Pandangan Vice dan Alvi langsung saling bertemu ketika wanita itu keluar dari gereja bersamaan dengan rombongan Fhillipe De Baron Heitann. Pintu mobil limosin terbuka lebar mempersilakan Fhillipe dan Vania masuk pertama. Tentu saja sang Tuan Putri ada dalam gendongan sang putra tunggal keluarga Heitann.
Di belakang tampak Kim Hana dan Claudia. Lalu Alvi menyusul dan diikuti Lily serta Nega di paling terakhir. Kim Hana segera memutuskan kontak matanya dengan Vice. Wanita pengawal itu merasa tak berdaya terutama karena hal ini bukanlah sesuatu yang bisa ia ambil sendiri keputusannya secara Fhillipe sudah pasti tidak mengharapkan kehadiran Vice di kediaman Heitann. Tapi bukan berarti kedua Tuan Putri tak menghendakinya.
“Biar aku yang bicara dengannya.” Alvi akhirnya mengambil inisiatif sekaligus ingin memanfaatkan kesempatan untuk menghentikan k
“Kau tidak berencana menyetujui tawaran Fhil, kan?” Vania bertanya di suatu waktu di malam hari. Ia tampak berjalan mendekati Alvi yang sedang berdiri di balkon menatap jauh ke langit barat. Luka-lukanya sudah jauh lebih baik dan tangannya juga sudah tidak mengeluarkan rasa sakit dan ngilu seperti tadi siang.“Bukan tawaran yang buruk. Kenapa aku harus menolak?” ujar Alvi sambil membalikkan badan membalas menatap Vania.Keseluruhan blok bangunan yang ada di sayap barat kediaman Heitann memang sengaja dikosongkan untuk mereka. Fhillipe De Baron Heitann ingin memberikan kenyamanan maksimal pada sang tamu terhormat dan tentu saja untuk tunangannya juga. Maka, hanya ada tiga pelayan muda yang dipersiapkan di lantai bawah, sedangkan lantai dua dan tiga benar-benar disterilkan untuk keleluasaan mereka berbicara.
Jauh di puncak gunung Northenris terdapat sebuah makam kumuh yang telah berusia berabad-abad lamanya. Makam itu tidak memiliki papan nisan atau pun altar persembahan. Tidak ada kemewahan layaknya makam keluarga kaya atau gaya-gaya artistik bangsawan. Satu-satunya pemandangan mencolok di antara hamparan pepohonan Cedar hanyalah dua lempeng batu yang merupakan pintu masuk makam. Warna asli batu tampak tersamar oleh campuran hijau, coklat dan hitam akibat akumulasi lumut tebal yang menempel di permukaan batu yang semula berwarna putih.“Ini adalah makam leluhur keluarga Heitann, tapi sejak zaman kakek buyutku, tempat ini sudah tidak terpakai dan disegel.” Fhillipe berbalik dan berkata pada kedua tamu yang ia izinkan naik hingga ke titik ini.Sesaat matanya tampak bertemu pandang dengan Vania sebelum ia buru-buru berpindah kepada Alvi. Ada semacam
Rihan Daniel tiba-tiba berhenti saat sebuah kilau cahaya melesat berbahaya ke arahnya. Ia masih punya waktu sepersekian detik untuk mundur setengah langkah sebelum sebuah mata senjata sabit membelah angin kosong tepat di depan matanya. Setelah itu, ia punya cukup banyak waktu untuk kembali mundur sebanyak dua langkah sebelum berbalik memunggungi penyerangnya. Keseluruhan gerakannya tampak tenang dan sangat optimis.“Ryan.” Alvi memanggil seolah ia dan pria pencuri pecahan North Compass itu saling mengenal. Amarah masih menyesaki rongga dada, tapi Alvi sudah tidak semarah sebelumnya.Panggilan itu menghentikan langkah Rihan Daniel.“Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak mencampuri urusan Beta Urora?” Alvi bertanya seakan dulu di antara mereka pernah ada kesepakatan.
