertanya di suatu waktu di malam hari. Ia tampak berjalan mendekati Alvi yang sedang berdiri di balkon menatap jauh ke langit barat. Luka-lukanya sudah jauh lebih baik dan tangannya juga sudah tidak mengeluarkan rasa sakit dan ngilu seperti tadi siang.“Bukan tawaran yang buruk. Kenapa aku harus menolak?” ujar Alvi sambil membalikkan badan membalas menatap Vania. Keseluruhan blok bangunan yang ada di sayap barat kediaman Heitann memang sengaja dikosongkan untuk mereka. Fhillipe De Baron Heitann ingin memberikan kenyamanan maksimal pada sang tamu terhormat dan tentu saja untuk tunangannya juga. Maka, hanya ada tiga pelayan muda yang dipersiapkan di lantai bawah, sedangkan lantai dua dan tiga benar-benar disterilkan untuk keleluasaan mereka berbicara.
Read more

Catatan Kedua Puluh Sembilan: Keluarga Heitann (3)

Jauh di puncak gunung Northenris terdapat sebuah makam kumuh yang telah berusia berabad-abad lamanya. Makam itu tidak memiliki papan nisan atau pun altar persembahan. Tidak ada kemewahan layaknya makam keluarga kaya atau gaya-gaya artistik bangsawan. Satu-satunya pemandangan mencolok di antara hamparan pepohonan Cedar hanyalah dua lempeng batu yang merupakan pintu masuk makam. Warna asli batu tampak tersamar oleh campuran hijau, coklat dan hitam akibat akumulasi lumut tebal yang menempel di permukaan batu yang semula berwarna putih. “Ini adalah makam leluhur keluarga Heitann, tapi sejak zaman kakek buyutku, tempat ini sudah tidak terpakai dan disegel.” Fhillipe berbalik dan berkata pada kedua tamu yang ia izinkan naik hingga ke titik ini.Sesaat matanya tampak bertemu pandang dengan Vania sebelum ia buru-buru berpindah kepada Alvi. Ada semacam
Read more

Catatan Ketiga Puluh: Keluarga Heitann (4)

Rihan Daniel tiba-tiba berhenti saat sebuah kilau cahaya melesat berbahaya ke arahnya. Ia masih punya waktu sepersekian detik untuk mundur setengah langkah sebelum sebuah mata senjata sabit membelah angin kosong tepat di depan matanya. Setelah itu, ia punya cukup banyak waktu untuk kembali mundur sebanyak dua langkah sebelum berbalik memunggungi penyerangnya. Keseluruhan gerakannya tampak tenang dan sangat optimis.“Ryan.” Alvi memanggil seolah ia dan pria pencuri pecahan North Compass itu saling mengenal. Amarah masih menyesaki rongga dada, tapi Alvi sudah tidak semarah sebelumnya.Panggilan itu menghentikan langkah Rihan Daniel.“Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan Beta Urora?” Alvi bertanya seakan dulu di antara mereka pernah ada kesepakatan.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status