Jauh di puncak gunung Northenris terdapat sebuah makam kumuh yang telah berusia berabad-abad lamanya. Makam itu tidak memiliki papan nisan atau pun altar persembahan. Tidak ada kemewahan layaknya makam keluarga kaya atau gaya-gaya artistik bangsawan. Satu-satunya pemandangan mencolok di antara hamparan pepohonan Cedar hanyalah dua lempeng batu yang merupakan pintu masuk makam. Warna asli batu tampak tersamar oleh campuran hijau, coklat dan hitam akibat akumulasi lumut tebal yang menempel di permukaan batu yang semula berwarna putih.
“Ini adalah makam leluhur keluarga Heitann, tapi sejak zaman kakek buyutku, tempat ini sudah tidak terpakai dan disegel.” Fhillipe berbalik dan berkata pada kedua tamu yang ia izinkan naik hingga ke titik ini.
Sesaat matanya tampak bertemu pandang dengan Vania sebelum ia buru-buru berpindah kepada Alvi. Ada semacam
Rihan Daniel tiba-tiba berhenti saat sebuah kilau cahaya melesat berbahaya ke arahnya. Ia masih punya waktu sepersekian detik untuk mundur setengah langkah sebelum sebuah mata senjata sabit membelah angin kosong tepat di depan matanya. Setelah itu, ia punya cukup banyak waktu untuk kembali mundur sebanyak dua langkah sebelum berbalik memunggungi penyerangnya. Keseluruhan gerakannya tampak tenang dan sangat optimis.“Ryan.” Alvi memanggil seolah ia dan pria pencuri pecahan North Compass itu saling mengenal. Amarah masih menyesaki rongga dada, tapi Alvi sudah tidak semarah sebelumnya.Panggilan itu menghentikan langkah Rihan Daniel.“Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan Beta Urora?” Alvi bertanya seakan dulu di antara mereka pernah ada kesepakatan.
Api yang membumbung tinggi tampak menjamah setiap inci kediaman megah keluarga Heitann. Tak satu pun bagian dibiarkan lolos atau pun berdiri tegak nan angkuh. Kecuali tiang fondasi dan segelintir bata penyusun dinding. Di antara pemandangan tersebut, terselip ratusan mayat hidup yang tersebar dan bergerak tak tentu arah. Geraman dan erangan mereka saling bersahutan, membuat suasana menjadi lebih tegang.Alvi berlari dan menyelinap lincah dari satu mayat hidup ke mayat hidup lain. Kilau bilah Vanishia terlihat menyayat ganas beberapa mayat hidup sekaligus. Raga malang itu kebetulan menyadari kehadiran Alvi dan sang Putri kematian harus bergerak cepat sebelum ia memanggil yang lain.“Awas!” Vanishia bergerak dengan sendirinya menangkis amukan sesosok mayat hidup di sisi kanan. Alvi kemudian melanjutkan dengan satu sayatan secara horizontal.
Fhillipe De Baron Heitann tersengal-sengal setelah berlari panjang menuruni gunung Northenris. Setibanya di kaki gunung yang berlawanan dengan kediaman utama, ia menyempatkan diri untuk berbalik. Pantulan kobaran api merah-jingga terlihat di sepasang matanya. Ia diam mematung menyaksikan kehancuran kediaman serta kemegahan yang menjadi kebanggaan seorang Heitann.“Kau menyesal?” Seseorang bertanya dari balik punggung lelaki bangsawan itu.Fhillipe memutar tubuhnya dan menatap benci pada sosok berjubah dengan tudung menutupi wajah. “Aku sudah melakukan apa yang Eins Stewart minta. Kuharap dia juga menetapi janjinya.”“Kita bicara sambil jalan, kawan.” Sosok itu membawa jalan dan Fhillipe mengikut dari belakang. Ada jarak sekitar dua meter di antara mereka yang memang sengaja Fhilli
Pintu mobil mulai dibuka paksa, dan seketika cahaya bulan di malam itu masuk menerangi seisi interior mobil. Claudia kembali berusaha memutar tubuh, hatinya menggebu-gebu antusias tanpa pernah membayangkan jika nama itu akan membawa kelegaan tersendiri. Terutama ketika bayang-bayang akan sosok sang kakak yang sedang menunggu cemas di luar pintu memenuhi pikirannya.Kali ini ia berhasil melawan rasa sakit. Namun sayangnya sosok Vania yang begitu diharapkan tidaklah tampak. Hanya ada Kirra Anggriawan yang berdiri seorang diri di ambang pintu.“Sini aku bantu.” Kirra membantu mengeluarkan Claudia dari mobil, sementara mayat-mayat hidup telah berperilaku jinak layaknya ada sang Tuan di dekat mereka.“Di mana kakak?” Claudia bertanya.“Entahlah.
