Sebuah gereja tua tampaknya cukup beruntung karena menjadi satu-satunya bangunan utuh yang lolos dari amukan api Nega. Lokasinya ada di pinggir Abandoro dan sedikit terasing dari jalan utama, maka tak heran jika hanya dia yang memiliki kondisi layak sementara rumah-rumah lain di Abandoro mengalami kerusakan yang cukup parah.
Bangunan sakral ini memiliki aula luas yang memang diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Di sana ada beberapa kursi kayu panjang yang diatur berderet menghadap ke arah salib kayu besar yang digantung pada dinding di seberang pintu utama. Walau sudah ada sekian waktu ditelantarkan, namun bagian dalam gereja bisa dikatakan masih layak huni.
Lapisan debu yang menutupi perabotan tidak menghalangi kehangatan yang diberikan saat orang-orang pertama kali menginjakkan kaki ke bagian dalam gereja. Di sana tersedia beberapa kamar tidur yan
Sinar matahari pagi yang terik tampaknya menembus masuk melalui setiap jendela yang dimiliki oleh bangunan gereja tua. Suhu ruangan pun mulai naik, sementara cahaya menyinari setiap inci dari interior ruangan yang malam sebelumnya terlihat remang-remang. Salah satunya adalah kamar tempat Vania dan Claudia beristirahat. Claudia En Lacia Ishlindisz menjadi yang pertama terbangun. Kaget bercampur panik sekejap melanda kala ia mendapati dirinya lagi-lagi berada di lingkungan asing. Namun rasa inferior itu sekejap sirna sewaktu melihat kakaknya, Vania En Laluna Ishlindisz, berbaring tepat di sebelah kanan di ranjang yang terpisah. Lalu di ujung kamar terlihat Vice Kyle yang sedang berdiri mematung dengan posisi memunggungi mereka. Laki-laki itu menghadap keluar jendela seolah sedang serius memikirkan sesuatu.“Vice,” panggil Claudia, dan Vice langsung berbalik. Senyum khas yang terkesan jahil tampak mengembang di wajah pria itu.“Halo, apa kabar Ishlindisz kecil pagi ini?’ tanyanya sambil
Suara tembakan beruntun dari halaman gereja tua mengusik ketenangan di pagi-pagi buta. Derap langkah cepat dan teratur menyusul berseling dengan suara-suara yang dilepas oleh senapan laras panjang tersebut. Peluru demi peluru tampak melesat gesit menembus kepala mayat hidup dan menumbangkan makhluk tanpa jiwa itu dalam kedipan mata.Dari segala arah, muncullah kelompok besar prajurit berseragam militer hijau lumut yang terus bergerak maju hingga mengepung total sekeliling bangunan gereja tua tanpa menyisakan satu pun mayat hidup. Kecuali Kirra Anggriawan yang disangka adalah manusia.Setelah wilayah itu dipastikan aman, sebuah mobil limosin hitam pun masuk ke halaman dan berhenti persis di depan pintu utama gereja. Pintu penumpang belakang dibuka oleh salah seorang prajurit dan dari dalam seorang laki-laki berusia sekitar pertengahan 30 tahun keluar. Paka
Pandangan Vice dan Alvi langsung saling bertemu ketika wanita itu keluar dari gereja bersamaan dengan rombongan Fhillipe De Baron Heitann. Pintu mobil limosin terbuka lebar mempersilakan Fhillipe dan Vania masuk pertama. Tentu saja sang Tuan Putri ada dalam gendongan sang putra tunggal keluarga Heitann.Di belakang tampak Kim Hana dan Claudia. Lalu Alvi menyusul dan diikuti Lily serta Nega di paling terakhir. Kim Hana segera memutuskan kontak matanya dengan Vice. Wanita pengawal itu merasa tak berdaya terutama karena hal ini bukanlah sesuatu yang bisa ia ambil sendiri keputusannya secara Fhillipe sudah pasti tidak mengharapkan kehadiran Vice di kediaman Heitann. Tapi bukan berarti kedua Tuan Putri tak menghendakinya.“Biar aku yang bicara dengannya.” Alvi akhirnya mengambil inisiatif sekaligus ingin memanfaatkan kesempatan untuk menghentikan k
“Kau tidak berencana menyetujui tawaran Fhil, kan?” Vania bertanya di suatu waktu di malam hari. Ia tampak berjalan mendekati Alvi yang sedang berdiri di balkon menatap jauh ke langit barat. Luka-lukanya sudah jauh lebih baik dan tangannya juga sudah tidak mengeluarkan rasa sakit dan ngilu seperti tadi siang.“Bukan tawaran yang buruk. Kenapa aku harus menolak?” ujar Alvi sambil membalikkan badan membalas menatap Vania.Keseluruhan blok bangunan yang ada di sayap barat kediaman Heitann memang sengaja dikosongkan untuk mereka. Fhillipe De Baron Heitann ingin memberikan kenyamanan maksimal pada sang tamu terhormat dan tentu saja untuk tunangannya juga. Maka, hanya ada tiga pelayan muda yang dipersiapkan di lantai bawah, sedangkan lantai dua dan tiga benar-benar disterilkan untuk keleluasaan mereka berbicara.
Jauh di puncak gunung Northenris terdapat sebuah makam kumuh yang telah berusia berabad-abad lamanya. Makam itu tidak memiliki papan nisan atau pun altar persembahan. Tidak ada kemewahan layaknya makam keluarga kaya atau gaya-gaya artistik bangsawan. Satu-satunya pemandangan mencolok di antara hamparan pepohonan Cedar hanyalah dua lempeng batu yang merupakan pintu masuk makam. Warna asli batu tampak tersamar oleh campuran hijau, coklat dan hitam akibat akumulasi lumut tebal yang menempel di permukaan batu yang semula berwarna putih.“Ini adalah makam leluhur keluarga Heitann, tapi sejak zaman kakek buyutku, tempat ini sudah tidak terpakai dan disegel.” Fhillipe berbalik dan berkata pada kedua tamu yang ia izinkan naik hingga ke titik ini.Sesaat matanya tampak bertemu pandang dengan Vania sebelum ia buru-buru berpindah kepada Alvi. Ada semacam
Rihan Daniel tiba-tiba berhenti saat sebuah kilau cahaya melesat berbahaya ke arahnya. Ia masih punya waktu sepersekian detik untuk mundur setengah langkah sebelum sebuah mata senjata sabit membelah angin kosong tepat di depan matanya. Setelah itu, ia punya cukup banyak waktu untuk kembali mundur sebanyak dua langkah sebelum berbalik memunggungi penyerangnya. Keseluruhan gerakannya tampak tenang dan sangat optimis.“Ryan.” Alvi memanggil seolah ia dan pria pencuri pecahan North Compass itu saling mengenal. Amarah masih menyesaki rongga dada, tapi Alvi sudah tidak semarah sebelumnya.Panggilan itu menghentikan langkah Rihan Daniel.“Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan Beta Urora?” Alvi bertanya seakan dulu di antara mereka pernah ada kesepakatan.
Api yang membumbung tinggi tampak menjamah setiap inci kediaman megah keluarga Heitann. Tak satu pun bagian dibiarkan lolos atau pun berdiri tegak nan angkuh. Kecuali tiang fondasi dan segelintir bata penyusun dinding. Di antara pemandangan tersebut, terselip ratusan mayat hidup yang tersebar dan bergerak tak tentu arah. Geraman dan erangan mereka saling bersahutan, membuat suasana menjadi lebih tegang.Alvi berlari dan menyelinap lincah dari satu mayat hidup ke mayat hidup lain. Kilau bilah Vanishia terlihat menyayat ganas beberapa mayat hidup sekaligus. Raga malang itu kebetulan menyadari kehadiran Alvi dan sang Putri kematian harus bergerak cepat sebelum ia memanggil yang lain.“Awas!” Vanishia bergerak dengan sendirinya menangkis amukan sesosok mayat hidup di sisi kanan. Alvi kemudian melanjutkan dengan satu sayatan secara horizontal.
Fhillipe De Baron Heitann tersengal-sengal setelah berlari panjang menuruni gunung Northenris. Setibanya di kaki gunung yang berlawanan dengan kediaman utama, ia menyempatkan diri untuk berbalik. Pantulan kobaran api merah-jingga terlihat di sepasang matanya. Ia diam mematung menyaksikan kehancuran kediaman serta kemegahan yang menjadi kebanggaan seorang Heitann.“Kau menyesal?” Seseorang bertanya dari balik punggung lelaki bangsawan itu.Fhillipe memutar tubuhnya dan menatap benci pada sosok berjubah dengan tudung menutupi wajah. “Aku sudah melakukan apa yang Eins Stewart minta. Kuharap dia juga menetapi janjinya.”“Kita bicara sambil jalan, kawan.” Sosok itu membawa jalan dan Fhillipe mengikut dari belakang. Ada jarak sekitar dua meter di antara mereka yang memang sengaja Fhilli