Home / Romansa / AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of AMPUNI AKU YANG PERNAH BERZINA: Chapter 101 - Chapter 110

117 Chapters

Bab 101

Za langsung cemberut.“Aku udah bosan, Mas. selama beberapa bulan ini cuman keliling rumah sama keliling komplek. Aku cuman nyari baju-baju bayi. Lagian kemarin kan dokter udah bilang kalau kehamilan aku udah aman. Udah gitu, aku jalan kan, sama Ibu, nggak sendiri.” Za kembali memaksa.“Mau sama siapa berangkatnya? Aku antar aja ya? nanti pulangnya baru naik taksi.” Albany memberi masukan.“Lho, kamu, kan, mau berangkat sebentar lagi. Santai aja, taksi online tuh, sekarang banyak. Kamu nggak usah takut. Aku cuman mau beli beberapa potong baju, sekalian ke salon juga. rambutku udah nggak karuan, ini.” Za kembali merengek.Albany mulai merasa kasihan. Memang benar, selama beberapa bulan ini Za tidak bisa kemana-mana demi menjada calon buah hati mereka. Lagi pula, hasil pemeriksaan kemarin lusa, dokter menyatakan jika kehamilan Za baik-baik saja. Seorang anak laki-laki akan segera mereka timang. Ada rasa bangga yang menyeruak dalam hati lelaki itu saat mengingat jika dia akan segera men
Read more

Bab 102

Albany mondar-mandir menunggu di depan ruang operasi. Jantungnya bertalu cepat seiring hatinya yang gundah.Bibirnya tak henti merapalkan dzikir dan doa.Pintu ruang operasi itu kembali terbuka. Seorang suster keluar dari sana sembari membawa sebuah berkas.“Suami Ibu Zanna,” panggilnya dan Albany pun segera menghampiri.“Iya, Sus?”“Maaf, saya perlu tanda tangan Bapak lagi. Rahim Ibu Zanna mengalami kerusakan parah dan harus segera diangkat,” ucap suster itu yang langsung membuat Albany lemas seketika.“A-apa?” tanyanya pelan dengan wajah yang pucat.“Saya hanya menyampaikan apa yang dikatakan dokter kandungan yang membedah Ibu Zanna. Sekarang beliau sedang berusaha menyelamatkan anak dan istri Bapak,” ucap suster lagi.Dengan tangan gemetar Albany mencoretkan tinta di atas berkas itu. Terpaksa menyetujui hal yang sama sekali tidak disetujuinya.Dunianya seakan hancur seketika. Namun, yang kini jadi prioritasnya hanya kesembuhan sang istri.“Bertahanlah, Sayang. Jangan tinggalkan aku
Read more

Bab 103

Tiga hari tiga malam Za belum juga sadar. Albany tak sekejap pun meninggalkan rumah sakit. Hendro dan Ningsih benar-benar khawatir dengan kondisi Albany yang terlihat kalut dan tak bersemangat. Wajahnya yangn selama ini selalu bersih, kini dipenuhi bulu-bulu yang tak rapih. Kumis dan jenggotnya mulai terlihat.Albany betul-betul tak memperhatikan dirinya sendiri. Siang malam menunggu sang istri di depan ruang ICU. Menunggu kabar jika sang istri telah siuman.“Al, kamu belum sempat melihat bayimu. Dia sangat lucu. Persis kamu waktu kecil,” hibur Ningsih mencoba mengurai kesedihan di hati anaknya.Albany menoleh. Bagaimana dia sampai lupa dengan bayi itu?“Apa aku bisa melihatnya?” tanya Albany dengan wajah penuh harap.“Tentu saja. Kamu ayahnya. Tapi, kamu belum bisa menggendongnya. Dia dalam inkubator, karena berat badannya masih jauh dari cukup.” Ningsih coba menjelaskan.Albany langsung bangkit penuh semangat. Dia langsung melangkah mengikuti sang ibu menuju ruang perawatan bayi.H
Read more

Bab 104

Seminggu lebih Za dirawat di rumah sakit, sekarang kondisinya sudah membaik, walaupun masih banyak dibantu oleh suster juga suaminya.“Ibu sudah boleh pulang hari ini,” ucap Dokter saat mengunjungi Za ke ruangan dan memeriksanya.Senyum Za mengembang dan saling melempar pandangan dengan suaminya. Tangan mereka saling berpaut. Albany meremas jemari sang istri turut merasa bahagia.“Maaf, Dok, kalau bayi kami apakah sudah bisa pulang bersama kami?” tanya Za antusias.“Untuk itu, nanti dokter anak yang menangani anak Ibu yang memutuskan. Saya hanya bertanggungjawab pada Ibu saja,” jawab sang dokter dan membuat Za murung seketika.“Bayi Ibu masih agak lama di sini. Berat badannya masih kurang. Ibunya semangat untuk sembuh biar bisa ngasih ASi untuk Dedek. Biar Dedek bisa cepet naik berat badannya,” bisik seorang suster yang sengaja meninggalkan diri di ruangan itu setelah dokter berlalu.“Jadi … dia belum bisa pulang hari ini, Sus?” tanya Za dengan tatapan nanar.Suster itu menggeleng p
Read more

Bab 105

“Silakan masuk. Maaf, rumah saya hanya begini adanya,” ucap Pak Sopir.Za dan Albany masuk sembari mengucap salam.“Syafitri, tolong buatkan air buat tamu,” ujar Pak SOpir. Gadis yang sedang menyetrika itu lantas menoleh dan mematikan setrikanya.“Tidak usah repot-repot, Pak. Kami hanya sebentar,” ujar Albany agar tak merepotkan.“Tidak apa-apa. Hanya air saja,” timpal Pak Sopir.“Maaf, tidak bawa apa-apa.” Za menyimpan barang bawaannya di atas meja. Anak kecil yang sedang bermain mobil-mobilan itu langsung bangkit dan menyerbu aneka buah yang ditata cantik di keranjang.“Mau, Pak. Ade mau, ya, Pak,” ujar anak itu girang. Za tersenyum dan menyuruh anak itu mengambil apa pun yang diinginkannya.Dengan wajah semringah, anak itu mengambil sebuah apel dan menggigitnya dengan rakus. Pak Sopir terlihat malu dengan kepolosan anaknya.“Maaf, ya, Bu, Pak. Anak saya tidak span,” ucapnya malu-malu.“Tidak apa-apa, Pak. Ini memang buat di sini, kok. Kalau saja saya tau ada anak kecil, saya pasti
Read more

Bab 106

“Ayo kita keluar. Biar Dedek Rabbani menyusu dulu,” ajak Ninngsih pada suami juga besannya. Walapun masih ingin melihat sang cucu, mereka terpaksa harus keluar dulu.Rabbani terlihat menyusu dengan lahap. Walaupun awalnya seperti agak aneh karena selama ini dia minum susu dari botol. Namun, lama-lama semakin terbiasa.Za menatap takjub pada makhluk mungil yang selama ini dia tunggu. Begitu juga dengan Albany. Walaupun dia sudah berpuasa cukup lama, tetapi semua itu terbayar dengan kehadiran makhluk mungil yang begitu menggemaskan.“Dia semakin terlihat mirip aku ya?” ujar Albany menyidik-nyidik anaknya. Bentuk wajah, hidung juga mata.“Iya, tinggal pake tahi lalat di bawah mata, udah deh ini mah anaknya Ayah,” ujar Za sedikit cemburu.Hingga hari itu, ketika semua orang sudah kembali pada aktifitas. Za pun sudah mulai fit dan mampu melakukan segalanya sendiri. Albany sudah aktif kembali ke kebun, Hendro ke kantor sementara Ningsih pergi ke pasar.Za menjemur Rabbani setelah mandi. Ent
Read more

Bab 107

Gundukan tanah merah menjadi saksi tangisan hebat Za yang kehilangan kembali sang buah hati. Hanya sekejap Tuhan menitipkan makhluk mungil itu padanya.“Sabar, Sayang. Setiap yang ada pada kita adalah titipan, semua pasti akan kembali pada pemiliknya,” ucap Ningsih lirih seraya mengusap pundak menantunya yang bergetar karena tangis.“Dia akan jadi tabunganmu di akhirat nanti, Sayang. Tidak ada yang sia-sia pengorbanan kita selama di dunia.” Ningsih mengecup pelan kepala Za, berusaha menyalurkan kekuatan padanya.“Papa tau bagaimana harus berpisah dengan orang yang paling disayang, apalagi itu seorang anak. Papa pernah merasakannya ketika harus meninggalkan seorang wanita yang mengandung anak Papa. Berat. Sangat berat. Apalagi jika anak itu tak lagi bisa kita lihat.” Kini giliran Hendro yang angkat bicara. Dia jugas mengelus pelan kepala menantu kesayangannya itu.Albany yang berjongkok di seberang Za hanya diam ikut mendengarkan petuah dari orangtuanya. Hatinya sama sakit, tetapi dia
Read more

Bab 108

Za langsung menggeleng. “Maaf. Aku minta maaf, Mas. aku minta maaf,” ucap Za bercampur isak dan menghambur ke pelukan suaminya. “Aku benar-benar minta maaf. Aku memang salah karena terlalu lama larut dalam kesedihan. Aku … aku sampai lupa akan kewajibanku padamu, Mas,” ucap Za terisak. Pelukannya semakin mengerat. Albany mengurai pelukan itu perlahan. Dia menatap dalam pada wanita yang selalu bertahta di hatinya. “Apakah harus, kita saling menjauh di kala jatuh seperti ini?” tanya Albany menatap nanar. “Apakah harus kita melangkah sendiri-sendiri? Aku tak sanggup, Za. Aku tak sanggup. Kepergian Rabbani sangat memukulku. Lalu sikap kamu, semakin membuatku terpuruk. Aku lelah, Za … lelah,” ucapnya melemah. Iya, Za bisa melihatnya. Sang suami terlihat sangat tak terawat. Mungkin karena mereka sama-sama tak saling memperha
Read more

Bab 109

Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per
Read more

Bab 110

Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat. “Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan. Alis Rafael terangkat sebelah.  Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan. “Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum. Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu. Rafael juga tersenyum  manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status