Home / Fantasi / The North Compass / Catatan Kedua Puluh Dua: Abandoro (6)

Share

Catatan Kedua Puluh Dua: Abandoro (6)

Author: Boo Tao
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pertarungan antara Acridian—sang naga tulang—dengan Nega—sang naga api—telah mencapai puncaknya. Setelah bergulat panjang dan saling melukai baik menggunakan cakar masing-masing ataupun deretan taring runcing, Nega akhirnya mendominasi pertarungan. 

Kedua tungkai depan bercakar tajam tampak mencengkeram kasar tulang-tulang rusuk di dada Acridian. Dengan sangat kasar Nega langsung menarik tulang-tulang itu hingga patah. Potongan daging berselaput bening yang berisi cairan serta Claudia En Lacia Ishlindisz di dalamnya tersibak. Setelah itu Nega pun menarik napas dalam-dalam sebelum menyembur ganas napas api dari mulutnya.

Api dengan suhu panas derajat tinggi yang mampu melelehkan apa saja dalam sekejap mata tampak melahap rakus keseluruhan raga raksasa Acridian yang ukurannya sedikit lebih besar dibanding sosok Nega. Namun sesaat sebe

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • The North Compass   Catatan Kedua Puluh Tiga: Setelah Pertarungan Dua Naga (1)

    Semburan napas api Nega yang menyerupai lava panas mendidih tidak hanya meratakan rumah pertanian Nicholas Pele, tapi juga membunuh secara instan seluruh penghuninya tanpa memberi mereka kesempatan untuk merasakan penderitaan akan kematian. Tak hanya itu, tiga perempat dari Abandoro harus ikut terkena dampak dari amukan api yang berwujud sedikit menyerupai cairan itu! Bau gosong yang keluar dari gelimpang mayat di tanah membuat indra penciuman hampir mati rasa. Berbeda sekali dengan api kematian Alvi, api milik Nega tidak melahap mangsanya hingga habis tak bersisa. Api tersebut hanyalah api-yang-tampak-normal dengan perpaduan warna merah, jingga, kuning namun memiliki tingkatan suhu tinggi hingga lebih dari 2000 derajat Celsius. Di tengah kobaran api yang masih membara, seseorang tampak berjalan di antara sisa-sisa pertarungan dua ekor naga yang kini te

  • The North Compass   Catatan Kedua Puluh Empat: Setelah Pertarungan Dua Naga (2)

    Sebuah gereja tua tampaknya cukup beruntung karena menjadi satu-satunya bangunan utuh yang lolos dari amukan api Nega. Lokasinya ada di pinggir Abandoro dan sedikit terasing dari jalan utama, maka tak heran jika hanya dia yang memiliki kondisi layak sementara rumah-rumah lain di Abandoro mengalami kerusakan yang cukup parah.Bangunan sakral ini memiliki aula luas yang memang diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Di sana ada beberapa kursi kayu panjang yang diatur berderet menghadap ke arah salib kayu besar yang digantung pada dinding di seberang pintu utama. Walau sudah ada sekian waktu ditelantarkan, namun bagian dalam gereja bisa dikatakan masih layak huni.Lapisan debu yang menutupi perabotan tidak menghalangi kehangatan yang diberikan saat orang-orang pertama kali menginjakkan kaki ke bagian dalam gereja. Di sana tersedia beberapa kamar tidur yan

  • The North Compass   Catatan Kedua Puluh Lima: Setelah Pertarungan Dua Naga (3)

    Sinar matahari pagi yang terik tampaknya menembus masuk melalui setiap jendela yang dimiliki oleh bangunan gereja tua. Suhu ruangan pun mulai naik, sementara cahaya menyinari setiap inci dari interior ruangan yang malam sebelumnya terlihat remang-remang. Salah satunya adalah kamar tempat Vania dan Claudia beristirahat. Claudia En Lacia Ishlindisz menjadi yang pertama terbangun. Kaget bercampur panik sekejap melanda kala ia mendapati dirinya lagi-lagi berada di lingkungan asing. Namun rasa inferior itu sekejap sirna sewaktu melihat kakaknya, Vania En Laluna Ishlindisz, berbaring tepat di sebelah kanan di ranjang yang terpisah. Lalu di ujung kamar terlihat Vice Kyle yang sedang berdiri mematung dengan posisi memunggungi mereka. Laki-laki itu menghadap keluar jendela seolah sedang serius memikirkan sesuatu.“Vice,” panggil Claudia, dan Vice langsung berbalik. Senyum khas yang terkesan jahil tampak mengembang di wajah pria itu.“Halo, apa kabar Ishlindisz kecil pagi ini?’ tanyanya sambil