Udara berbau busuk ikut terbawa serta oleh embusan angin liar yang menerpa halaman tengah istana Kerajaan Ishlindisz. Eins Stewart spontan menurunkan Desperia, pecahan North Compass yang meminjam wujud sebagai senjata busur, sementara mata heterokromatik miliknya menatap jauh ke sumber tiupan angin.Petanda itu bukanlah sesuatu yang tidak diantisipasi olehnya. Sejak awal ia sudah menduga hari seperti ini akan datang. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja!Eins bermaksud menyudahi latihan rutin tepat ketika hari menjelang malam. Udara yang semakin tak bersahabat sungguh mengusik niat dan kesenangannya itu. Namun, pada saat ia hendak meninggalkan halaman tengah, tiba-tiba saja matanya memicing menatap sebuah objek asing yang ada di puncak atap menara timur kerajaan. Objek tersebut berwarna putih bersih dan perbedaan warnanya sangat kontras jika diban
“Ti—Tidak mungkin...” Darah mengalir keluar melalui sudut bibir Eins Stewart. Desperia, senjata yang selama ini paling ia banggakan tampak terempas lepas dari genggaman tangan, sementara sepasang matanya menatap tak percaya pada transformasi sosok yang tengah mencekik erat lehernya.Claudia En Lacia Ishlindisz memenangkan pertarungan dengan Eins Stewart. Lapisan zirah putih bersih yang melindungi, membuat fisik anak perempuan itu tampak seperti sesosok makhluk asing menyerupai kerangka manusia namun dengan ukuran tulang yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih tebal. Duri-duri tulang dengan berbagai macam ukuran terlihat mencuat keluar dari punggung serta sepanjang lengan, menciptakan kesan mengintimidasi yang teramat sangat.Tepat di samping mereka, tampak sebuah kawah raksasa yang terbuka akibat benturan dua energi yang begitu besar beberapa
“KIRRA!!!” pekik marah Vania menggelegar memenuhi setiap sudut istana.Kirra Anggriawan tak mampu menyembunyikan senyum gembira sewaktu menyambut tamu utama di puncak pestanya itu. Ia membungkuk rendah mengambil Desperia yang tergeletak di atas tanah. Sekejap saja senjata tersebut berubah wujud menjadi sebuah pedang kristal hitam. Kilap sebening kaca tampak di sepanjang mata pedang. Sedangkan warna hitam yang lebih pekat dan padat terlihat di gagang.Di sisi lain, Alvi Veenessa Endley telah siap dengan Vanishia. Senjata berwujud sabit besar itu tak kalah mengintimidasi. Bilahnya yang melengkung tajam siap merobek siapa pun yang menjadi lawannya.“Vania, kendalikan emosimu,” ujar Alvi dalam hati memperingatkan jiwa sang senjata.Vania tidak m
