Beranda / Fantasi / The North Compass / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab The North Compass: Bab 31 - Bab 40

47 Bab

Catatan Ketiga Puluh Satu: Kobaran Api di Kaki Gunung Northenris

Api yang membumbung tinggi tampak menjamah setiap inci kediaman megah keluarga Heitann. Tak satu pun bagian dibiarkan lolos atau pun berdiri tegak nan angkuh. Kecuali tiang fondasi dan segelintir bata penyusun dinding. Di antara pemandangan tersebut, terselip ratusan mayat hidup yang tersebar dan bergerak tak tentu arah. Geraman dan erangan mereka saling bersahutan, membuat suasana menjadi lebih tegang.Alvi berlari dan menyelinap lincah dari satu mayat hidup ke mayat hidup lain. Kilau bilah Vanishia terlihat menyayat ganas beberapa mayat hidup sekaligus. Raga malang itu kebetulan menyadari kehadiran Alvi dan sang Putri kematian harus bergerak cepat sebelum ia memanggil yang lain.“Awas!” Vanishia bergerak dengan sendirinya menangkis amukan sesosok mayat hidup di sisi kanan. Alvi kemudian melanjutkan dengan satu sayatan secara horizontal.
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Dua: Kirra Anggriawan (1)

Fhillipe De Baron Heitann tersengal-sengal setelah berlari panjang menuruni gunung Northenris. Setibanya di kaki gunung yang berlawanan dengan kediaman utama, ia menyempatkan diri untuk berbalik. Pantulan kobaran api merah-jingga terlihat di sepasang matanya. Ia diam mematung menyaksikan kehancuran kediaman serta kemegahan yang menjadi kebanggaan seorang Heitann.“Kau menyesal?” Seseorang bertanya dari balik punggung lelaki bangsawan itu.Fhillipe memutar tubuhnya dan menatap benci pada sosok berjubah dengan tudung menutupi wajah. “Aku sudah melakukan apa yang Eins Stewart minta. Kuharap dia juga menetapi janjinya.”“Kita bicara sambil jalan, kawan.” Sosok itu membawa jalan dan Fhillipe mengikut dari belakang. Ada jarak sekitar dua meter di antara mereka yang memang sengaja Fhilli
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Tiga: Kirra Anggriawan (2)

Pintu mobil mulai dibuka paksa, dan seketika cahaya bulan di malam itu masuk menerangi seisi interior mobil. Claudia kembali berusaha memutar tubuh, hatinya menggebu-gebu antusias tanpa pernah membayangkan jika nama itu akan membawa kelegaan tersendiri. Terutama ketika bayang-bayang akan sosok sang kakak yang sedang menunggu cemas di luar pintu memenuhi pikirannya.Kali ini ia berhasil melawan rasa sakit. Namun sayangnya sosok Vania yang begitu diharapkan tidaklah tampak. Hanya ada Kirra Anggriawan yang berdiri seorang diri di ambang pintu.“Sini aku bantu.” Kirra membantu mengeluarkan Claudia dari mobil, sementara mayat-mayat hidup telah berperilaku jinak layaknya ada sang Tuan di dekat mereka.“Di mana kakak?” Claudia bertanya.“Entahlah.
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Empat: Istana Kerajaan Ishlindisz (1)

Udara berbau busuk ikut terbawa serta oleh embusan angin liar yang menerpa halaman tengah istana Kerajaan Ishlindisz. Eins Stewart spontan menurunkan Desperia, pecahan North Compass yang meminjam wujud sebagai senjata busur, sementara mata heterokromatik miliknya menatap jauh ke sumber tiupan angin. Petanda itu bukanlah sesuatu yang tidak diantisipasi olehnya. Sejak awal ia sudah menduga hari seperti ini akan datang. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja!Eins bermaksud menyudahi latihan rutin tepat ketika hari menjelang malam. Udara yang semakin tak bersahabat sungguh mengusik niat dan kesenangannya itu. Namun, pada saat ia hendak meninggalkan halaman tengah, tiba-tiba saja matanya memicing menatap sebuah objek asing yang ada di puncak atap menara timur kerajaan. Objek tersebut berwarna putih bersih dan perbedaan warnanya sangat kontras jika diban
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Lima: Istana Kerajaan Ishlindisz (2)