  • The North Compass   Catatan Kedua Puluh Enam: Setelah Pertarungan Dua Naga (4)

    Suara tembakan beruntun dari halaman gereja tua mengusik ketenangan di pagi-pagi buta. Derap langkah cepat dan teratur menyusul berseling dengan suara-suara yang dilepas oleh senapan laras panjang tersebut. Peluru demi peluru tampak melesat gesit menembus kepala mayat hidup dan menumbangkan makhluk tanpa jiwa itu dalam kedipan mata.Dari segala arah, muncullah kelompok besar prajurit berseragam militer hijau lumut yang terus bergerak maju hingga mengepung total sekeliling bangunan gereja tua tanpa menyisakan satu pun mayat hidup. Kecuali Kirra Anggriawan yang disangka adalah manusia.Setelah wilayah itu dipastikan aman, sebuah mobil limosin hitam pun masuk ke halaman dan berhenti persis di depan pintu utama gereja. Pintu penumpang belakang dibuka oleh salah seorang prajurit dan dari dalam seorang laki-laki berusia sekitar pertengahan 30 tahun keluar. Paka

  • The North Compass   Catatan Kedua Puluh Tujuh: Keluarga Heitann (1)

    Pandangan Vice dan Alvi langsung saling bertemu ketika wanita itu keluar dari gereja bersamaan dengan rombongan Fhillipe De Baron Heitann. Pintu mobil limosin terbuka lebar mempersilakan Fhillipe dan Vania masuk pertama. Tentu saja sang Tuan Putri ada dalam gendongan sang putra tunggal keluarga Heitann.Di belakang tampak Kim Hana dan Claudia. Lalu Alvi menyusul dan diikuti Lily serta Nega di paling terakhir. Kim Hana segera memutuskan kontak matanya dengan Vice. Wanita pengawal itu merasa tak berdaya terutama karena hal ini bukanlah sesuatu yang bisa ia ambil sendiri keputusannya secara Fhillipe sudah pasti tidak mengharapkan kehadiran Vice di kediaman Heitann. Tapi bukan berarti kedua Tuan Putri tak menghendakinya.“Biar aku yang bicara dengannya.” Alvi akhirnya mengambil inisiatif sekaligus ingin memanfaatkan kesempatan untuk menghentikan k

  • The North Compass   Catatan Kedua Puluh Delapan: Keluarga Heitann (2)

    “Kau tidak berencana menyetujui tawaran Fhil, kan?” Vania bertanya di suatu waktu di malam hari. Ia tampak berjalan mendekati Alvi yang sedang berdiri di balkon menatap jauh ke langit barat. Luka-lukanya sudah jauh lebih baik dan tangannya juga sudah tidak mengeluarkan rasa sakit dan ngilu seperti tadi siang.“Bukan tawaran yang buruk. Kenapa aku harus menolak?” ujar Alvi sambil membalikkan badan membalas menatap Vania.Keseluruhan blok bangunan yang ada di sayap barat kediaman Heitann memang sengaja dikosongkan untuk mereka. Fhillipe De Baron Heitann ingin memberikan kenyamanan maksimal pada sang tamu terhormat dan tentu saja untuk tunangannya juga. Maka, hanya ada tiga pelayan muda yang dipersiapkan di lantai bawah, sedangkan lantai dua dan tiga benar-benar disterilkan untuk keleluasaan mereka berbicara.

  • The North Compass   Catatan Kedua Puluh Sembilan: Keluarga Heitann (3)

    Jauh di puncak gunung Northenris terdapat sebuah makam kumuh yang telah berusia berabad-abad lamanya. Makam itu tidak memiliki papan nisan atau pun altar persembahan. Tidak ada kemewahan layaknya makam keluarga kaya atau gaya-gaya artistik bangsawan. Satu-satunya pemandangan mencolok di antara hamparan pepohonan Cedar hanyalah dua lempeng batu yang merupakan pintu masuk makam. Warna asli batu tampak tersamar oleh campuran hijau, coklat dan hitam akibat akumulasi lumut tebal yang menempel di permukaan batu yang semula berwarna putih.“Ini adalah makam leluhur keluarga Heitann, tapi sejak zaman kakek buyutku, tempat ini sudah tidak terpakai dan disegel.” Fhillipe berbalik dan berkata pada kedua tamu yang ia izinkan naik hingga ke titik ini.Sesaat matanya tampak bertemu pandang dengan Vania sebelum ia buru-buru berpindah kepada Alvi. Ada semacam