Api yang membumbung tinggi tampak menjamah setiap inci kediaman megah keluarga Heitann. Tak satu pun bagian dibiarkan lolos atau pun berdiri tegak nan angkuh. Kecuali tiang fondasi dan segelintir bata penyusun dinding. Di antara pemandangan tersebut, terselip ratusan mayat hidup yang tersebar dan bergerak tak tentu arah. Geraman dan erangan mereka saling bersahutan, membuat suasana menjadi lebih tegang.Alvi berlari dan menyelinap lincah dari satu mayat hidup ke mayat hidup lain. Kilau bilah Vanishia terlihat menyayat ganas beberapa mayat hidup sekaligus. Raga malang itu kebetulan menyadari kehadiran Alvi dan sang Putri kematian harus bergerak cepat sebelum ia memanggil yang lain.“Awas!” Vanishia bergerak dengan sendirinya menangkis amukan sesosok mayat hidup di sisi kanan. Alvi kemudian melanjutkan dengan satu sayatan secara horizontal.
Fhillipe De Baron Heitann tersengal-sengal setelah berlari panjang menuruni gunung Northenris. Setibanya di kaki gunung yang berlawanan dengan kediaman utama, ia menyempatkan diri untuk berbalik. Pantulan kobaran api merah-jingga terlihat di sepasang matanya. Ia diam mematung menyaksikan kehancuran kediaman serta kemegahan yang menjadi kebanggaan seorang Heitann.“Kau menyesal?” Seseorang bertanya dari balik punggung lelaki bangsawan itu.Fhillipe memutar tubuhnya dan menatap benci pada sosok berjubah dengan tudung menutupi wajah. “Aku sudah melakukan apa yang Eins Stewart minta. Kuharap dia juga menetapi janjinya.”“Kita bicara sambil jalan, kawan.” Sosok itu membawa jalan dan Fhillipe mengikut dari belakang. Ada jarak sekitar dua meter di antara mereka yang memang sengaja Fhilli
Pintu mobil mulai dibuka paksa, dan seketika cahaya bulan di malam itu masuk menerangi seisi interior mobil. Claudia kembali berusaha memutar tubuh, hatinya menggebu-gebu antusias tanpa pernah membayangkan jika nama itu akan membawa kelegaan tersendiri. Terutama ketika bayang-bayang akan sosok sang kakak yang sedang menunggu cemas di luar pintu memenuhi pikirannya.Kali ini ia berhasil melawan rasa sakit. Namun sayangnya sosok Vania yang begitu diharapkan tidaklah tampak. Hanya ada Kirra Anggriawan yang berdiri seorang diri di ambang pintu.“Sini aku bantu.” Kirra membantu mengeluarkan Claudia dari mobil, sementara mayat-mayat hidup telah berperilaku jinak layaknya ada sang Tuan di dekat mereka.“Di mana kakak?” Claudia bertanya.“Entahlah.
Udara berbau busuk ikut terbawa serta oleh embusan angin liar yang menerpa halaman tengah istana Kerajaan Ishlindisz. Eins Stewart spontan menurunkan Desperia, pecahan North Compass yang meminjam wujud sebagai senjata busur, sementara mata heterokromatik miliknya menatap jauh ke sumber tiupan angin.Petanda itu bukanlah sesuatu yang tidak diantisipasi olehnya. Sejak awal ia sudah menduga hari seperti ini akan datang. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja!Eins bermaksud menyudahi latihan rutin tepat ketika hari menjelang malam. Udara yang semakin tak bersahabat sungguh mengusik niat dan kesenangannya itu. Namun, pada saat ia hendak meninggalkan halaman tengah, tiba-tiba saja matanya memicing menatap sebuah objek asing yang ada di puncak atap menara timur kerajaan. Objek tersebut berwarna putih bersih dan perbedaan warnanya sangat kontras jika diban
“Ti—Tidak mungkin...” Darah mengalir keluar melalui sudut bibir Eins Stewart. Desperia, senjata yang selama ini paling ia banggakan tampak terempas lepas dari genggaman tangan, sementara sepasang matanya menatap tak percaya pada transformasi sosok yang tengah mencekik erat lehernya.Claudia En Lacia Ishlindisz memenangkan pertarungan dengan Eins Stewart. Lapisan zirah putih bersih yang melindungi, membuat fisik anak perempuan itu tampak seperti sesosok makhluk asing menyerupai kerangka manusia namun dengan ukuran tulang yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih tebal. Duri-duri tulang dengan berbagai macam ukuran terlihat mencuat keluar dari punggung serta sepanjang lengan, menciptakan kesan mengintimidasi yang teramat sangat.Tepat di samping mereka, tampak sebuah kawah raksasa yang terbuka akibat benturan dua energi yang begitu besar beberapa