Vice menarik tubuh kecil Claudia ke dalam dekapannya. Dengan tangan kiri yang masih bergelantung pada sebuah rantai besi hitam, ia tampak begitu terampil di setiap pergerakan.Rangkulan lembut sekejap terasa melingkari erat di pinggang Claudia sekaligus memaksa anak perempuan itu untuk membalas dengan hal serupa. Claudia tidak punya pilihan lain selain melingkarkan kedua tangan pada Vice.“Pegang yang erat.” Vice berkata sebelum dirinya melompat menjauhi dinding kawah.Tindakan ekstrem ini tidak pernah diduga Claudia. Anak perempuan itu refleks mengeratkan pelukan sampai-sampai meremas pakaian Vice. Terlebih saat ujung rantai yang satunya lagi melepaskan diri dari tancapan. Namun sebelum mereka sempat jatuh semakin jauh, ujung sang rantai telah bergerak luwes ke titik lain dan mendaratkan &ls
Raka Gilbert Vaiskyler membawa Vania En Laluna Ishlindisz ke sisi lain halaman. Walau jarak dengan pantai tidak sedekat tempat sebelumnya, namun pemandangan akan hamparan lautan masih bisa terlihat jelas. Vania menyentak ringan bahu kanannya sambil mengambil langkah kecil memisahkan diri dari Raka. Tadinya ia sengaja mengikuti skenario yang sengaja diciptakan Raka untuk menjauhi Fhillipe. Namun sekarang akting itu sudah tidak diperlukan. Raka yang sadar diri segera melepas rangkulannya. Dengan sedikit canggung laki-laki itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket abu-abu berbahan katun. Matanya mengikuti arah pandang Vania menuju gelombang pasang surut air pantai. “Dulu aku tidak sempat pamit denganmu. Jadi hari ini aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan.” Raka bersuara memecah kebisuan di antara mereka. Vania tidak merespons. Matanya menatap sendu pada pantulan semu bulan pada permukaan air laut. “Aku juga berutang maaf dan sepenggal ucapan selamat... atas pernikahanmu.” Su
Satu-satunya ruang rapat di lantai tujuh berhasil disulap menjadi seperti kapal pecah oleh Rihan Daniel. Tumpukan buku menggunung di atas meja panjang di tengah ruangan, sementara sampah kertas terlihat bertebaran di lantai beralas karpet. Coretan tulisan berupa detail kejadian demi kejadian yang berlangsung selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir tampak ditempel di atas peta seluruh Beta Urora yang dipampang sangat besar dan mencolok di dinding sebelah kiri dari pintu masuk. Rentetan kisah itu sangat panjang dan tak mungkin habis dalam satu malam jika harus diceritakan.Ada beberapa catatan yang diperoleh Vania dan yang lain setelah selesai dari ruang di lantai tujuh itu. Tentang North Compass maupun kejadian yang terjadi selama dua lima puluh tahun terakhir—atau mungkin lebih lama dari itu, menurut pengakuan Nega Vaiskyler; sang naga api yang terjebak dalam raga anak perempuan manusia.