  • The North Compass   Catatan Ketiga Puluh: Keluarga Heitann (4)

    Rihan Daniel tiba-tiba berhenti saat sebuah kilau cahaya melesat berbahaya ke arahnya. Ia masih punya waktu sepersekian detik untuk mundur setengah langkah sebelum sebuah mata senjata sabit membelah angin kosong tepat di depan matanya. Setelah itu, ia punya cukup banyak waktu untuk kembali mundur sebanyak dua langkah sebelum berbalik memunggungi penyerangnya. Keseluruhan gerakannya tampak tenang dan sangat optimis.“Ryan.” Alvi memanggil seolah ia dan pria pencuri pecahan North Compass itu saling mengenal. Amarah masih menyesaki rongga dada, tapi Alvi sudah tidak semarah sebelumnya.Panggilan itu menghentikan langkah Rihan Daniel.“Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan Beta Urora?” Alvi bertanya seakan dulu di antara mereka pernah ada kesepakatan.

Latest chapter

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Tujuh: Catatan Kaki

    Raka Gilbert Vaiskyler membawa Vania En Laluna Ishlindisz ke sisi lain halaman. Walau jarak dengan pantai tidak sedekat tempat sebelumnya, namun pemandangan akan hamparan lautan masih bisa terlihat jelas. Vania menyentak ringan bahu kanannya sambil mengambil langkah kecil memisahkan diri dari Raka. Tadinya ia sengaja mengikuti skenario yang sengaja diciptakan Raka untuk menjauhi Fhillipe. Namun sekarang akting itu sudah tidak diperlukan. Raka yang sadar diri segera melepas rangkulannya. Dengan sedikit canggung laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket abu-abu berbahan katun. Matanya mengikuti arah pandang Vania menuju gelombang pasang surut air pantai. “Dulu aku tidak sempat pamit denganmu. Jadi hari ini aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan.” Raka bersuara memecah kebisuan di antara mereka. Vania tidak merespons. Matanya menatap sendu pada pantulan semu bulan pada permukaan air laut. “Aku juga berutang maaf dan sepenggal ucapan selamat... atas pernikahanmu.” Su

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Enam: North Compass

    Satu-satunya ruang rapat di lantai tujuh berhasil disulap menjadi seperti kapal pecah oleh Rihan Daniel. Tumpukan buku menggunung di atas meja panjang di tengah ruangan, sementara sampah kertas terlihat bertebaran di lantai beralas karpet. Coretan tulisan berupa detail kejadian demi kejadian yang berlangsung selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir tampak ditempel di atas peta seluruh Beta Urora yang dipampang sangat besar dan mencolok di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Rentetan kisah itu sangat panjang dan tak mungkin habis dalam satu malam jika harus diceritakan.Ada beberapa catatan yang diperoleh Vania dan yang lain setelah selesai dari ruang di lantai tujuh itu. Tentang North Compass maupun kejadian yang terjadi selama dua lima puluh tahun terakhir—atau mungkin lebih lama dari itu, menurut pengakuan Nega Vaiskyler; sang naga api yang terjebak dalam raga anak perempuan manusia.

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Lima: Batas Buram antara Hidup dan Mati (5)

    Rihan mengayunkan pedangnya dengan sangat beringas ke arah Alvi Veenessa Endley. Bilah pedang tajam berwarna hitam dengan ornamen kuning di tengah tampak melesat menuju dada sang Putri Kematian yang tak terlindungi. Namun mau sekuat apa pun Rihan menyerang, sebuah pelindung tak kasat mata selalu berhasil menghentikan amukan pedangnya.“Percuma saja,” ujar sosok yang sedang mengendalikan tubuh Alvi. Ia tidak meremehkan lawannya tapi juga tidak sepenuhnya menganggap serius.Lagi, bola-bola transparan misterius yang sebelumnya juga sempat bangkit dari balik lantai teras mulai terbentuk dan melayang ke antara jarak sempit di tengah kedua orang itu.Rihan seketika melompat mundur menghindari benda menyebalkan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Meski sudah mencoba dan gagal beberapa kali, tapi tidak ada gu

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Empat: Batas Buram antara Hidup dan Mati (4)

    Rihan Daniel berdiri seorang diri di teras atas bekas markas Samsara seraya melempar pandangan jauh ke arah lautan. Ia sudah mematung di sana selama hampir dua jam lamanya, seakan tiupan angin laut yang begitu kencang membawa serta dirinya untuk berkelana jauh ke berbagai hal di masa lalu.Namun segala ketenangan yang menyelimuti wilayah paling selatan dari Beta Urora terusik oleh raungan samar seekor naga di kejauhan. Tak lama, makhluk berukuran raksasa yang tinggi hampir setara dengan bekas markas Samsara bertingkat tujuh itu mendarat tepat di samping bangunan bekas markas Samsara. Salah satu sayapnya segera terlipat sempurna, namun satunya lagi hanya terlipat setengah. Ketiga penumpang yang ia bawa di punggungnya pun segera turun dan menapakkan kaki ke atas bangunan dengan memanfaatkan setengah sayap yang terlipat sebagai jembatan.“Vania En Laluna Ish

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Tiga: Batas Buram antara Hidup dan Mati (3)

    “Daniel.” Vania En Laluna Ishlindisz memanggil sambil menjulurkan kepala keluar pintu kamar. Suasana lorong di depan pintu kamar terasa amat sepi dan hening.“Lily?” panggilnya lagi karena sang macan tutul salju juga tak tampak. Bahkan Robo yang selalu siaga di lorong pun tak kelihatan batang hidungnya.Aneh, ada apa dengan mereka? Apa yang sedang Rihan Daniel rencanakan?Vania ragu selama beberapa waktu, mempertimbangkan apakah dirinya harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lari atau tidak. Segala kemungkinan yang berhasil dipikirkan tidaklah memberinya alasan untuk tetap tinggal. Keberadaan Alvi sendiri yang belum diketahui semakin membulatkan tekad Vania untuk pergi dari sini selagi bisa.Degup jantung berdetak kencang sewaktu Vania berhasil m

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Dua: Batas Buram antara Hidup dan Mati (2)

    Sebuah kamar tidur di lantai paling atas memiliki pencahayaan serta pemandangan menghadap laut yang paling strategis. Sinar matahari pagi akan langsung menyongsong masuk melalui jendela serta pintu kaca balkon. Sementara pada malam hari, akan ada pemandangan lautan bintang berkelap-kelip di langit gelap, menciptakan ilusi indah yang tak pernah disaksikan Vania bahkan di istana Kerajaan Ishlindisz sekali pun.Suasana bekas markas Samsara yang senyap di wilayah paling selatan Beta Urora sungguh memberi ketenangan tersendiri pada Vania. Wanita itu bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia merasa rileks dan sedamai ini. Mungkin sebelum kekacauan di kontinen tenggara terjadi, atau mungkin jauh sebelumnya sewaktu dirinya masih seorang remaja naif. Tapi, duduk bersandar di tempat tidur sambil menikmati pemandangan di luar jendela... apakah dirinya masih pantas mendapatkan kemewahan ini?

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh Satu: Batas Buram antara Hidup dan Mati (1)

    Suara pertarungan. Jeritan frustrasi Alvi.Tawa Kirra Anggriawan.Semua itu bersahut tak karuan di dalam kepala Vania mengiringi sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tubuhnya mati rasa. Luka fatal yang membelah dadanya tak lagi terasa sakit. Bahkan hangatnya genangan darah yang mengalir keluar sudah tidak dirasakan. Lalu, rasa dingin mulai menjalar. Suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berhenti. Vania ingin bersuara, ingin menyampaikan kalau ia masih hidup. Namun ambang batas antara hidup dan kematian begitu dekat dengannya. Vania tak bisa berbuat apa-apa selain terus menatap cahaya kecil yang perlahan-lahan menjauh dan memudar. Ia sekuat tenaga mengangkat tangan, berusaha menjangkau cahaya redup yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan.“Nyawa Alvi Veenessa Endley adalah segala-galanya. Kali ini aku tidak akan melepaskan tanganku lagi.” Rihan Daniel berkata bersamaan dengan tarikan pelan di ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan.Laki-laki itu refleks berbalik dan se

  • The North Compass   Catatan Keempat Puluh: Langit Barat

    Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham

  • The North Compass   Catatan Ketiga Puluh Sembilan: Setelah Pertarungan

    Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb

DMCA.com Protection Status