“Ti—Tidak mungkin...” Darah mengalir keluar melalui sudut bibir Eins Stewart. Desperia, senjata yang selama ini paling ia banggakan tampak terempas lepas dari genggaman tangan, sementara sepasang matanya menatap tak percaya pada transformasi sosok yang tengah mencekik erat lehernya.Claudia En Lacia Ishlindisz memenangkan pertarungan dengan Eins Stewart. Lapisan zirah putih bersih yang melindungi, membuat fisik anak perempuan itu tampak seperti sesosok makhluk asing menyerupai kerangka manusia namun dengan ukuran tulang yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih tebal. Duri-duri tulang dengan berbagai macam ukuran terlihat mencuat keluar dari punggung serta sepanjang lengan, menciptakan kesan mengintimidasi yang teramat sangat.Tepat di samping mereka, tampak sebuah kawah raksasa yang terbuka akibat benturan dua energi yang begitu besar beberapa
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Enam: Istana Kerajaan Ishlindisz (3)

“KIRRA!!!” pekik marah Vania menggelegar memenuhi setiap sudut istana.Kirra Anggriawan tak mampu menyembunyikan senyum gembira sewaktu menyambut tamu utama di puncak pestanya itu. Ia membungkuk rendah mengambil Desperia yang tergeletak di atas tanah. Sekejap saja senjata tersebut berubah wujud menjadi sebuah pedang kristal hitam. Kilap sebening kaca tampak di sepanjang mata pedang. Sedangkan warna hitam yang lebih pekat dan padat terlihat di gagang.Di sisi lain, Alvi Veenessa Endley telah siap dengan Vanishia. Senjata berwujud sabit besar itu tak kalah mengintimidasi. Bilahnya yang melengkung tajam siap merobek siapa pun yang menjadi lawannya. “Vania, kendalikan emosimu,” ujar Alvi dalam hati memperingatkan jiwa sang senjata.Vania tidak m
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Tujuh: Istana Kerajaan Ishlindisz (4)

Vice menarik tubuh kecil Claudia ke dalam dekapannya. Dengan tangan kiri yang masih bergelantung pada sebuah rantai besi hitam, ia tampak begitu terampil di setiap pergerakan. Rangkulan lembut sekejap terasa melingkari erat di pinggang Claudia sekaligus memaksa anak perempuan itu untuk membalas dengan hal serupa. Claudia tidak punya pilihan lain selain melingkarkan kedua tangan pada Vice.“Pegang yang erat.” Vice berkata sebelum dirinya melompat menjauhi dinding kawah. Tindakan ekstrem ini tidak pernah diduga Claudia. Anak perempuan itu refleks mengeratkan pelukan sampai-sampai meremas pakaian Vice. Terlebih saat ujung rantai yang satunya lagi melepaskan diri dari tancapan. Namun sebelum mereka sempat jatuh semakin jauh, ujung sang rantai telah bergerak luwes ke titik lain dan mendaratkan &ls
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Delapan: Bangkitnya Sang Kematian

“Selamat datang, Penguasa Kematian.” Kirra menyambut kehadiran sosok baru di hadapannya.Wujud mengerikan setinggi dua setengah meter dengan tubuh yang hanya berlapis kulit kering busuk tanpa daging itu menggeram pelan. Sebuah tanduk yang hanya mencuat di sisi kiri dahi menambah kesan mematikan yang memang sudah secara alami terpancar di wajahnya.Alvi Veenessa Endley dalam kondisi sangat sadar saat perubahan itu terjadi. Darah Kaum Ifrit yang mengalir di tubuhnya menderu deras dan mengubah total seluruh tampilan fisiknya hingga tampak seperti iblis sungguhan. Tidak hanya itu, kekuatan korosif yang merupakan kekuatan murninya sekaligus menjadi satu dari dua kekuatan kematian yang ia miliki pun ikut meluap-luap keluar menyambut kemarahan wanita itu pada sosok Kirra Anggriawan.“Terimalah persembahan
Baca selengkapnya

Catatan Ketiga Puluh Sembilan: Setelah Pertarungan

Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb
Baca selengkapnya

Catatan Keempat Puluh: Langit Barat

Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status