Rihan mengayunkan pedangnya dengan sangat beringas ke arah Alvi Veenessa Endley. Bilah pedang tajam berwarna hitam dengan ornamen kuning di tengah tampak melesat menuju dada sang Putri Kematian yang tak terlindungi. Namun mau sekuat apa pun Rihan menyerang, sebuah pelindung tak kasat mata selalu berhasil menghentikan amukan pedangnya.“Percuma saja,” ujar sosok yang sedang mengendalikan tubuh Alvi. Ia tidak meremehkan lawannya tapi juga tidak sepenuhnya menganggap serius.Lagi, bola-bola transparan misterius yang sebelumnya juga sempat bangkit dari balik lantai teras mulai terbentuk dan melayang ke antara jarak sempit di tengah kedua orang itu.Rihan seketika melompat mundur menghindari benda menyebalkan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Meski sudah mencoba dan gagal beberapa kali, tapi tidak ada gu
Rihan Daniel berdiri seorang diri di teras atas bekas markas Samsara seraya melempar pandangan jauh ke arah lautan. Ia sudah mematung di sana selama hampir dua jam lamanya, seakan tiupan angin laut yang begitu kencang membawa serta dirinya untuk berkelana jauh ke berbagai hal di masa lalu.Namun segala ketenangan yang menyelimuti wilayah paling selatan dari Beta Urora terusik oleh raungan samar seekor naga di kejauhan. Tak lama, makhluk berukuran raksasa yang tinggi hampir setara dengan bekas markas Samsara bertingkat tujuh itu mendarat tepat di samping bangunan bekas markas Samsara. Salah satu sayapnya segera terlipat sempurna, namun satunya lagi hanya terlipat setengah. Ketiga penumpang yang ia bawa di punggungnya pun segera turun dan menapakkan kaki ke atas bangunan dengan memanfaatkan setengah sayap yang terlipat sebagai jembatan.“Vania En Laluna Ish
“Daniel.” Vania En Laluna Ishlindisz memanggil sambil menjulurkan kepala keluar pintu kamar. Suasana lorong di depan pintu kamar terasa amat sepi dan hening.“Lily?” panggilnya lagi karena sang macan tutul salju juga tak tampak. Bahkan Robo yang selalu siaga di lorong pun tak kelihatan batang hidungnya.Aneh, ada apa dengan mereka? Apa yang sedang Rihan Daniel rencanakan?Vania ragu selama beberapa waktu, mempertimbangkan apakah dirinya harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lari atau tidak. Segala kemungkinan yang berhasil dipikirkan tidaklah memberinya alasan untuk tetap tinggal. Keberadaan Alvi sendiri yang belum diketahui semakin membulatkan tekad Vania untuk pergi dari sini selagi bisa.Degup jantung berdetak kencang sewaktu Vania berhasil m
Sebuah kamar tidur di lantai paling atas memiliki pencahayaan serta pemandangan menghadap laut yang paling strategis. Sinar matahari pagi akan langsung menyongsong masuk melalui jendela serta pintu kaca balkon. Sementara pada malam hari, akan ada pemandangan lautan bintang berkelap-kelip di langit gelap, menciptakan ilusi indah yang tak pernah disaksikan Vania bahkan di istana Kerajaan Ishlindisz sekali pun.Suasana bekas markas Samsara yang senyap di wilayah paling selatan Beta Urora sungguh memberi ketenangan tersendiri pada Vania. Wanita itu bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia merasa rileks dan sedamai ini. Mungkin sebelum kekacauan di kontinen tenggara terjadi, atau mungkin jauh sebelumnya sewaktu dirinya masih seorang remaja naif. Tapi, duduk bersandar di tempat tidur sambil menikmati pemandangan di luar jendela... apakah dirinya masih pantas mendapatkan kemewahan ini?
Suara pertarungan. Jeritan frustrasi Alvi.Tawa Kirra Anggriawan.Semua itu bersahut tak karuan di dalam kepala Vania mengiringi sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tubuhnya mati rasa. Luka fatal yang membelah dadanya tak lagi terasa sakit. Bahkan hangatnya genangan darah yang mengalir keluar sudah tidak dirasakan. Lalu, rasa dingin mulai menjalar. Suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berhenti. Vania ingin bersuara, ingin menyampaikan kalau ia masih hidup. Namun ambang batas antara hidup dan kematian begitu dekat dengannya. Vania tak bisa berbuat apa-apa selain terus menatap cahaya kecil yang perlahan-lahan menjauh dan memudar. Ia sekuat tenaga mengangkat tangan, berusaha menjangkau cahaya redup yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan.“Nyawa Alvi Veenessa Endley adalah segala-galanya. Kali ini aku tidak akan melepaskan tanganku lagi.” Rihan Daniel berkata bersamaan dengan tarikan pelan di ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan.Laki-laki itu refleks berbalik dan se
Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham
Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb